Sejumlah lembaga dan individu yang tergabung dalam Aliansi untuk Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung mengadakan konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada Rabu (16-01) siang. Konferensi ini menghadirkan Oktaria Asmarani dari BPPM Balairung UGM, Yogi Zul Fadhli dari LBH Yogyakarta, Pito Agustin Rudiana dari LBH Pers Yogyakarta, Tommy Apriando dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, dan Tri Wahyu dari Indonesian Court Monitoring. Konferensi pers dilakukan terkait pemanggilan Citra Maudy, jurnalis BPPM Balairung, oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) pada 26 Desember 2018.
Polda DIY memanggil Citra sebagai saksi dugaan tindak pidana perkosaan karena berita yang ia tulis dan BPPM Balairung terbitkan pada 5 November 2018. Citra menerima surat pemanggilannya pada tanggal 28 Desember 2018 atas perkara yang dilaporkan oleh Drs. Arif Nurcahyo pada 9 Desember 2018. Bersama kuasa hukumnya dari LBH Yogyakarta, Citra memenuhi panggilan tersebut pada 7 Januari 2019. Akan tetapi, saat proses penyidikan berlangsung, Citra justru mendapatkan banyak pertanyaan yang janggal.
Oktaria Asmarani mengatakan bahwa sejumlah pertanyaan yang diajukan penyidik kepada Citra tidak substantif. “Beberapa pertanyaan yang diajukan tidak mengarah ke kasus kekerasan seksual yang dialami Agni tetapi ke tulisan Citra dan proses reportasenya,” ujarnya. Penyidik justru mempertanyakan dari mana Citra mendapatkan informasi terkait peristiwa pemerkosaan hingga apakah berita yang diterbitkan hoaks atau bukan. Dalam hal ini, Polda DIY dianggap cenderung mempermasalahkan kebenaran berita yang diterbitkan BPPM Balairung. Dilansir dari Kumparan, hal tersebut diperjelas oleh pernyataan Direktur Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda DIY, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Hadi Utomo yang mempertanyakan nomenklatur pemerkosaan yang digunakan Citra dalam tulisannya.
Menambahkan pernyataan Rani, Yogi Zul Fadhli menegaskan bahwa posisi BPPM Balairung adalah pewarta yang kerja-kerjanya terikat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). “Selain itu, penyidikan dilakukan dengan basis Pasal 285 dan Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perkosaan dan pencabulan,” tegasnya. Maka dari itu, ia berpendapat bahwa beberapa pertanyaan yang dilontarkan kepada Citra tidak sesuai dengan basis penyidikan tersebut. Dari penyidikan tersebut, Direktur LBH Yogyakarta ini juga mengatakan bahwa polisi seolah abai dengan UU Pers.
Tommy kemudian mengatakan bahwa pemanggilan Balairung ke Polda DIY merupakan suatu bentuk ancaman demokrasi. Menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Yogyakarta ini, polisi tidak seharusnya memanggil Citra sebagai saksi karena posisi Citra adalah wartawan yang menerima informasi dari penyintas. “Kalau ingin menilai apakah ini pemerkosaan atau bukan, sebaiknya penyidik memanggil Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) atau yang ahli dalam pendefinisian lewat tulisan,” katanya. Menurutnya, apabila ingin bersungguh-sungguh menuntaskan kasus ini, Polda DIY seharusnya lebih cerdas dalam pemanggilan saksi.
Sepakat dengan pernyataan Tommy, Pito Agustin Rudiana mengatakan ada mekanisme tertentu yang seharusnya dilakukan oleh penyidik. Menurut Pito, kepolisian telah “offside” (kelewatan) karena menjadikan pemberitaan yang ditulis wartawan sebagai sarana untuk mempertanyakan kasus yang ditulisnya. Baginya, polisi seharusnya menyidik kasus tersebut berdasarkan berita yang ditulis, bukan penulis berita itu sendiri. Pito mengatakan, apabila wartawan menyalahi KEJ, penanganan kasus seharusnya dilakukan oleh Dewan Pers. Direktur LBH Pers Yogyakarta ini juga mengatakan bahwa polisi terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan berita ini hoaks atau bukan. “Harusnya polisi itu menyidik, bukan menghakimi,” tegasnya.
Yogi yang mewakili Aliansi untuk BPPM Balairung kemudian membacakan lima sikap bersama untuk BPPM Balairung. Pertama, menolak segala upaya pengaburan isu penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM. Kedua, menuntut pihak yang berkepentingan untuk menuntaskan kasus Agni. Ketiga, mengecam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan jurnalis pers mahasiswa. Keempat, menolak kriminalisasi terhadap jurnalis BPPM Balairung. Kelima, mendesak Rektor UGM untuk melindungi penyintas dan pihak-pihak yang melakukan kerja-kerja pengungkapan kasus kekerasan seksual di UGM.
Walaupun sikap bersama telah dibacakan, pada Kamis (17-01), Thovan Sugandi selaku penyunting “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” juga memenuhi panggilan Polda DIY. Sama seperti Citra, Thovan dipanggil sebagai saksi dugaan tindak pidana perkosaan. Terkait hal ini, Yogi Zul Fadhli mengatakan bahwa upaya BPPM Balairung untuk memenuhi panggilan polisi adalah semata-mata untuk menghormati proses hukum. Yogi pun dengan tegas memberikan batasan kepada pihak penyidik bahwa BPPM Balairung terikat dengan KEJ dan UU Pers. Oleh karenanya, baik Citra maupun Thovan memiliki hak untuk membatasi informasi yang dapat mereka sampaikan.