Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) meluncurkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2019 mengenai industri tambang dan dampaknya terhadap keselamatan sosial dan ekologis pada Senin (6-1). Bersamaan dengan itu, diadakan pula diskusi bertajuk “Bagaimana Oligarki Tambang Menghancurkan Keselamatan Rakyat dan Infrastruktur Ekologis di Era Jokowi” di Bangi Kopi, Jakarta Selatan. Diskusi ini diisi oleh beberapa pembicara, di antaranya adalah Ki Bagus Hardikusuma sebagai Kepala Divisi Jaringan JATAM; Melky Nahar sebagai Kepala Kampanye Penyadaran Publik JATAM; Aini Willinsen sebagai Database JATAM; Ahmad Ashov Birry dari Bersihkan Indonesia; Taufan Damanik dari Komnas HAM; dan Merah Djohansyah sebagai Kepala Koordinator JATAM. Â
Bagus membuka diskusi dengan menyatakan bahwa penurunan izin tambang turut menurunkan kualitas hidup masyarakat. Ia pun mengambil contoh kerusakan alam yang terjadi di Bengkulu. Bagus menerangkan bahwa di sana terdapat 8 konsesi perusahaan pertambangan batu bara, yakni PT Kusuma Raya Utama, PT Bara Perdana, PT Bengkulu Bio Energi, PT Bara Mega Quantum, PT Inti Bara Perdana, PT Griya Pat Petulai, PT Cipta Buana Seraya, PT Ratu Sambang Mining, dan PT Danau Mas Hitam. Bagus menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut turut andil dalam perusakan Daerah Aliran Sungai Bengkulu serta perusakan hutan lindung Bukit Daun. Akibatnya, banjir bandang terjadi dan menelan 33 korban jiwa serta lebih dari 12.000 warga terpaksa mengungsi. “Selain itu, masih ada 783 izin pertambangan berkaitan dengan bencana dan menciptakan pengungsi sosial-ekologis,” jelasnya.
Selain bencana alam, Bagus juga menerangkan bahwa pelanggaran HAM juga kerap terjadi saat ada usaha pemerintah dalam melanggengkan pertambangan. Berdasarkan data temuan JATAM, sepanjang 2014 hingga 2019 telah terjadi 36 kasus kriminalisasi dengan jumlah korban sebanyak 205 orang. Sementara itu, sepanjang 2019 sendiri terdapat empat kasus kriminalisasi, dua kasus penyerangan yang menyebabkan kematian, serta empat tindakan intimidasi oleh preman suruhan perusahaan. “Kasus-kasus tersebut dilakukan kepada warga penolak tambang, aktivis, akademisi, jurnalis, serta musisi,” jelasnya. Â
Melky menambahkan, kasus-kasus tersebut berpotensi kuat kembali terjadi di periode ke-2 Jokowi, sebab terdapat rencana menyederhanakan beberapa peraturan yang dikenal dengan omnibus law. Melky menjelaskan, pasal-pasal dalam omnibus law bertujuan untuk mendorong investasi di industri ekstraktif. “Sayangnya, tidak ada satu pun pasal yang memposisikan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat,” jelasnya.
Aini lalu menjelaskan bahwa dalam omnibus law, salah satunya, terdapat draf naskah revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang sedang dalam proses pembahasan. Menurut hasil kajian Aini bersama JATAM, terdapat beberapa pasal yang dihapus dari naskah UU tersebut sehingga berpotensi mengancam keselamatan warga dan alam. Aini mengungkapkan bahwa beberapa pasal yang dihapus berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), renegosiasi perpanjangan kontrak karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. “Hal tersebut akan mempermudah pengusaha melakukan perpanjangan kontrak,” jelas Aini. Penghapusan pasal renegosiasi kontrak, kata Aini, juga akan menanggalkan kewajiban pengusaha untuk menyerahkan konsesi lahan sebesar 15.000 hektare tiap IUP kepada pemerintah.Â
Aini juga mengungkapkan bahwa terdapat penambahan pasal yang berpotensi memperkaya segelintir orang karena tidak ada batasan bagi korporasi untuk memiliki IUP. Selain itu, Aini juga melihat bahwa pasal 162 memuat pelegalan kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Sebab, tuturnya, pasal tersebut berisi bahwa siapa pun yang melawan aktivitas pertambangan yang telah memiliki IUP dapat dikenai pidana berupa penjara. “Selain untuk mengkriminalisasi, pasal 162 dapat digunakan oleh pemerintah untuk menghambat perlawanan warga penolak tambang,” ungkapnya.
Kebijakan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah tersebut dinilai Ahmad tidak adil untuk rakyat. Padahal, tutur Ahmad, kebijakan mengenai pengelolaan pertambangan yang berkeadilan sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 serta pasal 33. Kebijakan dengan paradigma tersebut, tuturnya, tidak menolak investasi namun juga tidak mengancam keselamatan manusia dan alam. “Tapi di mana masterplan ekonomi dengan paradigma tersebut? Bahkan selama ini, penambangan saja tidak dibatasi,” ujarnya.Â
Maka dari itu, dalam rangka mengupayakan perubahan paradigma kebijakan pertambangan, Taufan menegaskan pentingnya rakyat untuk memanfaatkan ruang demokrasi yang sudah terbuka. Ia menuturkan bahwa keterbukaan itu dapat dilihat dari tidak adanya pelarangan atas diskusi-diskusi publik. “Berbeda dengan zaman Soeharto, yang harus sembunyi-sembunyi ketika akan berdiskusi,” jelasnya.Â
Berbanding terbalik dengan Taufan, Merah justru mengungkapkan bahwa saat ini ruang demokrasi tidak ada lagi. Hal tersebut didasarkan pada peristiwa penebasan kepala seorang mahasiswa yang memprotes aktivitas pertambangan di Sulawesi Tenggara pada Januari 2020. “Dengan tertutupnya ruang demokrasi, bukan hal yang mengherankan bila yang terjadi adalah protes dijawab dengan kriminalisasi dan tebasan,” ungkapnya.
Berangkat dari hal tersebut, Merah memberikan beberapa rekomendasi kepada rakyat sebagai jalan alternatif untuk melakukan perlawanan. Salah satunya, Merah merekomendasikan pembekuan kantor Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan cara menuntut kementerian tersebut untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait proses aktivasi pertambangan. “Kementerian ESDM harus bertanggung jawab atas kebijakannya yang memfasilitasi ekspansi industri pertambangan ekstraktif,” tuntutnya.
Penulis: Muhammad Fadhilah Pradana
Penyunting: Ima G. Elhasni