Narasumber merupakan material vital dari konstruksi sebuah produk jurnalistik. Pertanggungjawaban akan validitas informasi yang diberikan tentu menjadi milik penyedia warta dan narasumbernya. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa adanya kemungkinan salah informasi menjadi momok bagi massa.
Anonimitas menjadi istilah yang tidak asing dalam mengolah suatu sumber berita. Anonimitas berasal dari kosakata Yunani ano-nymia yang berarti âtanpa namaâ. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi objek tak bernama, baik berupa manusia maupun benda (Chawki, 2009: 1). Pada konteks sumber berita, anonimitas terjadi karena pihak narasumber tidak menyebut dirinya sebagai pribadi tertentu (Saptiawan, 2018). Dengan begitu, anonimitas dapat dimaknai sebagai peniadaan nama atau penyamaran identitas narasumber yang dilakukan oleh pihak pers. Identitas narasumber akan dirahasiakan oleh pihak pers sampai narasumber membukanya sendiri atau terdapat kesengajaan penyebaran informasi yang salah oleh narasumber (Harsono, 2010). Tersedianya opsi status anonim ini juga didampingi oleh hak tolak wartawan yang berfungsi untuk mengungkapkan identitas narasumber baik kepada khalayak maupun hukum. Hak tolak berfungsi sebagai perlindungan dari intervensi pihak luar, seperti pemerintah (Belsey & Chadwick, 1992). Hak tolak wartawan di Indonesia diatur dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan berpegang pada Pedoman Penerapan Hak Tolak Dewan Pers No. 01/P-DP/V/2007.
Salah satu media yang memperbolehkan penggunaan narasumber anonim adalah TEMPO (Setiawan, 2014). Dalam hal ini, TEMPO memperbolehkan narasumber pada kasus kejahatan seksual dan anak untuk menggunakan status anonim. Hal ini bertujuan untuk melindungi narasumber tanpa menghilangkan jaminan kepercayaan publik terhadap kualitas berita. Menurut Setiawan (2014), anonimitas narasumber hanya diberikan untuk jurnalisme investigatif dan memuat adanya kepentingan publik yang besar. Status anonim diberikan untuk mengungkap fakta dan melindungi narasumber yang rentan. Hal ini dapat berarti melindungi dari hal-hal yang membahayakan nyawa narasumber, keselamatan keluarganya, serta akses mendapatkan pekerjaan baru apabila dikeluarkan dari instansi (Harsono, 2010).
Salah satu contoh penggunaan anonimitas narasumber untuk memberikan informasi penting lainnya adalah skandal Watergate yang melibatkan Deep Throat. Deep Throat merupakan pseudonim informan rahasia pada skandal Watergate yang terjadi pada 1972â1974. Tokoh di balik pseudonim ini adalah William Mark Felt, seorang direksi Federal Bureau of Investigation (FBI) pada 1971-1973. Skandal Watergate merupakan sabotase yang dilakukan oleh Richard Nixon, Presiden AS ke-37 terhadap Partai Demokrat Amerika Serikat untuk memenangkan pemilihan umum. Peran Deep Throat dalam skandal Watergate adalah menyiarkan informasi sabotase yang dirahasiakan dari masyarakat. Pembocoran ini pun menyebabkan Richard Nixon mengundurkan diri dari biduk pemerintahan. Adanya penggunaan status Deep Throat dalam skandal Watergate merupakan bukti bahwa pemberian anonimitas pada narasumber kunci dapat memberikan keuntungan dalam bentuk keamanan narasumber dan berpihak pada masyarakat secara luas. Selain itu, adanya penyebarluasan skandal ini menjadi pemicu dalam peningkatan rasa skeptis sipil Amerika Serikat terhadap pemerintah.
Karena identitas asli Deep Throat belum terbuka hingga tahun 2005, banyak pihak mulai berspekulasi siapa dalang di balik pembocoran skandal Watergate. Dalam memoar The FBI Pyramid yang ditulis Felt pada 1979, ia awalnya menyangkal tudingan mengenai status Deep Throat yang diarahkan padanya. Meski terdapat banyak kecurigaan yang diarahkan Felt, secara resmi, identitas asli Deep Throat hanya diketahui oleh Bob Woordward dan Carl Bernstein sebagai penulis berita dan Ben Bradlee sebagai editor The Washington Post. Akhirnya, pada 31 Mei 2005, setelah didampingi beberapa pihak seperti puterinya Joan Felt dan pengacara John D. OâConnor, Mark Felt memutuskan untuk membuka sendiri identitas Deep Throat yang ia miliki kepada publik (Woodward, 2006). Pengakuan itu dimuat di Majalah Vanity Fair dan dimuat kembali di laman web dengan tajuk âIâm The Guy They Called Deep Throatâ yang kemudian dikonfirmasi kebenarannya oleh Woodward dan Bernstein melalui The Post.
Kegunaan atas penggunaan anonimitas dalam Watergate disangkal oleh Andreas Harsono dalam Agama Saya Adalah Jurnalisme (2010). Menurutnya, sumber anonim merupakan sumber yang kurang kredibel, terlebih lagi apabila dituturkan oleh badan intelijen. Hal ini karena pihak intelijen pasti memiliki tendensi tertentu dalam menyebarkan kepentingan kelompok. Dalam praktik penggunaan narasumber anonim, sering kali penyamaran ini disalahgunakan untuk memecah belah masyarakat menjadi beberapa kubu karena tendensi tertentu. Salah satu kasus penggunaan anonimitas yang memberikan andil negatif dalam ranah jurnalisme adalah kasus pembunuhan Jamal Khashoggi pada 2018 silam.
Jamal Khashoggi merupakan seorang wartawan terkemuka berkebangsaan Arab Saudi yang cukup vokal dalam mengkritik kebijakan di negara asalnya, terutama kebijakan Mohammed bin Salman. Bahkan, Khashoggi dulunya merupakan sosok yang dekat dengan pemerintah. Setelah mengasingkan dirinya ke Amerika Serikat, ia semakin intens melayangkan kritiknya terhadap kebijakan Pangeran Mohammed melalui media sosial Twitter dan The Washington Post. Aksi kritik tersebut kemudian menjadi spekulasi penyebab pembunuhan dirinya. Sumber anonim mengatakan bahwa kepolisian Turki percaya bahwa Khashoggi dibunuh di gedung konsulat, ketika ia hendak meminta dokumen izin perceraian. Terdapat pula tudingan bahwa sebelum Khashoggi dinyatakan hilang, Khalid sempat memberikan jaminan bahwa berkunjung ke konsulat adalah hal yang aman. Adanya informasi tersebut membuat CIA menangkap konklusi bahwa kasus pembunuhan wartawan senior ini melibatkan Khalid bin Salman, Duta Besar Saudi untuk Amerika Serikat. Setelah kesimpulan CIA tersebut beredar, pihak keluarga Kerajaan Saudi, termasuk Pangeran Khalid sendiri melakukan penyangkalan mengenai berita dari sumber anonim yang belum diketahui kejelasannya tersebut. Walaupun pada akhirnya Pemerintah Arab Saudi mengakui bahwa Khashoggi tewas dalam gedung konsulat, mereka tetap menyangkal bahwa Pangeran Khalid turut andil di dalamnya.
Dari fenomena pembunuhan Khashoggi, kehadiran sumber anonim dalam suatu kasus dapat mengintervensi investigasi serta memberikan kesaksian abu-abu. Hal ini akan menjadi semakin pelik apabila informasi dari sumber anonim tersebut kemudian diangkat oleh pihak jurnalistik. Hal ini terjadi karena jurnalis atau pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan beriringan dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan suatu negara (Mada, 2014). Dalam kasus ini, The Washington Post berperan dalam memuat informasi berdasarkan kutipan orang-orang yang akrab mengenai masalah ini lalu merujuk pada kesimpulan CIA yang berhulu pada sumber anonim. Adanya pemuatan suara anonim inilah yang menjadi distorsi dalam pengambilan keputusan CIA terhadap kasus Khashoggi.
Walau dalam praktik penggunaan narasumber anonim terdapat pro dan kontra, tak dimungkiri bahwa terdapat beberapa kondisi yang memperbolehkan adanya narasumber anonim. Oleh Kovach dan Rosentiel dalam Warp Speed: America in the Age of Mixed Media (1999, sebagaimana dikutip dalam Harsono, 2010), dijabarkan tujuh butir syarat seseorang boleh mendapatkan status anonim. Syarat pertama adalah narasumber memiliki keterlibatan langsung dalam peristiwa yang diliput jurnalis. Hal ini berarti narasumber merupakan orang yang menyaksikan sendiri jalannya peristiwa tersebut tanpa pengaruh dari orang lain. Kedua, keselamatan narasumber terancam apabila identitasnya terbuka. Dengan ditutupnya identitas narasumber, diharapkan dapat keselamatan narasumber dapat terjaga. Ketiga, narasumber memiliki motif memberikan informasi untuk kepentingan publik. Dalam hal ini, pihak jurnalis harus mengetahui motif apa yang mendorong narasumber anonim untuk memberikan informasi. Keempat, narasumber memiliki integritas yang baik. Kelima, status anonim yang diberikan harus mendapatkan izin redaktur. Keenam, jumlah narasumber anonim tidak kurang dari dua. Perhitungan jumlah ini karena adanya kebutuhan verifikasi terhadap informasi dari narasumber satu dengan lainnya. Ketujuh, perjanjian pemberian status anonim akan dibatalkan apabila narasumber dengan sengaja memberikan informasi yang menyesatkan. Pembatalan ini akan berujung pada dibukanya identitas narasumber kepada publik oleh pihak pers.
Boleh tidaknya penggunaan narasumber anonim kembali kepada kebijakan masing-masing lembaga pers, mengingat kredibilitas lembaga akan sedikit banyak terpengaruh oleh adanya status anonim narasumber. Hal yang dapat dilakukan masyarakat untuk menyikapi adanya berita dengan sumber anonim adalah mengolah informasi yang ada dengan rasa skeptis. Rasa skeptis terhadap penggunaan narasumber anonim akan membantu mengantar pembaca kepada pertanyaan selanjutnya, apa tendensi narasumber yang terkandung dalam informasi yang dimuat? Sebagai pembaca, kita harus berhati-hati dalam mencermati unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah berita. Selain itu, bias dari pihak media sendiri patut menjadi perhatian. Demi menciptakan penyebarluasan informasi yang benar dan bermanfaat, dibutuhkan kerja sama yang baik antara lembaga pers dengan masyarakat.
Penulis    : Aniq Hanani Maimanah dan Tuffahati Athallah ( Magang)
Penyunting    : Mayasari Diana
Ilustrator    : Rizky Aisyah (Magang)
DAFTAR PUSTAKA
BBC. âJamal Khashoggi: Turkey Says Journalist Was Murdered in Saudi Consulateâ. October 07, 2018. https://www.bbc.com/news/world-europe-45775819. Diakses 17 Januari 2022.
BBC. âJamal Khashoggi: US Says Saudi Prince Approved Khashoggi Killingâ. February 26, 2021. https://www.bbc.com/news/world-us-canada-56213528. Diakses 17 Januari 2022.
Belsey, A., and R. Chadwick. Ethical Issues in Journalism and the Media. London & New York: Routledge, 1992.
Branigin, William, and Von Drehle, D. âWashington Post Confirms Felt Was Deep Throatâ. The Washington Post, May 31, 2005. https://www.washingtonpost.com/archive/business/technology/2005/05/31/washington-post-confirms-felt-was-deep-throat/8d13cc72-6e02-422a-b3a8-76631aa9b904/. Diakses 16 Januari 2022.
Chawki, M. âAnonymity in Cyberspace: Finding the Balance between Privacy and Securityâ. International Journal of Technology Transfer and Commercialisation 9, no. 3 (2009): 183-199. https://doi.org/10.1504/ijttc.2010.030209.
Coskun, Orhan. âExclusive: Turkish Police Believe Saudi Journalist Khashoggi Was Killed in Consulate – Sourcesâ. Reuters, October 06, 2018. https://www.reuters.com/article/us-saudi-politics-dissident/exclusive-turkish-police-believe-saudi-journalist-khashoggi-was-killed-in-consulate-sources-idUSKCN1MG0HU. Diakses 17 Januari 2022.
Harris, Shane, Greg Miller and Josh Dawsey. âCIA Concludes Saudi Crown Prince Ordered Jamal Khashoggiâs Assassinationâ. The Washington Post, November 16, 2018. https://www.washingtonpost.com/world/national-security/cia-concludes-saudi-crown-prince-ordered-jamal-khashoggis-assassination/2018/11/16/98c89fe6-e9b2-11e8-a939-9469f1166f9d_story.html. Diakses 17 Januari 2022.
Harsono, Andreas. Agama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius, 2010.
Mada, Gading Tian. âPenyembunyian Identitas Pelaku Tindak Pidana Oleh Insan Pers Menurut Kuhp Dan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.â Mimbar Keadilan, Jurnal Ilmu Hukum Edisi Januari-Juni, (2014): 109-126. ISSN: 0853-8964.
OâConnor, John D.. âIâm the Guy They Called Deep Throatâ. Vanity Fair, July, 2005. https://archive.vanityfair.com/article/2005/7/im-the-guy-they-called-deep-throat. Diakses 16 Januari 2022.
Saptiawan, Itsna H. (2018). âDari Anonim Kembali ke Anonimâ. SeBaSa: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 1, no. 2, (2018): 80-88. ISSN: 2621-0851.
Setiawan, L. D., and K. Ambardi. âNarasumber Anonim dan Berita (Studi Kasus Kebijakan Redaksional Majalah Tempo mengenai Narasumber Anonim dalam Rubrik Laporan Utama Kasus Korupsi)â. Universitas Gadjah Mada (2014).
Smith, Saphora. âSaudi Arabia Now Admits Khashoggi Killing Was âPremeditatedââ. NBC News, October 25, 2018. https://www.nbcnews.com/news/world/saudi-arabia-now-admits-khashoggi-killing-was-premeditated-n924286. Diakses 17 Januari 2022.
Von Drehle, D.. âFBIâs No. 2 Was âDeep Throatâ: Mark Felt Ends 30-Year Mystery of The Postâs Watergate Sourceâ. The Washington Post, June 01, 2005. https://www.washingtonpost.com/politics/fbis-no-2-was-deep-throat-mark-felt-ends-30-y ear-mystery-of-the-posts-watergate-source/2012/06/04/gJQAwseRIV_story.html. Diakses pada 29 November 2021.
Woodward, Bob, and Carl Bernstein. The Secret Man: The Story of Watergate’s Deep Throat. New York: Simon & Schuster, 2006. ISBN 0-7432-8715-0.