“Klik, Klik, Klik!” Suara kamera menangkap gambar di sekeliling gereja. Pembuat suara itu adalah para wartawan kampus yang sedang melakukan kunjungan. Mereka berdiri, membungkuk, dan jongkok demi mendapat jepretan yang baik dari berbagai sudut. Tepat pada pagi (25-02) itu, mereka tengah mengikuti ibadah hari Minggu di Gereja Kristen Pasundan (GKP), Bandung.
Kunjungan ke GKP tersebut merupakan salah satu rangkaian penataran bertema “Jurnalisme Melawan Hoax SARA di Tahun-Tahun Politik”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) dan bekerja sama dengan Friederich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF). Selain FNF, Sejuk juga menggandeng Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka UIN Sunan Gunung Djati, dan Unit Pers Mahasiswa Isolapos Universitas Pendidikan Indonesia.
Tantowi Anwari, koordinator panitia penataran, mengatakan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan sensitivitas pers mahasiswa khususnya dalam isu keberagaman. Ia menambahkan, jurnalis kampus perlu peka terhadap masyarakat yang rentan mendapat berita bohong berbau SARA terutama pada masa Pilkada. “Nasib demokrasi dan kebebasan setiap warga menjadi tanggung jawab bersama, tidak terkecuali kalangan pers mahasiswa,” jelasnya.
Acara ini berlangsung pada 24—27 Februari 2018 dan diikuti oleh 27 peserta yang berasal dari berbagai lembaga pers kampus. Tidak hanya berkunjung ke GKP, peserta juga datang ke Masjid An-Nashir, salah satu tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah di Bandung. Dalam kunjungan ini, mereka berdialog secara langsung dengan para Ahmadi, sebutan untuk Jemaat Ahmadiyah.
Maulana Lutfi Julian Putra, seorang mubalig dari Bandung Kulon, menceritakan salah satu bentuk diskriminasi dan kriminalisasi yang pernah dialami oleh Ahmadi. Lutfi, panggilan akrab lelaki ini, mengatakan bahwa Masjid An-Nashir pernah diserang oleh kelompok lain pada tahun 2012. Penyerangan tersebut dilakukan bertepatan pada saat Idul Adha. Lutfi mengatakan bahwa sekitar 40-50 orang mendatangi masjid secara bergerombol sambil membawa kayu dan batu.
Menurut pemaparan Lutfi, penyerangan tersebut dilakukan lantaran ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang dari Islam. Ketika dibawa ke Polsek oleh kelompok penyerang, ia dan beberapa temannya dipaksa menandatangani surat supaya berhenti melakukan kegiatan Idul Adha. “Namun karena bukan kewenangan saya untuk tanda tangan, akhirnya kaca masjid dipecah, pintu dan pagar juga dirusak,” katanya.
Selain itu, umat Kristiani juga mengaku resah dengan penjagaan yang kerap dilakukan oleh aparat ketika hari raya di gereja-gereja. Menurut salah satu Jemaat GKP yang tidak mau disebutkan namanya, ia merasa tidak nyaman dengan beberapa penjagaan yang dilakukan oleh polisi ketika hari raya keagamaan. Dalam pandangannya, penjagaan tersebut menandakan bahwa kegiatan ibadah itu perlu dijaga dan diamankan. “Itu artinya kita sudah tidak aman, memangnya apa yang akan terjadi? Bukankah kami cuma beribadah?” ujarnya sambil menatap gerbang gereja.
Menanggapi tindakan diskriminatif semacam itu, Saidiman Ahmad, salah satu pemateri dalam penataran, berpendapat soal tugas negara. Menurutnya, negara seharusnya tidak melarang eksistensi kelompok atau ideologi tertentu. Sebaliknya, Saidiman memandang bahwa negara justru harus membebaskan mereka yang selama ini dipersekusi dan didiskriminasi. “Bila ada pelanggaran terhadap kebebasan beragama, maka tugas negara bukanlah menguranginya melainkan menambah kebebasan itu,” tegasnya.
Ikut merespons pelanggaran kebebasan beragama tersebut, Anisa Dewi Anggriaeni, salah satu peserta penataran, mengungkapkan kekecewaannya. Ia menyayangkan perbuatan-perbuatan yang justru menggunakan dalih agama untuk menyerang orang lain. Nisa, begitu panggilannya, berpendapat bahwa tidak ada agama yang mengajarkan diskriminasi, sebab semua ajaran bermuara pada perdamaian. “Apa susahnya menghargai sesama, setidaknya kita bisa lakukan itu atas nama kemanusiaan,” ucap wartawan LPM Suaka, UIN Sunan Gunung Djati ini.
Penulis: Citra Maudy
Editor: Muhammad Respati