Jumat (15-01), mahasiswa melaksanakan audiensi dengan pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diwakili oleh jajaran rektorat, di antaranya Panut Mulyono, Rektor UGM; Djagal Wiseso, Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan; Supriyadi, Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sistem Informasi; dan Syaiful Ali, Kepala Direktorat Keuangan. Pertemuan ini ditujukan untuk membahas tuntutan mahasiswa terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT). Audiensi tersebut dilaksanakan secara tertutup dan dihadiri oleh perwakilan mahasiswa UGM dari jenjang sarjana, diploma, dan pascasarjana. Audiensi dilaksanakan terpadu, dengan empat mahasiswa luring di Balairung UGM dan 25 mahasiswa daring melalui Zoom.
Sebelumnya, Aliansi Mahasiswa UGM dan Aliansi Mahasiswa Pascasarjana UGM telah menuntut pihak rektorat untuk melaksanakan audiensi pada tanggal 7 Januari 2021. Namun, permintaan tersebut tidak diindahkan dan berujung kepada mahasiswa menyerahkan tuntutan tertulis lewat kertas posisi.
Pada audiensi kali ini, mahasiswa UGM membawa empat poin tuntutan yang sudah tertera pada kertas posisi. Empat tuntutan tersebut meliputi: pertama, pemotongan UKT secara universal sebesar 50 persen. Kedua, parameter keringanan UKT yang baku bagi mahasiswa akhir sesuai dengan waktu kelulusan. Ketiga timbal balik berupa kuota internet yang unlimited. Keempat, pelibatan mahasiswa dalam proses verifikasi UKT.
Audiensi dimulai dengan pemaparan dari Sandhito Abrar, Menteri Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM KM UGM. “Pandemi Covid-19 yang kita alami bersama mengakibatkan resesi ekonomi di Indonesia yang tentunya berdampak pada semua kalangan,” tutur Sandhito. Mewakili mahasiswa, Sandhito mengungkapkan bahwa keempat tuntutan yang ada bertujuan untuk meringankan beban finansial mahasiswa dan menunjang proses pembelajaran di kala pandemi.
Berdasarkan keterangan Biko, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, audiensi kali ini tidak berbeda dengan audiensi-audiensi sebelumnya. Menurutnya ada perbedaan pola pikir yang digunakan oleh mahasiswa dan universitas tentang tuntutan yang dibawa. “Logika yang kami bawa berbeda dengan logika rektorat,” jelas Biko.
Karena perbedaan pola pikir tersebut, audiensi kali ini tidak menghasilkan sebuah kesepakatan. Menanggapi tuntutan mahasiswa, pihak rektorat menyatakan bahwa universitas tidak dapat mengakomodir tuntutan mahasiswa terkait pemotongan besaran UKT secara universal. Melalui pernyataan Panut, hal tersebut disebabkan oleh skema subsidi silang yang menjadi prinsip dasar universitas di dalam menentukan besaran UKT. Berkaitan dengan hal tersebut, Supriyadi berdalih mengenai pemasukan universitas yang menurun di kala pandemi. “Lebih dari 500 miliar dana yang direncanakan untuk bisa diterima di tahun 2020 tidak terealisasi,” jelasnya.
Bagi Sandhito, walaupun tuntutan pertama ditolak, masih ada kesempatan pengawalan tiga tuntutan lainnya. “Akan ada eskalasi dengan menagih kejelasan pengembalian UKT beserta persentase yang baku ke rektorat,” tegas Sandhito mengenai pengawalan tuntutan kedua. Terkait tuntutan ketiga, Sandhito menjelaskan nantinya akan dilakukan survei mengenai persebaran mahasiswa yang belum mendapatkan bantuan kuota. Terakhir, Sandhito menegaskan harus ada pengumpulan bukti ada atau tidaknya pelibatan mahasiswa di tiap fakultas. Menurutnya, data tersebut akan berguna dalam membuat narasi untuk mengawal tuntutan keempat.
Menurut, Gita Rosani, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, keterbatasan waktu membuat banyak poin-poin pertanyaan yang luput untuk dibahas. Gita berpendapat bahwa langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah evaluasi audiensi dan konsolidasi lanjutan. Biko menambahkan, melalui pelaksanaan audiensi yang daring, pihak rektorat dapat mengontrol jalannya audiensi melalui pembatasan jumlah mahasiswa yang terlibat dan hak berbicara bagi mahasiswa. Untuk mengawal tuntutan yang ada, Biko memandang mahasiswa harus memperkuat perjuangannya baik di ranah luring melalui aksi dengan protokol kesehatan dan melalui propaganda media sosial.
Penulis: Renova Zidane Aurelio
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Dzikrika Rahmatu H