Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo menandatangani dan mengeluarkan Surat Presiden yang mengawali pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pembahasan tersebut sebenarnya telah selesai pada 26 Januari 2017. Namun, banyak reaksi penolakan yang muncul dari masyarakat sejak RKUHP memasuki fase telaah ulang (proofreading) pada Oktober 2017. Penolakan terjadi karena beberapa pasal di dalamnya dianggap rentan akan kriminalisasi warga negara. Contohnya adalah pasal terkait penghinaan kepala negara, ajaranĀ Komunisme/Marxisme-Leninisme, pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan, pencabulan dan hubungan sesama jenis, serta zina. Oleh karena itu, pembahasan RKUHP oleh Panitia Kerja RKUHP masih akan berlangsung hingga April mendatang.
Proses perumusan RKUHP melibatkan jajaran eksekutif dan legislatif pemerintah, serta para ahli hukum pidana. Salah satu ahli yang turut merumuskan RKUHP adalah Prof. Edward Omar Sharif Hiariej. Ia merupakan Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UGM yang dikukuhkan pada usia 37 tahun. Pada Senin (26-02), bertempat di Ruang Guru Besar FH UGM, BALAIRUNG berkesempatan untuk berbincang dengannya. Eddy, begitu ia akrab disapa, memberikan penjelasan mengenai letak keadilan RKUHP dan kesesuaiannya dalam masyarakat. Selain itu, ia juga memberikan pandangannya terhadap Pasal Penghinaan Presiden yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006, tetapi kini sedang berusaha dimasukkan kembali dalam RKUHP.
Apakah itu KUHP dan bagaimana sejarahnya?
KUHP Indonesia adalah kodifikasi hukum pidana warisan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI) yang dibuat pada tahun 1800. WvSNI sendiri adalah kitab hukum pidana yang diterapkan di daerah jajahan Belanda dan merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS), kitab hukum pidana Belanda. WvS diberlakukan di Belanda pada tahun 1870 dan kemudian diadaptasi di Indonesia dengan nama KUHP pada tahun 1915. Tentunya, KUHP warisan pemerintahan Hindia Belanda itu tidak mengikuti perkembangan zaman dikarenakan kekentalan pengaruh kolonialnya. Oleh karena itu, penyusunan ulang KUHP diperlukan untuk menyesuaikannya dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sudah merdeka seratus persen.
Penyusunan KUHP Indonesia pertama kali dimulai pada tahun 1963. Proses penyusunan tersebut terus berlangsung sampai sekarang. Akan tetapi, jangan langsung berburuk sangka dengan lamanya waktu perumusan KUHP. Tidak ada negara di dunia ini yang membuat KUHP dalam waktu singkat. Negara kecil seperti Belanda pun membutuhkan waktu tujuh puluh tahun untuk mengubah KUHP-nya dari Code Penal (KUHP Prancis) ke WvS.
Mengapa lebih sulit merumuskan KUHP daripada undang-undang (UU) lainnya? Hal itu terjadi karena perumusan KUHP tidak hanya mempertimbangkan aspek filosofis dan aspek sosiologis. Perumusan KUHP juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Substansi yang diatur di dalamnya juga beraneka ragam. Ada dua ratus UU yang disebut dengan UU sektoral dan isinya memuat sanksi pidana. Semua pertimbangan itu harus sinkron dan terintegrasi ke dalam KUHP. Di sisi lain, perumusan ketentuan pidana dalam UU sektoral selama ini berlangsung buruk. Hal itu yang membuat pembahasannya membutuhkan waktu lama. Terlebih, KUHP terdiri dari 780-an pasal.
Apa saja isi dari KUHP?
KUHP terdiri dari dua buku. Buku kesatu berisikan asas-asas. Tidak terjadi banyak perubahan dalam buku ini karena didasarkan pada doktrin dan perkembangan teori hukum. Selain itu, asas-asas yang ada di dalamnya digunakan sama di seluruh negara di dunia. Nah, biasanya kesulitan terjadi saat membahas buku kedua mengenai tindak pidana. Hal itu terjadi karena tim harus mengintegrasikan 200 UU sektoral ke dalam KUHP. UU sektoral itu contohnya seperti UU Narkotika, UU Terorisme, UU Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Perdagangan Manusia, dan semacamnya. Pengintegrasian tersebut tidaklah mudah karena beberapa UU saling tumpang tindih. Perihal kedudukannya dalam hukum Indonesia, KUHP termasuk dalam UU dan sejajar dengan peraturan lain, seperti peraturan presiden dan peraturan daerah.
Lantas, sejauh manakah konstitusi pada masa kolonial Belanda mempengaruhi KUHP Indonesia saat ini?
Kitab hukum pidana Indonesia diambil mentah-mentah dari WvSNI yang disahkan lewat Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal tersebut berisi pengesahan KUHP Hindia Belanda menjadi KUHP Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.Ā Meskipun demikian, ada beberapa pasal terkait kerajaan Belanda yang tidak lagi digunakan karena Indonesia sudah merdeka dan berbentuk negara republik.
Apakah itu berarti pengaruh warisan kolonial terhadap KUHP adalah seratus persen?
Iya, seratus persen. Namun, satu hal yang harus diketahui adalah KUHP di seluruh dunia berlaku universal. Maksudnya, pasal-pasal yang diatur dalam KUHP pada dasarnya memiliki kesamaan di semua negara. Misalnya pencurian, pembunuhan, penganiayaan, penipuan, dan penggelapan uang, semua negara termasuk Indonesia melarang hal yang sama.
Akan tetapi, biasanya ada tiga isu yang dibahas secara berbeda antara satu negara dengan negara lain. Pertama, isu mengenai delik politik. KUHP Indonesia tidak memiliki delik politik, tapi ada pasal mengenai kejahatan terhadap keamanan negara seperti makar. Sedangkan KUHP Prancis memiliki pasal khusus yang berbicara mengenai kejahatan politik. Kedua, isu mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. Pasal kejahatan terhadap kesusilaan tidak dikenal di Tiongkok. Maka dari itu, pemerkosaan di Tiongkok masuk ke dalam kejahatan terhadap tubuh, bukan terhadap kesusilaan. Ketiga, isu mengenai penghinaan.
Jadi mengapa persoalan LGBT, misalnya, menjadi perdebatan di berbagai negara? Sebab isu tersebut dibahas secara berbeda di tiap-tiap negara, begitupun pasal mengenai penghinaan terhadap presiden. Jadi, meskipun saya mengatakan KUHP adalah warisan pemerintah kolonial Belanda, dasar pengaturan larangan-larangannya universal. Oleh karena itu, KUHP dapat dikatakan relevan karena substansi dasar yang diatur itu sama di semua negara, kecuali pada tiga isu yang saya sebutkan sebelumnya.
Lalu mengapa pembahasan mengenai revisi KUHP baru serius diadakan saat ini? Apakah ini merupakan hal yang mendesak?
Saya harus mengakui bahwa baru pada pemerintahan Presiden Joko Widodo hal ini dibahas secara serius. Sebenarnya hal ini sudah mendesak sejak dahulu tetapi belum mendapat perhatian dari pemerintah. Saya tidak tahu mengapa tidak dibahas di pemerintahan sebelumnya, tetapi yang jelas sekarang revisi KUHP sudah menjadi kebutuhan.
Bagaimana alur perancangan KUHP?
Rancangan KUHP berawal dari pemerintah (eksekutif) lalu dibahas bersama tim internal pemerintah. Kemudian rancangan tersebut dibahas bersama DPR khususnya Komisi III. Tim internal pemerintah terdiri dari tim perumus dan tim sinkronisasi yang beranggotakan jajaran eksekutif pemerintah, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), serta para ahli yang ditunjuk. Tim perumus biasanya menemukan kendala berarti saat proses integrasi dan saat pembahasan isu-isu krusial.
Apa saja sumber hukum yang menjadi dasar perumusan KUHP?
Kalau merujuk pada asas legalitas, sumber yang dirujuk tidak hanya hukum tertulis melainkan hukum yang hidup dalam masyarakat seperti pranata hukum adat. Namun, hukum yang hidup dalam masyarakat penggunaannya relatif terbatas dan lingkupnya lebih kecil.
Kemudian, saat ini publik dihadapkan dengan wacana pengesahan RKUHP yang berpotensi pada kriminalisasi warga negara. Bagaimana Anda menyikapi permasalahan ini?
Itu merupakan pandangan masyarakat yang tidak mengerti hukum pidana, sehingga bicaranya waton, ngasal saja. Anggapan seperti itu muncul karena masyarakat tidak memahami hukum. Perdebatan dalam setiap pasal tidak berlangsung selama satu atau dua hari, bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Maka dari itu, jika RKUHP sudah disahkan, sosialisasi kepada aparat penegak hukum akan segera dilakukan. Sosialisasi penting untuk dilakukan karena para penegak hukumlah yang akan mengimplementasikan KUHP tersebut, khususnya polisi dan jaksa. Hal tersebut harus dijelaskan sebenar-benarnya agar tidak terjadi kriminalisasi.
Salah satu pasal yang dianggap berpotensi mengkriminalisasi warga negara adalah Pasal 239 terkait penghinaan terhadap presiden. Pasal tersebut memberi kesan bahwa pemimpin negara anti terhadap kritik. Benarkah demikian?
Tidak juga. Terdapat perbedaan antara kritik dan mencaci maki. Hal yang dilarang dalam Pasal 239 itu adalah mencaci maki. Andai kata presiden salah dalam menentukan kebijakan, tentunya masyarakat boleh melancarkan kritik. Tetapi apabila sampai mengatakan bahwa presiden itu bajingan seperti yang dilakukan Ahmad Dhani, apakah itu bisa diterima?
Lantas, menurut Anda, dimana letak perbedaan antara mencaci-maki dan mengkritik? Adakah kategorisasi untuk membedakan keduanya, sebab hal itu tidak tertulis secara eksplisit dalam pasal tersebut.
Kalau kata cacian itu jelas merupakan kata-kata yang merendahkan seperti goblok, asu, bajingan, sedangkan mengkritik itu berbeda. Jika contohnya āPresiden keliru dalam menerapkan kebijakannya. Harusnya begini-begitu,ā itu bukan masalah.
Jika begitu, apakah tim perancang sudah membuat kategorisasi mengenai kritik dan cacian untuk pasal tersebut?
Dalam kalimat tersebut jelas yang dilarang adalah cacian dan makian, bukan kritik. Kami memanggil ahli bahasa untuk menilai konteks kalimat tersebut, mana yang termasuk penghinaan dan mana yang tidak.
Pasal 239 Ayat (2) menyebutkan bahwa tidak merupakan penghinaan jika ājelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diriā. Apa yang dimaksud dengan frasa tersebut?
Itu adalah alasan penghapusan tuntutan pidana, silahkan cek KUHP yang lama. Jadi jika kritik dilakukan dengan alasan untuk kepentingan umum, membela diri, dan sebagainya maka tidak dianggap sebagai penghinaan. Kritik dapat dimasukkan ke dalam pendapat yang menyangkut kepentingan umum.
Denny Indrayana dalam opininya di Harian Kompas (20-02) membedakan penghinaan presiden sebagai individu dan penghinaan presiden sebagai institusi. Menurutnya, penghinaan presiden cukup diatur dalam pasal penghinaan individu, bukan sebagai institusi seperti yang dicantumkan di RKUHP. Bagaimana Anda menyikapi pernyataan tersebut?
Penghinaan presiden secara pribadi seharusnya tidak perlu lagi dibicarakan. Hal itu sudah diatur dalam pasal-pasal yang menyangkut defamation (penghinaan). Harus dilihat bahwa KUHP lama dan baru itu berbeda. Dalam KUHP lama, aturan mengenai penghinaan tertera dari Pasal 134ā137, sedangkan pada rancangan KUHP baru terdapat pada Pasal 154ā157. Jadi terlihat seakan-akan semua itu adalah ujaran kebencian, padahal bukan. Ujaran kebencian itu sebenarnya masuk ke dalam pasal 154ā157 karena termasuk kejahatan terhadap ketertiban umum.
Sementara itu, penghinaan yang menyangkut presiden dan wakilnya tidak termasuk ujaran kebencian, melainkan penghinaan kewibawaan presiden sebagai institusi. Jadi, antara mengkritisi dan menghina adalah dua hal yang berbeda. KUHP di negara manapun selalu memiliki pasal-pasal yang mengatur mengenai penghinaan kepada kepala negara asing. Maka pertanyaan mendasarnya adalah, jika kepala negara asing saja dilindungi kehormatannya, mengapa kepala negara sendiri tidak diperlakukan demikian?
Lantas, menurut Anda, apakah RKUHP sudah kontekstual dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini?
Iya, RKUHP sangat kita sesuaikan dengan kondisi masyarakat sehingga memakan waktu yang lama. Misalnya, kita kembali mengakui pranata hukum adat karena masih ada daerah-daerah yang mempertahankan hukum adat seperti Bali dan Papua.
Apakah memungkinkan ada sebuah hukum yang tidak sesuai dengan tradisi dan konteks masyarakat tempat ia diberlakukan?
Jika kita bicara mengenai mazhab historis, itu tidak diperbolehkan. Namun menurut mazhab positivisme, sesuatu yang telah dinyatakan sebagai hukum, itulah yang seharusnya berlaku pada masyarakat. KUHP mengakomodasi dua mazhab itu karena isinya tidak hanya alasan untuk menghukum saja, tapi juga alasan untuk melepaskan diri dari hukuman. Contohnya apabila ada tradisi di suatu masyarakat yang melanggar KUHP, maka hukum adat dapat digunakan oleh masyarakat tersebut untuk melepaskan diri dari hukuman yang diatur KUHP. Inilah salah satu bentuk pluralisme hukum di Indonesia.
Kemudian, apabila RKUHP ini telah disahkan dan misalkan pada praktiknya tidak sesuai dengan ekspektasi pemerintah dan masyarakat, apakah dapat dilakukan perubahan?
UU bukanlah kitab suci. Penambahan dan pengurangan pasal senantiasa bisa terjadi. Akan tetapi, hal tersebut harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Apabila ada penambahan dan pengurangan, pembahasan dapat diawali dengan usulan pemerintah pusat maupun usulan DPR kemudian dirumuskan kembali dalam tatanan legislatif.
Pertanyaan terakhir, apa definisi hukum yang ideal bagi Anda? Bagaimana hukum tersebut seharusnya berlaku di masyarakat?
Hukum yang ideal tidak hanya menjamin kepastian tetapi juga keadilan. Menggabungkan keadilan dan kepastian hukum tidaklah mudah. Hukum yang ideal itu tidak hanya tertulis dan normatif, melainkan harus memperhatikan penegakannya. Hukum yang sudah baik bisa saja ditegakkan dengan buruk. Atau, bisa jadi hukum tersebut yang buruk sejak awal sehingga penegakannya ikut buruk. Dalam masyarakat, hukum adalah sebuah bentuk kesepakatan. Apa yang sudah disepakati haruslah ditaati dan sudah tentu hukum tersebut harus merespons apa yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga ketika hukum tersebut diberlakukan, mau tidak mau dan suka tidak suka, masyarakat harus menaatinya.
Penulis: Harits Naufal Arrazie dan Hanif Janitra Satriawan
Editor: Oktaria Asmarani