Sabtu (21-08), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengadakan diskusi daring bertajuk “Jurnalisme Agraria: Bertarung Wacana di Tengah Krisis”. Diskusi tersebut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen, Ika Ningtyas; Direktur Watch Docs, Andhy Panca; Redaktur Pelaksana Project Multatuli, Mawa Kresna; dan Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya. Dipandu oleh Uly Mega, diskusi ini secara khusus membahas mengenai peran dan tantangan jurnalisme dalam menyebarkan wacana reforma agraria.
Ika memulai diskusi dengan menceritakan kesulitannya dalam meliput daerah konflik. Menurutnya, meliput daerah konflik agraria memiliki tantangan tersendiri daripada konflik-konflik lain. Secara garis besar, terdapat tiga tantangan dalam meliput konflik agraria. Pertama, risiko yang mengintai. Meliput konflik agraria, kata Ika, rentan terhadap ancaman kekerasan dan kriminalisasi. Tindakan tersebut sering kali dilakukan dengan memanfaatkan dalih hukum yang berlaku, seperti UU ITE.
Kedua, kesejahteraan penulis. Mengingat, peliputan konflik agraria membutuhkan sumber daya yang sangat ekstra. Baik dari segi tempat yang sulit dijangkau, hingga upah minimum jurnalis yang dinilai Ika tak sebanding. Ketiga, kebijakan redaksi. Tak jarang, perusahaan media justru tidak memberikan dukungan terhadap peliputan isu agraria. Ika menuturkan bahwa pertentangan kepentingan ekonomi politik menjadi salah satu penyebabnya. “Sebagian besar, konsentrasi kepemilikan media secara nasional saat ini dimiliki oleh kelompok yang memiliki relasi dan kedekatan dengan isu agraria,” jelas Ika.
Senada dengan apa yang dikatakan Ika, Kresna juga mengungkapkan tantangan yang sama dari pengalamannya selama meliput konflik agraria. Berkaca dari anggota keluarganya yang juga pernah dikriminalisasi oleh jeratan konflik agraria, ia mulai tertarik untuk memberitakan sisi lain dari berita konflik agraria. Sebab menurutnya, berita tentang konflik agraria yang diangkat oleh para jurnalis, tak seutuhnya berpihak pada kepentingan warga yang terdampak. “Mulanya saya diminta teman-teman kampus untuk meliput isu agraria, karena selama ini narasi yang muncul dalam berita arus utama cenderung menyudutkan warga,” tuturnya.
Mengatasi hal itu, Panca memaparkan bagaimana perspektif advokasi sesungguhnya sangat membantu dalam pemberitaan konflik agraria. Panca menyebutnya sebagai jurnalisme advokasi. Menurutnya, jurnalisme ini berusaha untuk membahas isu-isu yang dekat dengan kepentingan publik. Hal ini selaras dengan perkembangan bentuk media yang sebelumnya sangat terbatas, hingga sekarang berbentuk media yang bersifat komunitas. Selain itu, perspektif advokasi memberikan jurnalis untuk memahami momentum serta agenda pengawalan dari isu agraria.
Lebih lanjut, Panca menerangkan bahwa media sosial juga berperan penting dalam usaha membantu kerja jurnalis dalam memberitakan isu agraria. Hal tersebut, dimungkinkan dengan adanya keterbukaan informasi. Dengan begitu, masyarakat mampu mengimbangi kekuatan media arus utama yang sudah dikuasai kelompok kepentingan tertentu. “Sudah tidak ada garis api antara kebutuhan redaksi dengan kepentingan perusahaan,” jelas Panca.
Namun sebelumnya, imbuh Panca, masyarakat perlu untuk memahami dan berperspektif paralegal mengenai isu-isu agraria. Penggabungan dari kekuatan paralegal melalui perspektif yang sudah dilatih dengan kemampuan bermedia sosial ini, akan menghasilkan perspektif paramedia. “Perspektif paramedia ini turut menghidupkan kembali media komunitas yang sejatinya bersentuhan dengan masalah-masalah konkret di masyarakat, seperti halnya konflik agraria,” tegas Panca.
Benni, di sisi lain, menemukan kesulitan dari usaha memberikan pemahaman terhadap wacana reforma agraria kepada publik. Menurutnya, ada mispersepsi dalam memahami wacana reklamasi yang dibawa dalam konflik agraria. Publik cenderung memahami konflik agraria sebatas permukaan saja, seperti persengketaan akan dua kubu. Lebih dari itu, Benni menegaskan, wacana reforma agraria dipahami sebagai usaha merebut kembali hak atas tanah masyarakat. Di sinilah, menurut Benni, peran jurnalis menjadi sangat sentral dalam pembentukan wacana tersebut.
Peliputan media mengenai konflik agraria oleh para jurnalis, menurut Kresna, sebaiknya juga dilakukan secara menyeluruh. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ketidakselarasan hasil liputan dengan agenda pengawalan dari masyarakat sendiri. “Penting untuk melakukan konsolidasi dan kolaborasi untuk membuat liputan isu agraria dengan masyarakat langsung,” pungkas Kresna.
Penulis: Renova Zidane Aurelio
Penyunting: Haris Setyawan