
©Ingga/Bal
Jumat malam (14-8) pukul 22.00 WIB, dilingkupi kesunyian malam serta denging nyamuk yang kian nyaring, terdengar alunan suara radio. Radio tersetel pada kanal SMART 102.1 FM Yogyakarta. Namun, berbeda dari malam biasanya, bukan lagu atau bincangan penyiar radio yang diperdengarkan, melainkan kisah sekelompok ibu-ibu arisan. Malam itu merupakan siaran perdana drama audio berjudul “Arisan Siasat,” produksi Nada Bicara yang didukung oleh Biennale Jogja dalam “Karya Normal Baru”.
“Karya Normal Baru” merupakan proyek kolaborasi yang diadakan oleh Jakarta Biennale, Biennale Jogja, dan Makassar Biennale, dengan tujuan mampu menjadi platform bagi para seniman untuk terus berkarya di tengah pandemi COVID-19. Kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh Erlina Rakhmawati, Verry Handayani, serta beberapa anggota dari Forum Aktor Yogyakarta untuk membuat drama audio.
Jarum panjang pada jam beker milikku telah melewati angka 12. Tepat pukul 22.04 suara perempuan terdengar dari radio, menandakan drama akan dimulai. Perempuan dengan suara menggema itu mengenalkan satu per satu tim produksi drama, mulai dari penulis naskah hingga tata rekam audio. Bersamaan dengan itu terdengar juga musik latar bernuansa 90-an yang membuatku merasakan nostalgia, sepertinya lagu ini akan digemari oleh paman atau tanteku. Sewaktu diwawancarai di lain waktu, Erlina dan Verry memeberitahu kalau lagu itu hasil produksi tim mereka, “Supaya bisa menghidupkan teman-teman musik juga, kami ingin menggunakan unsur-unsur yang orisinal dan tidak kalah dengan film,” jelas Erlina.
Verry menjelaskan bahwa pada masa pandemi seperti ini, drama audio menjadi opsi yang menarik untuk dicoba. Selain proses rekaman yang cenderung lebih cepat dibanding pertunjukan teater atau film, drama audio juga dirasa oleh Verry lebih menghadirkan ‘sensasi hidup’ bagi pemain dan pendengar. “Saya tidak dapat merasakan sensasi yang sama saat pertunjukan teater dilaksanakan secara daring,” tegas Verry.
Seni drama yang disiarkan melalui radio memiliki proses perkembangannya sendiri hingga dikenal oleh khalayak luas. Radio mulai menjadi medium untuk melakukan siaran berawal dari ambisi David Sarnoff saat ia bekerja pada American Marconi Company, sebuah perusahaan telekomunikasi dan teknik asal Britania Raya. David menceritakan rencananya untuk mengembangkan radio sebagai alat yang hadir di dalam keluarga layaknya sebuah piano maupun phonograph. Maksudnya, radio bukan hanya sebagai alat penyiar keadaan darurat atau sandi-sandi morse, tetapi juga sebagai sarana penyalur hobi dan hiburan.[1]
Drama dimulai dengan bergabungnya ibu-ibu untuk mengikuti arisan bulanan yang dilakukan secara daring melalui panggilan video akibat dari adanya pandemi yang membatasi interaksi secara langsung dengan orang lain. Arisan dihadiri oleh Bu Siti, Mbak Tika, Jeng Nana, Bu Puspa, dan Mbak Wati. Beberapa orang seperti Bu Wati dan Bu Puspa mengalami sedikit kendala saat mencoba bergabung dalam panggilan, mulai dari kesulitan menyalakan video kamera, susah sinyal, dan berbagai interupsi dari keluarga mereka yang minta dilayani.
Setelah Bu Wati dan Bu Puspa berhasil melewati kendala mereka, percakapan pun dimulai. Arisan rupanya bukan hanya tempat untuk menabung dan memperoleh hasil tabungan yang diundi tiap bulannya. Arisan menjadi wadah bagi perempuan, terlebih bagi ibu-ibu rumah tangga untuk mencurahkan keluh kesah rumah tangga. Hal itu dirasakan sendiri oleh Erlina yang kebetulan telah mengikuti arisan selama dua tahun. Ia berkata bahwa arisan menjadi ruang aman bagi perempuan, menjadi ruang untuk berbagi keluhan hingga tips-tips mengurus rumah tangga.
Namun, ada yang membuat Erlina resah, yaitu saat anggota arisan harus menyanyikan mars Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Pertanyaannya adalah kenapa di perkumpulan pria tidak diwajibkan menyanyikan lagu serupa? Padahal tugas memberdayakan keluarga bukan ditanggung oleh perempuan saja.
Keluhan ibu-ibu kian ramai saat membahas pekerjaan rumah, mereka bercerita bahwa beban rumah tangga rasanya semakin berat sejak suami dan anak beraktivitas dari rumah. Bukan maksud enggan jika keluarga berkumpul, tapi permintaan-permintaan sepele mereka yang membuat ibu-ibu ini kelelahan. Makan minta disiapkan, baju inginnya sudah tinggal pakai, kalau diminta tolong bantu merapikan rumah alasannya kemana-mana. Kondisi semacam ini nyata dirasakan oleh perempuan. Data survei Komnas HAM yang diselenggarakan pada rentang waktu April hingga Mei 2020 menunjukkan bahwa perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari 3 jam, dua kali lipat dari durasi yang dijawab responden laki-laki.[2] Pantas saja Jeng Nana dibuat pusing oleh urusan rumah tangga.
Terdapat dialog Jeng Nana yang menanggapi Mars Rumah Tangga Cermat Tangkas Wanita (istilah dalam drama untuk mengacu pada mars PKK), “Tidak perlu lagi menyanyikan mars ini, saya sudah merasa cukup terbebani,” ujar Jeng Nana. Jeng Nana merasakan adanya beban karena tuntutan bagi perempuan khususnya seorang istri dan ibu seperti dirinya untuk sanggup mengurus keluarga beserta segala pekerjaan rumah tangganya.
Ruginya lagi, bantuan yang diperoleh dari pemerintah bagi masyarakat yang terdampak pandemi pun hanya berupa beras, itu saja pembagiannya tidak merata. Para ibu rumah tangga harus memutar otak untuk dapat menyediakan makanan bagi keluarga. Seperti Bu Wati yang mendapatkan bantuan karena suaminya kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Sebab bantuan yang didapat beras melulu, mau tidak mau ia memasak nasi goreng sehari-harinya.
Berdasarkan data Posko Pengaduan Daring bagi masyarakat terdampak COVID-19 yang diadakan Ombudsman sejak 29 April 2020 lalu, tercatat bahwa penyaluran bansos merupakan masalah yang paling banyak diadukan, yakni sebesar 83% dari 1.604 laporan. Lalu, dari seluruh pengaduan mengenai bansos ini, 22,28% di antaranya melaporkan tidak meratanya penyaluran bansos dalam hal waktu atau wilayah sasaran.[3]
Sampai sini aku merasa seperti terikat dengan emosi ibu-ibu ini, betul kata Jeng Nana, memang seharusnya supaya adil ya bikin juga mars serupa untuk laki-laki. Lantas sejenak aku merasa tertegun bagaimana drama audio dapat mengendalikan emosiku. Tak kusangka, sensasi yang biasa terjadi saat aku menonton film atau teater bisa kualami saat mendengarkan drama audio. Meski sesekali suara radio terputus akibat sinyal yang tidak stabil, itu malah memberi kesan otentik bagiku.
Pada penghujung drama, situasi kian meresahkan akibat Bu Wati, salah satu anggota arisan, tidak kunjung bergabung dalam panggilan video. Setelah menunggu sembari berbincang ke sana kemari, akhirnya Bu Wati terhubung dalam panggilan video, tetapi ada hal yang janggal. Bu Wati mengenakan jaket yang menutupi hampir seluruh badannya, padahal ia sedang berada di rumah. Ibu-ibu yang dibuat keheranan menyuruh Bu Wati untuk melepas jaket, namun ditolak Bu Wati dengan alasan sedang tidak enak badan.
Alasan yang diberikan oleh Bu Wati membuat ibu-ibu curiga, hingga tiba-tiba terdengar suara hentakan keras dari balik layar Bu Wati yang mengejutkan mereka. Sambil ketakutan dan menahan isak tangis, akhirnya Bu Wati membuka rahasia yang selama ini disembunyikannya. Ternyata selama ini Mas Kempes, suami Bu Wati, melakukan kekerasan terhadapnya. Jaket yang selalu Bu Wati kenakan ke mana-mana sengaja tidak pernah ia lepas guna menutupi bekas-bekas kekerasan yang menyelimuti tubuhnya, perlakuan kasar Mas Kempes membuatnya tak berdaya untuk melawan.
Melihat adegan tersebut, anggota arisan lainnya merasa terpukul dan bersedih atas tragedi yang menimpa Bu Wati. Mereka merasa Bu Wati harus segera diselamatkan. Lantas muncullah siasat-siasat cerdik mereka untuk membawa pergi Bu Wati dari rumah itu, dan lebih penting lagi, menjauh dari suaminya. Erlina merasa resah akibat tingkat kekerasan dalam rumah tangga yang kian meningkat di masa pandemi ini.
Berdasarkan keterangan pers yang diterima Kompas.com pada Juni 2020, Maria Ulfah Anshor selaku Komisioner Komnas HAM, berkata bahwa 80% responden dari responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah lima juta rupiah per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi. Hal tersebut memicu Erlina dan Verry untuk menggarap drama yang mengangkat kasus kekerasan dalam rumah tangga, sehingga topik ini lebih diperhatikan oleh pemerintah dan juga masyarakat.
Sayangnya, seiring dengan berkembangnya teknologi, seni drama audio semakin kehilangan penikmatnya, kalah dengan drama atau cerita yang ditampilkan melalui medium visual seperti televisi. Pada masa kini, manusia hidup dalam budaya visual yang memberi pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat. Maksud dari budaya visual adalah penyampaian citra-citra visual yang dapat diakses dari jarak jauh. Citra-citra visual ini kemudian menggerakkan penikmatnya ke wilayah-wilayah baru di dalam budaya media.[4] Pada akhirnya, budaya visual lebih berkembang dengan pesat dibanding budaya non-visual.
Perlu diketahui bahwa drama audio bukan sekadar penyampaian suara dialog demi dialog oleh aktor yang tidak terlihat wujudnya oleh pendengar. Suara menjadi pengendali utama dalam menciptakan penghayatan pendengar terhadap alur drama. Para aktor drama audio perlu mempertimbangkan bayangan macam apa yang ingin dibentuk dalam benak pendengar dan bagaimana cara membentuknya. “Berbeda dengan pertunjukkan teater, dalam drama audio, aktor harus mampu meminimalisir seluruh emosi yang biasa diekspresikan melalui bahasa tubuh dan menyalurkannya melalui suara,” ujar Verry.
Pada akhir cerita “Arisan Siasat”, Bu Wati berhasil diselamatkan oleh ibu-ibu anggota arisan yang lainnya. Secara bergiliran, ibu-ibu datang ke rumah Bu Wati untuk mengalihkan perhatian Mas Kempes dan segera membawa pergi Bu Wati. Akhirnya, Bu Wati berhasil dibawa keluar dari rumah yang bukannya menjadi tempat berlindung malah menjadi arena penyiksaan bagi tubuh dan batinnya.
Jarum panjang pada jam beker milikku telah melewati angka 12 lagi. Kini sudah pukul 23.00. Di radio, Bu Puspa berteriak kepada Mas Kempes, “Kempes! ini saya bawa seember cat sisa bisa buat ngecat tembok rumah, biar rumahmu adem,” cetusnya. Setelah itu, drama selesai. Menjadi perempuan, utamanya ibu rumah tangga di kondisi pandemi seperti ini rupanya membutuhkan banyak siasat. Sudah disuruh memberdayakan keluarga, memenuhi kebutuhan rumah tangga, bukannya diperlakukan baik malah diperlakukan kasar.
[1] Richard J. Hand dan Mary Traynor, The Radio Drama Handbook (New York: Continuum International Publishing Group, 2011), 7.
[2] Dian Erika Nugraheny, “Komnas Perempuan: KDRT Meningkat Selama Pandemi Covid-19, Mayoritas Korban Bungkam,” Kompas.com, Juni 3, 2020, https://nasional.kompas.com/read/2020/06/03/21392401/komnas-perempuan-kdrt-meningkat-selama-pandemi-covid-19-mayoritas-korban?page=all, diakses pada Agustus 30, 2020.
[3] Fana F Suparman, “Dalam 2 Bulan Ombudsman Terima 1.330 Aduan Soal Penyaluran Bansos,” Beritasatu.com, Juli 1, 2020, https://www.beritasatu.com/willy-masaharu/nasional/651227/dalam-2-bulan-ombudsman-terima-1330-aduan-soal-penyaluran-bansos, diakses pada Agustus 3, 2020.
[4] Yasraf Amir Piliang dan Jejen Jaelani, Teori Budaya Kontemporer (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2018), 78.
Erata: kata “wanita” diubah menjadi “perempuan”.
Penulis: Isabella
Penyunting: Rizal Zulfiqri
Ilustrator: Ingga Amalia Dewi