Jumat (23-04), Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (LEM FIB UGM) mengadakan diskusi daring melalui Zoom Meeting dengan tajuk “Diuber Polisi Siber: Siasat Berkelit dan Taktik Menghadapinya”. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber yakni Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia; Saut Situmorang, Sastrawan; dan Viola Nada Hafilda, Anggota Social Movement Institute. Diskusi yang dimoderatori oleh Syahdan Husein ini kemudian secara khusus membahas mengenai polemik polisi siber di Indonesia.
Dikutip dari laman patrolisiber.id, polisi siber atau yang resminya bernama Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) adalah satuan kerja yang berada di bawah Bareskrim Polri. Tugasnya adalah untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber. Berusaha melampaui definisi tersebut, Saut berpendapat bahwa polisi siber merupakan bentuk pengawasan massal terhadap rakyat dengan berkedok pencegahan terhadap kejahatan, terorisme, hingga keamanan nasional. Sebab, pada praktiknya, polisi siber seringkali menjadi alat pemerintah untuk membungkam kritik kaum oposisi. “Tindakan pengawasan yang dilakukan polisi siber sudah menjadi bentuk pelanggaran dan pembatasan hak pribadi serta politik warga negara,” jelas Saut.
Sejalan dengan Saut, Usman mengaitkan polisi siber dengan kebebasan berekspresi dari sudut pandang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mendapati data-data di kepolisian bahwa sejak UU ITE disahkan, kasus-kasus pembungkaman kebebasan berpendapat secara daring semakin masif terjadi. Menurutnya, hal tersebut menandakan bahwa pelaksanaan UU ITE telah keluar dari dasar pembuatannya sebagai solusi atas tindak peretasan dan pornografi. “Saya melihat kasus-kasus peretasan sangat sedikit jumlahnya dibandingkan dengan penggunaan pasal-pasal karet pencemaran nama baik yang kian melonjak,” ungkapnya.
Mengutip dari buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi ke Regresi, Usman mengomparasikan pemberlakuan UU ITE sebelum dan sesudah adanya polisi siber. Hasilnya, setelah adanya polisi siber ini, jumlah kasus cenderung meningkat. “Lonjakan kasus terjadi baik dari kalangan aktivis, mahasiswa, penggiat akademik, maupun masyarakat biasa,” imbuh Usman. Hal tersebutlah yang menurutnya membuat masyarakat enggan untuk menyampaikan pendapat karena takut dengan polisi siber dan ancaman UU ITE.
Bagi Saut, polisi siber tidak hanya mengancam kebebasan berpendapat saja. Lebih dari itu, dia khawatir polisi siber menjadi awal dari terbentuknya negara polisi elektronik. Hematnya, negara akan dengan agresif memanfaatkan teknologi untuk merekam, mengumpulkan, menyimpan, mengorganisasi, menganalisis, melakukan riset, dan mendistribusi informasi tentang warga negaranya secara diam-diam untuk tujuan pengawasan.
Saut juga menjelaskan bahwa pengawasan warga negara secara digital tidak hanya dilakukan oleh polisi siber, tetapi juga oleh sesama warga negara. Hal tersebut terjadi melalui pemberian insentif berupa badge award oleh Kepolisian bagi siapapun yang melaporkan tindakan siber yang berpotensi melanggar UU ITE. Lebih lanjut, Saut menyatakan jika badge award tersebut merupakan perwujudan politik sensor negara yang menjadi upaya adu domba dalam masyarakat. “Jelas ini adalah sebuah strategi yang sengaja dibuat pemerintah untuk mengontrol rakyat agar kekuasaan menjadi langgeng,” tandasnya.
Sepakat dengan wacana Saut sebelumnya, Viola menuturkan bahwa polisi siber juga berpotensi mengadu domba masyarakat. Adanya salah satu parameter pengerdilan ruang sipil yaitu adanya struktur dari institusi yang tidak bersifat proaktif terhadap kebebasan yang berwujud polisi siber. “Adanya reward badge ini akan membuat perpecahan di masyarakat karena masyarakat justru akan saling mengawasi satu sama lain,” tegas Viola.
Viola juga merefleksikan fenomena polisi siber ini dengan konteks yang mendahuluinya seperti masifnya penggunaan pasal karet UU ITE. Viola menilai bahwa polisi siber ini merupakan kendaraan politik yang dibelakangnya terdapat konsesi kepentingan. Aktor-aktornya berasal dari pemerintah dan non pemerintah yang bekerja sama untuk saling mengamankan diri dari kritik masyarakat dalam berpendapat dalam ranah. Hal ini selaras dengan argumen Usman yang menyatakan bahwa masyarakat memiliki daya tekan yang luar biasa sehingga berpotensi menjadi ancaman bagi para pemangku kepentingan. “Oleh karena itu, mereka perlu sesuatu untuk mengamankan posisinya dari ancaman tersebut. Disitulah polisi siber berperan,” tutur Viola.
Penulis :Nabila Hendra Nur Afifah dan Yeni Yuliati
Editor : Ardhias Nauvaly Azzuhry
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati