Puluhan warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) memadati halaman Kantor Kelurahan Kembang, Kulonprogo pada Senin (31-01). Pagi itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY menggelar evaluasi lapangan terhadap aktivitas pertambangan pasir PT Citra Mataram Konstruksi dan Pramudya Afgani di Kali Progo. Proses evaluasi diawali dengan audiensi tertutup antara perwakilan warga dengan DLHK di Kantor Kelurahan Kembang. Setelah audiensi selesai, warga bersama dengan DLHK turun ke beberapa titik untuk melakukan evaluasi dampak lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan pasir.
Edi Purwanto, Lurah Kembang, menyatakan bahwa evaluasi ini merupakan tindak lanjut dari aduan warga ke DLH Kulonprogo. Menurut Edi, laporan warga tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai dampak buruk yang timbul setelah adanya aktivitas pertambangan pasir di Kali Progo, terutama pencemaran dan kerusakan lingkungan. “Setelah tambang pasir beroperasi, warga memiliki kekhawatiran akan terjadinya tanah longsor dan kekurangan air bersih,” jelas Edi.
Rohmat, warga Dukuh Pundak Wetan, mengungkapkan bahwa evaluasi DLHK mengabaikan potensi tanah longsor yang disebabkan oleh pertambangan pasir. Menurutnya, potensi tanah longsor tersebut perlu dievaluasi secara serius karena banyak rumah warga yang berpotensi terdampak. “DLHK tidak perlu meneliti sampel air. Dengan sekadar melihat, semua orang tahu kalau sumber air di sekitar Kali Progo sudah tercemar,” ungkap Rohmat.
Lebih lanjut, Rohmat mengungkapkan bahwa potensi tanah longsor di sekitar Kali Progo makin besar. Hal tersebut dapat diamati dari retakan-retakan yang muncul di tanah dan rumah warga yang jaraknya hanya 30 meter dari tebing Kali Progo. “Batu dan pasir yang menjadi sasaran tambang itu selama ini menjadi media penahan air,” ungkap Rohmat.
Menurut Rohmat, apabila media penahan itu ditambang, air sungai akan menghantam tebing-tebing di sekitarnya secara lebih keras. Akibatnya, tanah longsor pun tak dapat dihindari. “Salah satu tebing di Dukuh Pundak Wetan bahkan sudah longsor,” jelas Rohmat. Adanya tanah longsor dan keretakan di berbagai titik membuat Rohmat khawatir. Sebab, rumah Rohmat yang berada di Dukuh Pundak Wetan ternyata berada tepat di atas tebing yang berpotensi longsor.
Meskipun sejumlah warga mengeluhkan masalah lingkungan, DLHK DIY ternyata hanya mengevaluasi kebersihan air. Proses evaluasi dilakukan dengan mengambil sampel air dari sumur warga yang berada di Dukuh Wiyu dan Pundak Wetan. Sampel air tersebut akan dibawa ke laboratorium DLHK DIY guna penelitian lebih lanjut. Padahal, menurut Edi, warga di sekitar Kali Progo setidaknya mengajukan 24 poin keluhan kepada DLH Kulonprogo. “Warga jelas tidak puas dengan proses evaluasi ini,” tegas Edi.
Yuni, Kepala Dukuh Pundak Wetan, justru mengungkapkan bahwa pencemaran air bukanlah masalah utama. Dalam pengamatannya, dukuh yang mengalami pencemaran air hanyalah Dukuh Wiyu. Senada dengan pengamatan Yuni, sampel air yang diambil oleh DLHK dari dua sumur warga Dukuh Wiyu menunjukkan warna keruh dan bau tidak sedap. “Meskipun demikian, masalah sebenarnya adalah ketersediaan air,” jelas Yuni. Setelah tambang pasir beroperasi, menurut Yuni, debit air di sekitar Kali Progo mengalami penurunan drastis.
Septandi, warga Dukuh Jomboran, mengungkapkan bahwa warga telah mendesak DLHK untuk mengevaluasi seluruh dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan pasir, termasuk ketika evaluasi berlangsung. Menurut Tandi, hingga evaluasi selesai, warga sama sekali tidak mengetahui alasan DLHK DIY yang memilih untuk mengevaluasi kebersihan air saja. “Ketika diberi pertanyaan oleh warga, DLHK memilih untuk bungkam,” ucap Tandi.
Penulis: Bangkit Adhi Wiguna
Penyunting: Han Revanda Putra
Fotografer: Bangkit Adhi Wiguna