Di Pati, dalam kunjunganku ke rumah temanku, Dekso, selepas ia pulang dari Bengkel Teater Rendra di tahun 2000, aku menemukannya telah berubah. Saat aku sampai di rumahnya yang juga berubah menjadi lumayan mewah –kusaksikan betapa rumahnya dipenuhi oleh banyak orang dengan pelbagai roman seperti halnya wajah-wajah di makam para wali. Wajah-wajah mereka dibebani sesuatu yang tampak berat, semacam harapan akan sesuatu yang entah apa. Tapi, mata mereka juga memancarkan kekuatan harapan untuk terselesaikan di sini. Mereka pria, wanita, tua, muda duduk menyebar di antara teras rumah dan halaman dikurung penantian yang lesu.
Di halaman rumah itu, dulu, kusaksikan tumbuh pohon apel londo yang tinggi dan rimbun daunnya. Pohon besar yang berdiri tunggal menjulang di antara pohon-pohon lain yang lebih rendah di samping rumah. Dari sana tampak garis sungai dan sawah luas menghampar melingkupi rumah. Pada sore hari menjelang senja, aroma sawah akan terasa sampai ke jiwa dan tertanam dalam ingatanku. Kami biasa duduk di bawah pohon apel londo menjelang senja.
Temanku, Dekso, sering menyuguhi dengan apel londo yang manis sepat saat berbuah. Kami menikmatinya sembari minum kopi dan rokok. Sementara ia mengulang cerita tentang gurunya, atau kisah-kisah mitos di daerahnya, terutama kisah Saridin –aku sibuk membelah dan mengunyah daging buah berkuah itu. Tapi ia hanya berkisah dengan lekuk gestur Rendra yang mempesona. Tak ada kesan ia mempercayai kisah itu dari tampang mukanya. Dan aku selalu berupaya mendengarkan sepenuh hati. Meskipun angin sepoi yang berhembus menyentuh wajah seringkali membuatku mengantuk di atas lincak, sehingga membuatnya mengoceh sendiri tanpa kudengar lagi. Tapi, pohon itu kini kulihat telah tak ada. Hanya ada pohon-pohon kecil seperti belimbing dan jambu yang tak begitu leluasa mencegah hawa panas matahari.
Mengingat tubuh Dekso yang kecil dengan muka bersahaja dan cenderung tak berdaya –merupakan kejutan bagiku saat aku kembali datang setelah sekian tahun. Seorang perempuan tua berjilbab biru lusuh yang duduk di bawah pohon belimbing mengatakan padaku dengan yakin bahwa Dekso titisan Saridin yang dikenal sakti di masa lalu. Tokoh yang sering ia ceritakan padaku. Kabar itu mengherankan dan memaksaku memandang dengan tatapan kosong ke arah sawah yang mulai menguning di sekitar halaman rumah itu.
Aku tak bisa memahami meskipun aku berupaya mengerti. Bagaimana mungkin ia tiba-tiba menjadi Saridin. Dan orang-orang begitu percaya begitu saja. Kupikir, ia mungkin mulai membutuhkan panggung. Dekso seorang aktor yang bisa saja menjadi sesuatu. Namun ia memang tak lagi punya panggung, untuk berteater. “Ongkos terlalu mahal,” katanya suatu ketika. “Dan tak ada penonton serius.” Lagipula, teater di sini menjadi agama yang tak telalu diminati. Orang teater sendiri terkurung dalam hasrat untuk menjadi mesias yang juga tak mampu dicerna pesannya. Lebih baik menjadi komedian seperti orang itu yang realistis. Tak perlu menjadi sebagai aktor, tapi bisa membuat orang tertawa dan laku.” Ia berkata serius, tapi aku tahu ia sinis.
Mungkin ia membutuhkan sebuah pengahasilan. Aku mencoba terus mencerna semua kemungkinannya. Atau aku mungkin terlalu logis untuk bisa memahami sesuatu yang diluar akal sehatku. Pengetahuanku tak cukup menjangkau semua hal-hal yang bersifat metafisika. Aku ingat, bagaimana ia menceritakan tentang filosofi tiga gunung memeluk rembulan. Rendra, katanya, mencoba membangun filosofi hidup bagi dirinya dan murid-muridnya. Pandangan hidup secara metafisik yang diwujudkan dalam sikap sehari-hari. Seorang penyair, konon, menurut tafsirnya, hidup di antara tiga hal yang mencerminkan sikap transendental penyair untuk mencapai keselarasan hidup dalam ruang waktu.
Jadi, tiga gunung itu menurutnya adalah kekokohan pengabdian, spontanitas dan kewajiban. Sebagai seorang penyair, ia harus total mengabdi pada kemanusiaan dan peka terhadap keadaan. Ia harus mampu menjadi spontan dan artikulatif untuk menghadapi dan menyampaikan segala sesuatu. Tetapi ia juga harus menjaga kewajaran hidup sebagai manusia biasa yang memiliki kewajiban terhadap dirinya, keluarganya dan lingkungannya. Maka ia akan mendapatkan keselarasan hidup dalam waktu yang disimbolkan bulan. Mungkinkah ia tengah mempraktikkan ketiga hal itu? Sebagai Saridin?
Aku tak bisa langsung masuk menemuinya. Berjubelnya orang-orang yang ternyata tengah berkonsultasi dan meminta sesuatu lewat dirinya sebagai Saridin membuatku menahan diri agar tidak menganggunya. Jadi, aku hanya berjalan mondar-mandir di antara halaman dan teras rumah, sampai akhirnya merasa lelah. Setelah itu, aku mencoba mencari tempat duduk di pinggir halaman yang ditumbuhi pohon teh-tehan untuk merokok sembari melihat sawah yang luas membentang hingga Kudus. Saridin, Dekso. Lama sekali kupikirkan dua nama itu, dan akhirnya membuatku tersenyum.
Sejak tahun 1970-an, di dalam berjilid-jilid kaset pita, nama Saridin dikekalkan sebagai cerita rakyat dan diimani oleh sebagian besar orang- di wilayah utara Jawa, terutama Pati. Dekso mengaku mengenalnya dari kaset berpita yang ia dengarkan sedari kecil. Di Pati, nama Saridin sebanding dengan para wali sekaligus penguasa legendaris Adipati Pragola II yang gugur oleh pasukan Sultan Agung, iparnya sendiri dari Mataram. Kisahnya selalu diputar di tengah hajatan di kampung-kampung, baik dalam sebuah kaset yang dipancarkan dari toa atau pertunjukkan langsung dalam lakon ketoprak.
Seperti halnya kisah-kisah legenda setengah mitologis, Saridin tak diketahui secara pasti asal usulnya tapi diyakini sebagai makhluk luar biasa yang bahkan mampu medatangkan kebahagiaan setelah beratus-ratus tahun kematiannya. Kuburannya di wilayah Kayen mendapat tempat di hati para peziarah yang kehilangan harapan akan hidup bahagia di dunia nyata. Dekso, sepertinya tengah mengambil peran Saridin.
Ketika, akhirnya aku bertemu menjelang pagi, aku semakin bisa meyakinkan diriku bahwa Dekso memang sudah berubah. Kami mengobrol di sebuah dipan kayu jati besar beraroma zafaron sembari minum kopi. Kulihat, wajahnya tak menunjukkan rasa lelah. Dengan daya energi yang masih menyala kuat, ia mencoba meyakinkanku sebagai Saridin. Katanya, darahnya mengalir darah Saridin. Manusia, katanya adalah akar yang terus tumbuh dalam setiap zaman. Setiap darah dalam tubuh manusia membawa ingatan dan hasrat masa lalu.
“Aku hanya menggenapkan apa yang belum selesai,” katanya.
Dekso meyakini dirinya adalah Saridin cucu generasi ke sepuluh. Ketika kutanya dari mana ia tahu, ia menjawab pesan dari sebuah mimpi.
“Jangan salah,” katanya bersungut saat mendengar nada gugatku. “Mimpi adalah bagian dari realitas alam semesta. Dunia mimpi adalah dimensi yang menghubungkan semua pintu dimensi lain di jagat raya ini. Mimpi adalah realitas seperti halnya keadaan kita bertatap saat ini.” Aku mendengarkannya. Di luar, suara serangga malam terdengar seperti penanda kesunyian yang berbunyi.
“Aku mendapat tugas untuk membantu orang-orang. Itu tugas mulia yang harus aku jalani sebagai takdirku.”
Waktu semakin pagi. Selain mulai merasa lelah, aku juga tak ingin membantah Saridin. Ia, bagiku telah memilih jalannya. Meskipun, aku harus jujur untuk mengatakan, pilihannya adalah konyol dengan nalar yang setengah miring. Bagaimana mungkin ia bisa menyelesaikan pelbagai persoalan hidup orang lain seperti Tuhan.
Dalam sebuah kesempatan di esok harinya, aku tertarik untuk mencoba berkunjung ke makam Saridin. Di makam itu kudapati suasana magis yang luar biasa. Orang-orang tunduk khusyuk dalam balutan aroma dupa dan Gunung Kendeng. Area itu dipenuhi pelbagai jenis orang dengan banyak permintaan yang memang manusiawi, seperti halnya di rumah Dekso. Namun, bagiku semua itu menjadi terasa aneh dan membuatku terus berpikir, mengapa harapan-harapan mereka itu tak pernah sampai pada pemerintah di bumi. Aku merasa ada jarak antara rakyat dan wakil serta penguasanya. Mengingat semua yang diminta nyaris soal ekonomi. Namun, sebaliknya, jarak itu justru tak tampak antara harapan orang hidup dan dunia yang merupakan sesuatu yang misterius.
Mungkin saja Saridin dan Dekso memang wakil di dunia yang entah itu untuk menyelesaikan urusan manusia di sini. Setelah menengok makam Saridin, di antara nisan-nisan mati yang beku dan sengat wangi dupa, sepintas kulihat lereng Gunung Kendeng. Aku mulai sadar, hijaunya agak memudar.
Ranang Aji SP
Mengelola sebuah media online sejak 2011-. Menulis berupa opini, esai budaya dan sastra di pelbagai media cetak dan digital. Cerpennya dipublikasikan Minggu Pagi (2008), Sastra Banua (2012), Media Indonesia, Pikiran Rakyat dan Kompas (2018). Buku puisi berjudul Fang (2011) dan Kumpula Puisi Bersama Di Bawah Titik Perlawanan (2012). Esainya terbit dalam katalog pameran seni rupa Behind The Myth di Athena, Yunani (2013)