Jazz adalah jenis musik yang terbuka dan sangat dinamis. Sayangnya keterbukaan ini justru menyulitkan jazz ketika harus mendefinisikan dirinya sendiri.
Siang itu, kondisi toko musik Disc Tarra tak jauh berbeda dengan hari-hari lainnya. Deretan album dari para musisi ternama tertata rapi di etalase gerai ini. Tak ada yang menyadari keberadaan sebuah karya klasik di antara kaset-kaset itu. Karya klasik itu adalah kaset yang berisi kompilasi lagu dari musikus jazz mula-mula, Joseph Oliver. Pada sampulnya, terpampang foto sang pemain kornet sekaligus bandleader tersebut. Â Tertulis juga sebuah kutipan, King Oliver: Iâll still be king. Rupanya si pihak rekaman ingin berkata bahwa musik jazz di era Sang Raja belum mati. Melalui album inilah karya-karya terbaik King di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dikumpulkan. Para penikmat jazz sekarang pun dapat mengenang gubahan dari leluhur genre musik ini.
Jazz telah setidaknya berusia satu abad dan menjadi genre musik terstruktur pertama setelah musik klasik Eropa. Rekaman jazz pertama dilakukan di tahun 1917 oleh grup musik bernama Original Dixieland Jazz Band. Sedangkan grup jazz King Oliver baru melakukan rekaman di tahun 1923 (Williams, 1993: 10). Sejak saat itu, jazz mulai dikenal orang Amerika dan menjadi populer. King membawa permainan jazznya dari New Orleans di Selatan menuju New York, Chicago, dan Washington, di Utara. Kehadiran klub-klub jazz dan radio membantu persebaran musik ini dalam skala yang masif. Dalam waktu singkat jazz telah melahirkan banyak musisi besar pada eranya sendiri.
Nama-nama seperti Louis Armstrong, Charlie Parker, Duke Ellington, Thelonious Monk, hingga Miles Davis masih dikenang oleh generasi-generasi selanjutnya. Mereka  adalah revolusioner yang membuat jazz menjadi seperti sekarang. Para musisi itu mengembangkan gaya permainannya sendiri dan menciptakan beragam variasi dalam bermain jazz. Louis Armstrong dikenal sebagai penyempurna musik jazz tradisional atau hot jazz yang sebelumnya dipopulerkan oleh King. Sedangkan Duke Ellington banyak berkarya di musik swing. Kemudian Charlie Parker menjadi tokoh penting dalam perkembangan gaya permainaan jazz yang cepat dan rumit atau biasa disebut bebop. Selanjutnya disusul oleh Miles Davis dengan cool jazz-nya. Hingga permainan tak lazim yang kerap dibawakan Thelonious Monk.
Jazz terus berkembang hingga pada satu titik, David Ake (2003: 7), profesor musikology di Frost School of Music, mengatakan bahwa musik ini mengalami krisis identitas. Pasalnya, jazz sebagai genre musik yang besar telah mengilhami banyak sekali gaya permainan musik lainnya. Musik seperti gypsy, bossa nova, funk, groove, dan soul, lahir karena pengaruh jazz. Persoalannya dalam konser jazz kontemporer seringkali justru genre-genre baru ini yang dibawakan. Musik jazz tradisional seperti swing, hot jazz, big band, cool jazz, dan bebop tidak akan mampu menyedot animo para pendengar di era sekarang. Demi memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang, jazz seringkali dikombinasikan dengan genre lainnya seperti rock, R&B, punk, yang lazim disebut jazz fusion. Fenomena ini terjadi lantaran di Amerika Serikat, jazz mulai meredup sejak akhir 1950-an karena kemunculan genre-genre lainnya. Mau tidak mau jazz harus beradaptasi dan mengadopsi gaya permainan genre-genre tersebut.
Dari King Oliver hingga Era Kejayaan Jazz 1950-an
Kota pelabuhan New Orleans, Louisiana, dipercaya sebagai tempat lahirnya jazz. Kebudayaan dari berbagai belahan dunia bertemu di sini. Masyarakat kulit putih Eropa, orang-orang Afrika Barat, dan warga pribumi Amerika meleburkan diri membentuk kebudayaan lain yang disebut Creole. Dalam bidang musik, melting pot ini didominasi oleh orang-orang Afrika (Keepnews dan Grauer, 1955;3). Jazz diyakini terlahir dari gaya permainan musik tradisional Afrika yang dimainkan dengan alat-alat musik klasik Eropa.
Instrumen tiup seperti terompet, klarinet, trombon, dan tentunya piano, menjadi ciri khas permainaan jazz di masa-masa awal. Di tangan orang-orang New Orleans ini, alat musik yang sudah populer sebelumnya mampu menghasilkan nuansa baru di telinga pendengarnya. Jenis musik baru yang lahir dari permainan mereka adalah stomp, mars, boogie-woogie, dan terutama blues dan ragtime yang menjadi elemen dasar jazz. Ragtime memengaruhi irama jazz sedangkan blues mempengaruhi harmonisasinya.
Salah satu tokoh penting dalam beberapa jenis musik ini adalah pianis Jelly Roll Morton (Keepnews dan Grauer, 1955: 59). Ia menggabungkan semua aliran tersebut dan menciptakan jenis musik baru bernama jazz. Banyak kalangan musisi New Orleans yang terinspirasi darinya. Tidak terkecuali King Oliver. Jika sebelumnya musik ragtime milik Morton bersifat seperti orkestra dengan ketelitian dalam menulis komposisinya, King Oliver memelopori konsep permainan yang baru yang kental dengan spontanitas. Sehingga dalam memainkannya, para pemain wajib mempunyai kecepatan dan ketepatan. Kecepatan dan ketepatan dalam memilih nada yang ingin dimainkan ini menjadi teknik khusus dalam perkembangan jazz selanjutnya. Teknik ini disebut improvisasi.
Jazz kemudian sangat lekat dengan teknik improvisasi yaitu kemampuan dalam memberikan permainan yang baru saat itu juga. Di sisi lain, ada faktor eksternal yang   membuat teknik improvisasi sangat penting bagi musik jazz. Beberapa orang percaya bahwa teknik improvisasi secara tidak sengaja tercipta karena luapan perasaan para orang Afrika-Amerika di kala kesetaraan rasial hanya sebatas angan-angan. Dengan alat musik, mereka mencoba mengekspresikan perasaan senang, sedih, hingga kerasnya realitas kehidupan (Keepnews dan Grauer, 1955: 69). Berangkat dari latar belakang ini, improvisasi dalam jazz menjadi wahana baru bagi para musisi ini untuk mengekspresikan dirinya sesuai gayanya masing-masing.
Gagasan King Oliver ini diterima oleh masyarakat New Orleans di zamannya. Grup musiknya, King Oliverâs Creole Jazz Band, menjadi semakin populer. Sejak saat itu, jazz mulai dikenal sebagai repertoar khas orang Afrika-Amerika. Dengan beberapa band jazz lainnya, di awal abad ke-20 King melakukan tur ke kota-kota di Utara, seperti Chicago, New York, hingga California. Berkat tur ini, jazz tidak lagi dipandang sebagai musik eksklusif orang kulit hitam. Banyak kalangan musisi dari kulit putih menggabungkan diri dalam jazz. Kolaborasi ini semakin memperkaya variasi jazz kala itu. Perbedaan kultur antara musisi kulit putih dan kulit hitam mampu menciptakan gaya permainan yang baru, diantaranya adalah swing, cool jazz, big band, dan bebop.
Bebop menjadi saksi bahwa jazz tidak terlahir untuk cepat berpuas diri. Jazz membuka diri seluas-luasnya terhadap perkembangan dari unsur-unsur fundamentalnya. Bebop adalah transformasi jazz yang lebih cepat temponya dengan chord progression yang lebih kompleks dan tentunya menambah tantangan dalam berimprovisasi. Pada musik bebop, konsep improvisasi menjadi lebih kentalâbiasanya dikenal dengan solo. Berbeda dengan new orleans jazz dimana sepanjang lagu, setiap pemainnya bermain secara padu. Bebop memberikan sesi tersendiri bagi para pemain untuk mengeksplorasi kreativitasnya.
Nyatanya, bebop bukanlah satu-satunya gebrakan besar dalam jazz. Setiap generasi mempunyai porsinya sendiri untuk melakukan interpretasi terhadap musik jazz. Namun, keterbukaan jazz sedikit banyak membawa petaka bagi genre ini sendiri. Hingga pada satu titik, sukar membedakan manakah permainan yang dapat dibilang jazz atau pop atau rock. Kultur jazz yang semula sederhana kemudian dihadapkan dengan keruwetan teknik-teknik baru dalam musik modern. Jazz dipaksa berbaur dengan modernitas dari segi irama, sound effect, hingga permainan serba elektronik. Lalu sampai mana hal tersebut masih bisa disebut jazz?
Peralihan, Dikotomi, dan Masa Depan Jazz
Mendekati dekade 60-an, pasca kelahiran genre-genre musik baru seperti rock, RnB, dan kawan-kawannya, para penggemar musik jazz semakin menyusut. Aliran musik yang lebih muda ini menjadi alternatif di tengah kejenuhan masyarakat AS terhadap jazz. Dapat dibilang bahwa jazz telah mendominasi dunia musik di AS selama kurang lebih 50 tahun. Kini sudah saatnya bagi masyarakat AS untuk beranjak ke fase berikutnya. Jazz mulai ditinggalkan oleh kalangan muda.
Ironisnya, beberapa para pemusik jazz juga terbawa arus ini. Pemain jazz seharusnya tidak meninggalkan warisan emosional dan gaya bermain dari para pendahulu mereka. Beberapa musisi dan penikmat menganggap bahwa jazz akan selalu baru meskipun sebuah lagu dimainkan berulang kali, asal tidak meninggalkan prinsip utamanya. Sayangya, tidak semua musisi jazz mempunyai pola pikir ini. Beberapa musisi akhirnya nekat untuk memadukan jazz dengan melodi, harmoni, dan irama-irama musik lain yang lebih modern. Termasuk sang virtuoso Miles Davis.
Davis dikenal sebagai pemain terompet paling berpengaruh di samping Louis Armstrong dan Dizzy Gillespie. Dalam dua dekade perjalanan karirnya, ia sudah menghasilkan beberapa karya yang penting bagi eksistensi jazz di masanya. Sebut saja album âKind of Blueâ, âBirth of The Coolâ, dan beberapa lainnya (Bergerot and Merlin, 1991: 15). Selain itu, Davis juga memperkuat fondasi jazz modern dengan teknik improvisasi dan harmoni yang dikembangkannya melalui modal jazz. Bersama Thelonious Monk, ia juga memperkenalkan cool jazz, sebuah idiom jazz yang dapat diinterpretasikan sebagai sesuatu yang baru atau rileks. Namun Davis tidak pernah berpuas diri. Terlahir dari musik bebop, ia mengakhiri karirnya dengan permainan jazz serba elektronik.
Rekaman solo pertamanya ia lakukan di tahun 1947 ketika masih berusia 21 tahun, cukup muda untuk seorang  musisi jazz profesional (Williams, 1993: 199). Kendati demikian, ia tidak pernah mengapresiasi karyanya sendiri. Baginya, sebuah musik cukuplah dimainkan pada saat itu saja sesuai dengan masanya. Hal inilah yang menjadi alasan Davis beralih dari jazz klasik ke jazz kontemporer di akhir 1960-an. Davis memadukan jazz dengan rock, funk, bahkan terkesan eksperimental lewat album âBitches Brewâ dan âOn The Cornerâ. Peralihan ini membuat Davis dikenal sebagai ikon jazz yang kemudian menjadi idola musisi punk, hip-hop, dan rock.
Beruntungnya, hingga abad ke-21 ini masih terdapat musisi yang ingin menjaga kemurnian tradisi dalam bermain jazz. Kemunculan musisi jazz kontemporer tidak menyurutkan semangat mereka untuk mempertahankan jazz tradisional sebagai musik klasik khas Amerika. Ide yang mereka sepakati adalah jazz akan selalu baru ketika kita mengaransemen komposisi lama ketimbang berinovasi yang mencampuradukkannya dengan musik lain. Bagi mereka, sudah seharusnya musisi jazz tetap mempertahankan semua elemen-elemen dasar musik ini yaitu irama swing, teknik improvisasi, blue notes, hingga metode bermain call and response. Seandainya hanya satu elemen saja yang diambil lalu digabungkan dengan musik yang lain, tentunya jazz tidak lagi dominan.
Fenomena ini kemudian melahirkan dikotomi di AS dalam menginterpretasikan dan bermain musik jazz. Berkaca dari film âLa La Landâ (2016), kontradiksi yang terjadi antara Sebastian dan kawannya, Keith, merefleksikan realitas musik jazz yang terjadi di AS sekarang. Perdebatan mereka berasal dari perbedaan prinsip yang dianut keduanya. Ada musisi yang selalu berinovasi seperti Keith. Di lain pihak, ada musisi konservatif seperti Sebastian yang berjuang mati-matian agar jazz tetap murni dari pengaruh elektronik dan modernitas.
Di dunia nyata, orang yang paling tepat mewakili prinsip Sebastian adalah Wynton Marsalis, pemain terompet sekaligus direktur artistik sebuah organisasi orkestra dan sekolah musik Jazz at Lincoln Centerâs di New York. Keberadaan organisasi yang dipimpinnya ini menjadi bukti bahwa para musisi jazz konservatif tidak main-main dalam menghadapi krisis. Usahanya membawakan komposisi klasik dari Ellington, Armstrong, hingga Art Blakey dapat dibilang cukup berhasil. Ia membuktikan bahwa karya-karya jazz klasik masih menghibur di masa sekarang.
Di tengah perdebatan ini, selalu ada celah bagi kedua kubu untuk mengkritik lawan mereka masing-masing. Musisi konservatif, termasuk Marsalis, tentunya akan berkata bahwa permainan musisi liberal tak ayalnya musik rock. Jika mereka satu panggung, maka orang tidak akan tahu mana yang jazz. Sebaliknya, musisi liberal akan berkata bahwa musik jazz yang dimainkan kaum konservatif adalah musik era swing dan hal itu hanyalah sebagian dari jazz. Menurut kaum liberal, jazz harus terus berkembang. Bahkan memadukannya dengan konteks musik sekarang tidak berarti mengkhianati prinsip jazz, yaitu dinamis. Pada akhirnya, semua bergantung pada interpretasi masing-masing, selama seseorang dapat dengan nyaman mengekspresikan dirinya.
Penulis: Kenny Setya Abdiel
Editor: Bernard Evan Kanigara
Referensi:
Ake, David. Jazz Cultures. California: University of California Press. 2002,
Bergerot, Franck & Arnaud Merlin. The Story of Jazz: Bop and Beyond. Pennsylvania: Harry N. Abrams. 1993,
Chazelle, Damien. La La Land. California: Summit Entertainment. 2016,
Johnston, Geoff. Does it Swing?An Introduction to Swing Jazz for Young People part 1. Youtube. 6 Desember 2014. https://www.youtube.com/watch?v=URcxM7s6zNE [diakses 5 Oktober 2018],
Keepnews, Orrin & Bill Grauer Jr.. A Pictorial History of Jazz. Michigan: Crown Publishers. 1966,
Polyphonic. Kind of Blue: How Miles Davis Changed Jazz. Youtube. 19 April 2018. https://www.youtube.com/watch?v=nfroW6KaXXc [diakses 2 Oktober 2018],
Tingen, Paul. The Most Hated Album in Jazz. The Guardian. 26 Oktober 2007. https://www.youtube.com/watch?v=nfroW6KaXXc [diakses 2 Oktober 2018],
Williams, Martins. The Jazz Tradition. New York: Oxford University Press. 1993,
About. Jazz.org. https://www.jazz.org/about/ [diakses 5 Oktober 2018],
Wynton Marsalis: Miles Davis? He was a rock star. Independet.co.uk. 12 Januari 2003. https://www.independent.co.uk/arts-entertainment/music/features/wynton-marsalis-miles-davis-he-was-a-rock-star-123907.html [diakses 2 Oktober 2018]
1 komentar
Terimakasih Sangat Bermanfaat