Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Pos Teratas
Ikrar Preservasi Masyarakat Kali Progo pada Hari Anti...
Visi Kerakyatan UGM
Lumbung Pangan Limbung Lingkungan
Alih Rupa Mistis Wajah Reformasi
Gunungan Hasil Bumi dan 17 Tahun Perjuangan Warga...
Sewaktu TNI AD Disinari Teori Modernisasi
Diskusi Soal Kelas Pekerja Singgung Relasi Pekerja dengan...
Curi Cuan dari Perempuan
17 Tahun Menolak Tambang, PPLP-KP Konsisten Terus Tumbuh...
Bangunan Sebagian Kawasan Kerohanian

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Musim Menjagal: Melawan Narasi 1965 Orde Baru

Oktober 11, 2018

©Fahmi/Bal

Buku​ berjudul ​Musim Menjagal (2018) itu nampak berdiri tegak di atas meja, tepat di bagian paling depan ruang seminar Magister Administrasi Publik (MAP) UGM​.​ Dalam acara diskusi MAP Corner UGM pada Selasa (9/10) dihadirkan dua orang pembicara utama, yakni Yoseph Yapi Taum, dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, dan Najib Azca, dosen Sosiologi UGM, untuk membedah buku ​Musim Menjagal milik Geoffrey Robinson. ​Arif Novianto, moderator diskusi, memberi pengantar perihal buku yang diterjemahkan oleh Komunitas Bambu dari versi bahasa Inggrisnya yang berjudul ​The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-1966 (2018) ini. Buku ini menjabarkan tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi pada periode 1965-1966.

Dalam buku tersebut, Geoffrey Robinson menyebutkan ​bahwa peristiwa pembantaian simpatisan dan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang umum dikenal dengan sebutan Gerakan Satu Oktober (Gestok) adalah sebuah genosida.​ Yoseph menjelaskan bahwa kelebihan dalam buku ini adalah Geoffrey memuat angka korban dengan data-data yang dapat dipercaya. “Geoffrey mengungkapkan angka akademis yang dapat dipertanggungjawabkan, jumlahnya 500 ribu sampai dengan 1 juta korban jiwa, berbanding terbalik dengan angka dari Sarwo Edhie, misalnya, yang menyebutkan angka korban mencapai 3 juta jiwa​,”​ ungkap Yoseph.

Sementara itu, salah seorang peserta diskusi, Willy, mahasiswa FIB UGM, mempertanyakan signifikansi fakta dan data yang ada dalam buku ini jika dibandingkan dengan buku serupa lainnya. Najib menuturkan bahwa sebetulnya tidak ada kebaharuan yang signifikan dari apa yang dimuat dalam buku ini. Namun terlepas dari hal tersebut, Najib menjelaskan bahwa buku ini memberikan sumbangsih yang sangat bermanfaat untuk pembaca memahami peranan dari setiap dimensi yang terlibat.

Najib menambahkan bahwa Geoffrey menghadirkan narasi baru terkait peristiwa 1965 lewat analisis tiga faktornya. “Analisis tiga faktor, yang antara lain adalah peranan Angkatan Darat, peranan internasional dan faktor konteks historis, saya kira ini yang bermanfaat untuk kita mengetahui dimensi-dimensi yang berperan aktif dalam peristiwa itu,”​ tutur Najib.

Ketua Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma, Romo Baskara, menambahkan bahwa buku ini memang tidak mencoba menghadirkan data baru terkait tragedi 1965-1966. Romo membandingkannya dengan buku lain milik Geoffrey yang berjudul ​The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (1995)​ yang menurutnya memberikan pandangan baru terkait peristiwa 1965 di Bali. Sementara itu, Yoseph justru berpendapat, “Geoffrey coba menjelaskan mana saja fakta yang masih kabut dan mana saja fakta yang masih tabir.​”

Najib menyatakan bahwa terlepas dari studi-studi soal peristiwa 1965 yang sudah banyak jumlahnya, masih ada sisi lain yang perlu dikaji lebih dalam, seperti salah satunya adalah peranan politik dan militer dalam peristiwa 1965. Senada dengan hal itu, Romo Baskara juga menuturkan bahwa masih banyak aspek lain terkait peristiwa 1965 yang belum terungkap. Menurutnya, hal itu adalah tanggung jawab generasi muda untuk mengungkapkan sebagai bentuk perlawanan atas narasi yang dibangun oleh Rezim Orde Baru.

Penulis: Fahmi Sirma Pelu
Penyunting: Abilawa Ihsan 

1965genosidamusim menjagalpeluncuran bukuPKI
1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Ikrar Preservasi Masyarakat Kali Progo pada Hari Anti...

Diskusi Soal Kelas Pekerja Singgung Relasi Pekerja dengan...

17 Tahun Menolak Tambang, PPLP-KP Konsisten Terus Tumbuh...

Seno Gumira Ajidarma Ajukan Sekolah Liar sebagai Perjuangan...

Kondisi Buruh Belum Layak, Massa Aksi Peringati May...

Peringati Hari Buruh, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Ikrar Preservasi Masyarakat Kali Progo pada Hari Anti Tambang

    Juni 1, 2023
  • Visi Kerakyatan UGM

    Mei 30, 2023
  • Lumbung Pangan Limbung Lingkungan

    Mei 28, 2023
  • Alih Rupa Mistis Wajah Reformasi

    Mei 21, 2023
  • Gunungan Hasil Bumi dan 17 Tahun Perjuangan Warga Pesisir Kulon Progo

    Mei 19, 2023

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Spesies Invasif

Polisi Virtual

Fasilitas Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UGM Belum Maksimal

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM