Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Pos Teratas
Susah Berserikat, Perjanjian Kerja Bersama Jadi Opsi bagi...
Bahaya Kapitalisme sebagai Dalang Krisis Iklim
Katrin Bandel: Wacana Gender Harus Keluar dari Kacamata...
“Gerakan Rakyat untuk Kemerdekaan Palestina” Tuntut Israel Hentikan...
Hadapi Berbagai Masalah, Dosen dan Tendik UGM Berkeluh-kesah
PKL Malioboro Keberatan atas Validasi Data yang Serampangan
Buntut Kriminalisasi Fatia-Haris, Massa Aksi Suarakan Penolakan
Sepah Pemerintah Ditadah Bank Sampah
Mereka yang Redup oleh PLTU
Rembang Bersuara, Kondisi Politik Indonesia Semakin Memprihatinkan

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
ALMAMATER

Melawan Lupa Diskriminasi Mahasiswa Papua

Juli 17, 2017

©Igor/BAL

“Diskriminasi? Hilangkan! Papua? Yes!” Sejak pukul enam sore pada Sabtu (15-07), sorak sorai tersebut terdengar bersahut-sahutan dari suatu perhelatan di halaman Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I. Perhelatan tersebut bertajuk “Peringatan 15 Juli 2016: Satu Tahun Diskriminasi Mahasiswa Papua dalam Keistimewaan Yogyakarta” yang digagas oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA). Acara tersebut digelar untuk memperingati peristiwa pengepungan Asrama Kamasan I tahun lalu. Peristiwa tersebut juga membuat Obby Kogoya, salah seorang mahasiswa Papua yang berkuliah di Yogyakarta dikriminalisasi oleh aparat negara.

Tak hanya diikuti oleh para mahasiswa Papua, acara tersebut juga diramaikan oleh anggota Front Rakyat Indonesia untuk West Papua. Selain itu, beberapa organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Komite Penyelamat Organisasi-Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), dan Serikat Pembebasan Perempuan (Siempre) juga turut berpartisipasi.

Perhelatan tersebut diisi dengan berbagai bentuk kesenian. Beberapa di antaranya adalah pementasan teater, pembacaan puisi, stand-up comedy, tari tradisional, paduan suara dan band, serta pemutaran film. Semua penampilan tersebut menggambarkan keresahan yang dirasakan oleh mahasiswa Papua di daerah asalnya dan saat mengenyam pendidikan di Yogyakarta. Paulus Samon selaku Ketua Pelaksana acara tersebut mengatakan medium seni digunakan dalam acara ini agar para mahasiswa dapat menyampaikan keresahannya dengan lebih leluasa. “Di luar asrama, upaya kami untuk berekspresi sudah sangat dipersulit, maka kami buat seperti ini,” ujarnya.

Bagi Paulus, perasaan tak aman yang dirasakan mahasiswa Papua di Yogyakarta disebabkan oleh stigma pemabuk dan perusuh yang telah dilekatkan pada mereka. Stigma tersebut membuat mereka terdiskriminasi, misalnya sulit mendapatkan tempat tinggal. Walaupun begitu, ia menegaskan bahwa tidak semua mahasiswa Papua adalah pemabuk dan perusuh. Sepakat dengan Paulus, Abbi Douw, anggota AMP, juga mengimbau para hadirin untuk mengingat tanggal 15 Juli sebagai momentum untuk melawan lupa terhadap diskriminasi yang dirasakan oleh mahasiswa Papua.

Ignatius Mahendra Kusumawardhana dari KPO-PRP menjelaskan bahwa diskriminasi dan rasisme akan tetap ada ketika masih ada sistem yang mengeksploitasi. Eksploitasi tersebut dilakukan oleh kaum borjuasi nasional Indonesia yang bekerja sama dengan kaum borjuasi internasional dengan cara mengeruk sumber daya alam Papua. Ia juga mengatakan bahwa rasisme dikembangkan oleh kapitalisme untuk membenarkan kekerasan fisik. Hal itulah yang dilakukan oleh polisi dan kelompok-kelompok reaksioner tahun lalu kepada mahasiswa Papua. “Mereka membenarkan bahwa kawan Papua boleh dianiaya, dipukuli, diinjak-injak karena kulitnya hitam, dan tidak seperti orang Indonesia pada umumnya. Itulah fungsi rasisme,” tuturnya.

Sependapat dengan Mahendra, Fitri Lestari sebagai anggota Siempre mengatakan bahwa narasi rasialisme didengungkan untuk melancarkan dan mempermulus imperialisme. Itulah sebabnya pembungkaman ruang demokrasi bagi masyarakat dan mahasiswa Papua di Yogyakarta terus dilakukan oleh penguasa melalui aparat negara. Melihat hal tersebut, Fitri menyarankan untuk mempererat solidaritas antara kaum pro demokrasi, kaum yang tertindas, dan juga masyarakat Papua. “Teruslah melawan untuk mempertahankan martabat dan harga diri dengan cara aksi massa dan solidaritas penuh,” pungkasnya.

Selain itu, Aris Yeimo selaku Ketua IPMAPA berharap agar kawan-kawan sesama mahasiswa Papua juga mempertahankan dan memperkuat solidaritas internal. Ia mengingatkan untuk membuang jauh-jauh isu yang bermaksud memecah belah mahasiswa Papua. Menurutnya, bila hal tersebut dapat dilakukan, mereka bisa lebih kuat melawan diskriminasi. “Di sini dan di manapun, kitong ini satu, Papua,” tegasnya.

Penulis: Oktaria Asmarani

Editor: Luthfian Haekal

diskriminasikeistimewaanmahasiswaPapuarasismeyogyakarta
5
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

SSPU Tetap Jalan, Aksi Tolak Uang Pangkal Hasilkan...

Habis SSPI, Terbitlah SSPU dalam Dialog Panas Mahasiswa...

Bebani Mahasiswa dengan Biaya Mahal, UGM Bersembunyi di...

Penerapan Uang Pangkal, Neoliberalisasi Berkedok Solusi

Pedagang Kaki Lima Stasiun Wates Digusur Tanpa Dasar...

Aliansi Solidaritas untuk Wadas Kecam Represifitas Aparat dan...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Susah Berserikat, Perjanjian Kerja Bersama Jadi Opsi bagi Pekerja Lepas

    November 28, 2023
  • Bahaya Kapitalisme sebagai Dalang Krisis Iklim

    November 27, 2023
  • Katrin Bandel: Wacana Gender Harus Keluar dari Kacamata Baratsentris

    November 27, 2023
  • “Gerakan Rakyat untuk Kemerdekaan Palestina” Tuntut Israel Hentikan Penjajahan

    November 22, 2023
  • Hadapi Berbagai Masalah, Dosen dan Tendik UGM Berkeluh-kesah

    November 21, 2023

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Spesies Invasif

Polisi Virtual

Fasilitas Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UGM Belum Maksimal

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM