Kasar, seorang Petani penggarap kebun kapuk merupakan tokoh yang pertama kali dikisahkan melalui buku Kisah dari Kebun Terakhir karya Tania Murray Li, Peneliti dan Guru Besar Antropologi Universitas Toronto. Tania merepresentasikan Kasar sebagai salah satu petani di Lauje, Sulawesi Tengah yang terkena dampak dari ketimpangan agraria dan kelangkaan lahan. Untuk menggali lebih dalam mengenai kondisi tersebut, Prodi Antropologi Universitas Tadulako mengadakan acara bedah buku pada Minggu (19-9), pukul 19.00. Bedah buku dilakukan secara daring dan dihadiri lebih dari 200 peserta.
Bedah buku ini tentu juga mengundang Tania, beserta pembahas buku antara lain Ben White Professor Emeritus International Institute of Social Studies di Den Haag, Suraya Afiff dosen Antropologi Universitas Indonesia, Arianto Sangaji perwakilan dari Celebes Institute, Muhammad Ridha perwakilan dari Cara Baca, dan Iqra Anugrah akademisi pascadoktoral di Pusat Kajian Asia Tenggara, Universitas Kyoto. Jalannya diskusi dipandu oleh Laksmi Savitri, perwakilan dari Samadhya Institute sebagai moderator.
Pembahasan dimulai dengan penjelasan Tania mengenai garis besar isi buku dan proses penggarapan buku. Sebelum masuk ke pembahasan, Tania menegaskan bahwa dalam proses penulisan buku, ia telah melakukan kajian etnografi. Fokus pada kajian etnografi tertuju pada satu wilayah khusus, yaitu Lauje dengan segala spesifikasi faktor sejarah, faktor geografis, dimensi waktu, dan karakteristik masyarakatnya.
Tania menjelaskan bagaimana kondisi petani di Lauje yang bekerja di bawah tuntutan komoditas pasar global untuk memasok kakao. “Sejak 1720, petani Indonesia mulai menyesuaikan hasil panen mereka dengan kebutuhan pasar global seperti biji kopi, getah karet, dan cengkeh,” terang Tania. Kemudian Tania menjelaskan konsekuensi dari penanaman komoditas pasar global yang dilakukan secara masif di wilayah dengan ancaman kelangkaan lahan tanam seperti Lauje.
Tania menjelaskan dalam bukunya bahwa kelangkaan lahan disebabkan oleh petani berpaham kapitalis yang menguasai sebagian besar lahan tanam, memberi dampak pada munculnya ketimpangan agraria antar masyarakat adat Lauje. Lalu Tania juga menerangkan bahwa ketimpangan ini menyebabkan petani yang tidak memiliki lahan untuk terpaksa beralih pekerjaan atau mencari tanah yang lebih murah. Masalah lain timbul saat lahan yang didapat tidak bisa ditanami komoditas pasar global, seperti Kasar yang lahan tanamnya hanya bisa ditanami kapuk dengan harga jual yang rendah.
Menjelaskan tentang relasi kapitalisme di Lauje, Iqra Anugrah, berpendapat bahwa kondisi yang terjadi di Lauje merupakan cerminan masyarakat yang terjebak dalam roda kapitalisme dan tidak memungkinkan untuk terlepas dari kondisi ini. “Ada logika pasar sebagai paksaan yang terjadi di Lauje, logika ini memaksa warga Lauje mau tidak mau harus berpartisipasi dalam subjek kapitalis,” terang Iqra. Namun, Iqra tidak memungkiri bahwa warga Lauje juga secara sukarela ingin terlibat dalam roda kapitalisme, mengambil karakter homo economicus dengan harapan dapat meraih keuntungan ekonomi yang lebih tinggi.
Ben White menjelaskan bahwa sebelum kakao menjadi tanaman komersial utama petani Lauje, tembakau sempat menjadi hasil panen komersial yang unggul, hingga pada tahun 1970-an diganti dengan bawang merah dan bawang putih. Ben White juga menjelaskan bahwa pada saat itu, belum ada kelangkaan lahan tanam, karena selalu ada peluang untuk membuka lahan baru. Menurut Ben White, berbeda dengan masa saat kakao menjadi komoditas komersial utama, warga Lauje merasa datangnya kesempatan untuk meraih keuntungan besar dengan kebutuhan tenaga kerja yang minim.
Berdasarkan pengamatan Ben, warga Lauje memanfaatkan situasi ini dengan menanami setiap lahan yang cocok menjadi habitat kakao. Warga Lauje juga melakukan ekspansi lahan secara masif dengan menjadikannya lahan privat. “Privatisasi tanah di Lauje yang dimulai sekitar tahun 1990 era penanaman kakao, diiringi dengan timbulnya diferensiasi kelas sosial diakibatkan tanah hak komunal mulai menjadi kepemilikan individu,” jelas Ben.
Melalui buku Kisah dari Kebun Terakhir, Tania mencoba memberi kesadaran kepada pembaca mengenai krisis lahan dan ketimpangan agraria di Lauje. Hal ini mendapat apresiasi dari Suraya Afiff, ia berkata bahwa hampir seluruh karya Tania mengandung proyek politik yang ditujukan kepada tiga audiens. Menjelaskan tiga audiens yang dimaksud, yakni kalangan akademisi, khususnya studi antropologi, konsultan, dan para ahli perancang kebijakan pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, lalu yang terakhir kalangan aktivis gerakan sosial.
Penulis: Isabella
Penyunting: Deatry Kharisma Karim