“Ilmuwan pejuang, pejuang ilmuwan,” kalimat tersebut mengakhiri film berjudul “Risalah Sardjito” (2017) yang ditayangkan sebagai film pembuka pada Rabu (18-07). Film tersebut diputar di Balai Senat UGM dalam acara peluncuran film “Sardjito dalam Lukisan Revolusi”. Kedua film tersebut mengisahkan perjuangan dan peran serta Prof. Dr. Sardjito pada masa revolusi setelah kemerdekaan. Bedanya, film “Sardjito dalam Lukisan Revolusi” (2018) berdurasi lebih panjang dengan riset mendalam dibanding “Risalah Sardjito” yang hanya berdurasi lima menit.
Sebelumnya, film ini telah diputar di sembilan belas titik di sembilan daerah, yaitu Bogor, Lampung, Tarakan, Kupang, Purwokerto, Sleman, Yogyakarta, Bantul, dan Klaten. Acara ini juga dibuka dengan pembacaan puisi dari Komunitas Jaring Budaya. Selain peluncuran film, ada juga penampilan melukis langsung dengan judul Risalah Sardjito oleh dua orang seniman lukis dari Komunitas Nujes Tujes. Acara ini dihadiri pula oleh perwakilan PMI daerah, kelompok-kelompok seni, warga Terban dan perwakilan guru-guru sekolah.
Film “Sardjito dalam Lukisan Revolusi” dibuat oleh tim Arsip UGM pada tahun 2018. Ika Musliichah, sebagai salah satu tim riset mengatakan film ini dibuat untuk memberikan wacana baru tentang sejarah perjuangan. “Selain mengenalkan tokoh Sardjito kita juga ingin memberikan perspektif baru dalam sejarah perjuangan revolusi fisik (1945—1949),” tutur Ika. Untuk mencapai hal itu, film ini menghadirkan penuturan pelaku sejarah, saksi sejarah, bukti dokumen dan situs yang menjadi saksi perjuangan Sardjito. Menurut Ika, film ini nantinya akan diunggah dan dapat ditonton melalui Youtube.
Film ini menceritakan keterlibatan Sardjito sebagai masyarakat sipil yang membantu perjuangan pada masa revolusi fisik. Perjuangan itu dimulai dari Bandung Lautan Api, Agresi Militer Belanda I, Agresi Militer Belanda II, hingga Serangan Umum Satu Maret. Dimulai dari perjuangan di Bandung, Sardjito terlibat dalam perebutan Institut Pasteur dan mendirikan PMI pertama di Bandung. Dari sana Sardjito membuat vaksin untuk menanggulangi penyakit cacar yang tengah menjadi permasalahan kesehatan bagi rakyat dan para pejuang Indonesia. Selain vaksin, ia juga membuat tablet biskuit sebagai ransum untuk para pejuang yang dikenal dengan Biskuit Sardjito. Pada saat ibukota dipindah ke Yogyakarta, Sardjito pun terlibat dalam pemindahan Institut Pasteur ke Klaten untuk menghindari tekanan dari sekutu di Bandung. Sesampainya di Klaten, ia juga mendirikan PMI Klaten.
Selain sebagai seorang dokter, Sardjito juga dikenal sebagai pendidik. Ia terlibat dalam pendirian beberapa universitas di Indonesia, salah satunya adalah UGM. Namun, meski sempat menyinggung hal itu, film ini lebih berfokus pada kisah Sardjito selama revolusi fisik. Ketika ditanya tentang kelanjutan filmnya, Ika berharap akan ada seri-seri selanjutnya tentang Sardjito. “Ini kan baru yang perjuangan revolusi fisik, mungkin masih ada seri tentang pendidikan, atau tentang biografinya,” ucap Ika.
Susilo Nugroho dari Kethoprak Conthong mengatakan bahwa meskipun Kethoprak Conthong bukan bagian dari UGM, tapi mereka kagum dan meneladani Sardjito. Hal itu ia sampaikan saat menceritakan pengalamannya mengenal Sardjito sewaktu mencari referensi untuk pementasan Sang Presidhen pada pertengahan juni lalu. Ia juga mengomentari film dokumenter tersebut.
Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng selaku Rektor UGM dalam sambutannya berharap keteladanan, perjuangan, dan kreativitas Sardjito bisa diketahui dan diteladani bersama dengan adanya film ini. Pasalnya, Sardjito sebagai seorang pejuang memang jarang diketahui publik. Seperti yang dialami salah seorang pelukis dari Nujes Tujes. “Saat mendengar Sardjito, awalnya saya pikir yang dimaksud rumah sakit,” terangnya. Namun, setelah ia mengetahui sosok Sardjito, ia mengatakan sudah sepantasnya Sardjito diangkat menjadi pahlawan.
Penulis: Rizal Zulfiqri
Penyunting: Cintya Faliana