Rabu (07-07), Aliansi Mahasiswa Pascasarjana (Asmara) UGM kembali mengadakan audiensi dengan pihak universitas. Tidak seperti audiensi pertama pada 19 Mei 2020 yang mengangkat lima isu, audiensi kali ini fokus pada satu topik tuntutan yaitu pemotongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) semester gasal 2020/2021 secara merata. Bukan hanya soal bahasan, audiensi ini pun berbeda dari audiensi sebelumnya dalam hal keterbukaan forum serta pemangku kebijakan yang hadir.
Audiensi pertama dihadiri oleh para wakil rektor seperti Djagal Wiseso, Wakil Rektor bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan dan Supriyadi, Wakil Rektor bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sistem Informasi. Berbeda dengan audiensi terbaru yang hanya dihadiri oleh Direktorat Kemahasiswaan (Ditmawa) seperti Suharyadi, Direktur Kemahasiswaan dan jajarannya antara lain Sindung Tjahyadi dan Tri Kuntoro. Hal ini didasarkan pada amanah Djagal pada audiensi pertama yang meminta Ditmawa untuk menampung aspirasi lanjutan dari Asmara UGM.
Perihal audiensi yang dibatasi pesertanya, Agustinus Ali Marco selaku Humas Asmara UGM menyatakan bahwa keputusan ini datang dari Ditmawa. Keputusan model audiensi tertutup baru disampaikan satu setengah jam sebelum kegiatan digelar. “Sangat mendadak dan sepihak,” ungkap Marco.
Meskipun begitu, forum yang berlangsung melalui Webex ini sempat bisa diakses oleh publik pada awal acara. Namun, host yang berasal dari Ditmawa mulai menyingkirkan akun yang dianggap tidak berkepentingan ketika acara baru berjalan sekitar sepuluh menit. Pengelola akun Instagram Asmara UGM yang sedang merekam siaran langsung termasuk salah satu yang dikeluarkan dari forum. “Bahkan, beberapa nama yang sebelumnya sudah disetujui Ditmawa sebagai peserta audiensi ikut dikeluarkan,” tutur Marco.
Di luar perbedaan tersebut, audiensi ini sama seperti edisi sebelumnya menyangkut dinamika bahasan penurunan UKT universal. Pihak universitas selalu berdalih bahwa kebijakan penurunan UKT ada di ranah fakultas sebagaimana yang disampaikan Supriyadi pada audiensi pertama. “Kami akan mempersiapkan sistem penurunan UKT bagi yang membutuhkan lewat pengajuan ke fakultas,” paparnya kala itu.
Senada dengan Supriyadi, Tri Kuntoro pada audiensi terbaru menyatakan bahwa pihak universitas tidak bisa ikut campur soal penurunan UKT. Begitu pula yang dikatakan oleh Hilda sebagai Dekan Pascasarjana, bahwa kondisi keuangan tiap fakultas berbeda-beda. Maka, sambungnya, kebijakan penurunan UKT lewat fakultas hanya bagi mahasiswa terdampak COVID-19 sudah sesuai. “Adil tidak selalu merata,” tandasnya.
Suharyadi pun ikut menambahkan bahwa pemotongan UKT secara menyeluruh semestinya tidak perlu dibahas lagi. Baginya, sistem penurunan UKT yang ada sudah mengakomodasi keluhan mahasiswa. “Dicoba mengajukan saja dulu, baru bisa protes,” tukasnya sembari menyarankan Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) untuk mengawal skema penurunan UKT yang sudah berjalan.
Klaim Suharyadi ini berbeda dengan Sindung yang mengatakan bahwa bisa saja tuntutan Asmara UGM dibicarakan, namun audiensi ini bukanlah momen yang tepat. Hal ini dikarenakan peran Ditmawa yang menurutnya sebatas penyampai keluhan mahasiswa. “Kalau mau menuntut diskon UKT universal, silakan ke Rektor,” ungkapnya. Meski begitu, Suharyadi menyetujui permintaan Asmara UGM untuk dipertemukan dengan pihak rektor dalam kurun waktu seminggu.
Melihat tanggapan pihak kampus pada audiensi terbaru, Marco menyampaikan bahwa audiensi ini nihil titik temu. Namun, tambahnya, mereka sedikit mafhum mengingat audiensi ini baru dihadiri Ditmawa yang hanya sebagai penampung aspirasi. “Audiensi ini sebagai langkah awal menuju eskalasi gerakan yang lebih masif,” jelasnya.
Dalam kajian yang disusun, Asmara UGM menyampaikan ada selisih paham pihak kampus dalam memaknai tuntutan. Asmara UGM menulis bahwa inti tuntutannya tidak pada keterdampakan individu, melainkan soal unit cost UKT yang tidak terpakai selama Perkuliahan Jarak Jauh (PJJ). Namun selisih paham kembali terjadi pada audiensi terbaru saat pihak kampus lagi-lagi bicara soal keterdampakan individu seperti yang disampaikan Hilda.
Sebenarnya unsur keterdampakan ini pun sudah dijabarkan pada audiensi sebelumnya. Venda selaku Tim Kajian menyebutkan bahwa 87 persen responden terganggu sumber biaya kuliahnya akibat COVID-19. “Wajar kalau mahasiswa berkeberatan membayar penuh UKT semester depan,” ujarnya.
Lebih dari itu, seperti yang sudah dijelaskan, duduk perkaranya adalah biaya UKT penuh tidak sebanding dengan skema PJJ yang dicanangkan UGM. Dalam rilis persnya, Asmara UGM mempersoalkan biaya UKT yang tetap normal sementara fasilitas umum tak bisa dinikmati mahasiswa seperti gedung dan wi-fi. Dengan begitu, mereka pun menolak SK Nomor 792/UN1.P/KPT/HUKOR/2020 Tentang Keringanan Pembayaran Uang Kuliah Tunggal Bagi Mahasiswa UGM, sebagai solusi atas permasalahan yang ada. Poin nomor 6 di SK yang terbit lima belas hari pasca audiensi pertama tersebut menjelaskan pengajuan keringanan yang bersifat individual. Berbeda dari tuntutan Asmara UGM sejak awal yakni diskon UKT universal. Dalam kajian awal Asmara UGM yang disampaikan saat audiensi pertama, mereka pun sudah menuntut penurunan UKT secara universal.
Tuntutan Transparansi Alokasi UKT
Asmara UGM kembali menuntut transparansi alokasi UKT pada audiensi terbaru. Namun Ditmawa menolak untuk memberikan keterangan lebih lanjut. “Bukan kewenangan kami,” ujar Marco meniru pernyataan pihak Ditmawa. Perlu diketahui bahwa Asmara UGM sudah menuntut transparansi alokasi UKT selama PJJ bahkan sejak audiensi pertama.
Pada audiensi pertama, bahasan transparansi alokasi UKT menuai perdebatan. Biko, anggota Tim Kajian Asmara UGM, menuntut adanya transparansi ini agar data mengenai kalkulasi penurunan UKT secara menyeluruh bisa dibandingkan. Namun, pihak rektorat menyangkal adanya data yang dimaksud karena rinciannya ada di fakultas. “Meski datang dari departemen dan fakultas, semua data UKT pasti bermuara ke pusat, jadi tidak masuk akal alasannya,” tukas Biko menepis dalih rektorat.
Tuntutan transparansi alokasi UKT ini terus digencarkan oleh Asmara UGM. Dalam rilis persnya, mereka menyayangkan pihak kampus yang berbelit-belit bila dimintai soal transparansi alokasi UKT. “Padahal pendidikan merupakan barang publik sehingga keterbukaan informasi wajib dijalankan.” tulisnya.
Menyikapi tuntutan yang kembali diabaikan, Marco menyampaikan bahwa Asmara UGM sedang berkomunikasi dengan Aliansi Mahasiswa UGM (S1) demi menggalang gerakan yang lebih besar. Asmara UGM, lanjutnya, menganggap dua audiensi yang sudah dilakukan tidak membawa hasil signifikan. Ditanyai perihal opsi kemungkinan menggelar aksi lapangan, Marco menukas dengan tegas, “Jelas kami pertimbangkan.”
Erata: untuk kelengkapan informasi, paragraf keempat ditambahi kalimat: “Bahkan, beberapa nama yang sebelumnya sudah disetujui Ditmawa sebagai peserta audiensi ikut dikeluarkan,” tutur Marco“.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Penyunting: Ayu Nurfaizah