Rabu (21-10), komunitas Rimbawan Muda Indonesia (RMI) mengadakan diskusi daring yang bertajuk “Sistem Pangan Masyarakat Adat, Kedaulatan Pangan, dan Ancaman Omnibus Law” melalui Zoom. Diskusi ini menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu Aditya Dipta Anindita dari Sokola Institute; Hayu Dyah dari Yayasan Mantasa; dan Supriadi dari RMI. Jalannya diskusi ini dipandu oleh Indra N Hatasura dari RMI dan juga menghadirkan seorang penanggap diskusi, yaitu Wahyubinatara Fernandez, Manajer Advokasi RMI. Diskusi ini membahas mengenai perubahan sistem pangan masyarakat, serta potensi ancaman Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) terhadap kedaulatan pangan masyarakat adat sebagai akibat dari disahkannya UU tersebut.
Hayu Dyah memaknai sistem pangan sebagai keseluruhan aktivitas yang berkaitan dengan makanan. Aktivitas tersebut meliputi produksi, pengumpulan, pemrosesan, distribusi, hingga konsumsi. “Sistem pangan itu adalah segala aktivitas mulai dari hulu sampai hilir, yang mana berkaitan dengan makanan,” terang Hayu.
Salah satu permasalahan mengenai sistem pangan, sebagaimana diungkapkan oleh Hayu, adalah kedaulatan pangan. Menurutnya, kedaulatan pangan adalah kebebasan masyarakat dalam menentukan makanan yang ingin dikonsumsi, melalui ketersediaan berbagai jenis bahan pangan. Hayu mengamati bahwa saat ini, beberapa masyarakat adat sedang mengalami krisis kedaulatan pangan. Ia menjelaskan bahwa krisis kedaulatan pangan berdampak pada ketidakmampuan masyarakat adat untuk menentukan secara mandiri makanan yang ingin mereka konsumsi. “Saat ini, level kedaulatan masyarakat adat sangat rendah karena hanya mengandalkan tiga komoditas saja, yang mana itu sangat rentan bagi mereka,” ujar Hayu.
Padahal, sebagaimana disampaikan Supriadi, kedaulatan pangan sejatinya penting bagi masyarakat adat. Dengan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri untuk keluarga mereka, maka akan memiliki cadangan pangan yang relatif stabil. Pada masyarakat adat Kasepuhan Cibedug, misalnya, Supriadi menyebutkan bahwa setiap rumah memiliki lumbung yang menyimpan lima ratus ikat padi varietas pari gedhe yang menghasilkan empat sampai lima liter beras setiap ikatnya. Supriadi mengatakan, lumbung padi ini menjadi cadangan makanan utama yang mendukung kedaulatan pangan masyarakat Cibedug hingga lima belas tahun ke depan. “Dengan demikian, masyarakat Cibedug tidak perlu lagi bergantung pada pasar,” ujar Supriadi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Wahyu, dengan adanya UU Ciptaker, kedaulatan pangan dan kondisi masyarakat adat di Indonesia menjadi terancam. Dia mengatakan bahwa UU Ciptaker mengancam sistem pangan masyarakat adat, yang mana berperan sebagai keberlangsungan kehidupan masyarakat adat. Ancaman itu terdapat pada tiga penjelasan. Pertama, tentang syarat dan pertimbangan untuk perizinan di berbagai sektor seperti perkebunan itu dipangkas. “Hal ini diatur dalam pasal 18 angka 13,” ungkap Wahyu. Ia juga menambahkan bahwa pasal 29 UU Ciptaker telah menghilangkan syarat kesesuaian dengan catatan ruang wilayah dan rencana perkebunan. Kedua, Wahyu menerangkan bahwa atas nama proyek strategis nasional, yang mana kemudahan keberlangsungannya sempat disinggung dalam pasal 150 ayat (3), lahan-lahan pertanian dapat dialihfungsikan. Ketiga, Wahyu menegaskan bahwa UU Ciptaker dapat menjadi alat intimidasi yang nyata bagi masyarakat secara umum dan terkhusus kepada masyarakat adat.
Sebab, menurut Wahyu, UU Ciptaker dapat berpotensi mengkriminalisasi para petani dan masyarakat adat yang memanfaatkan alam sekitar. Wahyu menunjukkan bukti dengan adanya larangan untuk mengambil hasil hutan, menyimpan hasil hutan atau dicurigai berasal dari hutan, dan menggembalakan hewan di kawasan hutan, akan dikenai sanksi administrasi. “Peraturan ini sebelumnya terdapat di UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang mana sering dipakai untuk mengkriminalisasi petani yang mengambil hasil hutan,” ujar Wahyu.
Menanggapi permasalahan tersebut, Aditya berpendapat bahwa masyarakat adat seharusnya mendapatkan pemenuhan hak-hak khusus, termasuk hak untuk mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini, menurut Aditya, UU Ciptaker belum memberikan jaminan atas pemenuhan hak-hak bagi masyarakat adat dan bisa mengancam keberadaan mereka. “Dengan adanya UU Ciptaker ini, masyarakat adat akan semakin terancam keberadaannya,” tegas Aditya.
Penulis: Endah Anifatusshalikhah, Valentino Yovenky Ardi, dan Widiatri Kharismae (Magang)
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati (Magang)