Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM melalui Forum Diskusi Umar Kayam Nasional mulai tahun 2017 menyajikan payung tema diskusi seputar cyber culture. Hal ini diwujudkan dengan menyelenggarakan diskusi bertajuk “Meme dan Persebarannya: Diskusi Kritis Mengenai Fenomena Dunia Maya” di aula PKKH UGM, Kamis (27-04) pagi. Acara ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Agan Harahap selaku seniman, Budi Irawanto, dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, dan Seno Gumira Ajidarma, rektor Institut Kesenian Jakarta.
Diskusi dibuka dengan pemaparan dari Agan yang mengatakan bahwa meme merupakan kritik atas kejenuhan masyarakat terhadap permasalahan sosial dan politik di Indonesia. Ia memandang persoalan tersebut menimbulkan fenomena baru, yakni masyarakat cenderung bersikap sok tahu. Kemarahan dan pertengkaran pun marak terjadi di media sosial. “Banyak masyarakat yang tiba-tiba menjadi ahli agama dan ahli politik. Akibatnya, permasalahan justru semakin ruwet,” ujar Agan.
Sejalan dengan Agan, Budi memaparkan bahwa meme dapat digunakan sebagai sarana menyampaikan kritik, merepresentasikan beragam perspektif, dan memberi wacana tentang identitas suatu kalangan. Contohnya meme Tan Malaka yang berbunyi, “Anak muda, bacalah sejarah bangsa ini dengan baik. Jangan terlalu terpesona dengan novel galau ala Tere Liye, seolah itu keren sekali; sementara mahakarya saya, Madilove (Materialisme, Dialektika, Love) terlupakan.” Ia menjelaskan bahwa meme itu merupakan sindiran terhadap pemuda yang lebih suka membaca novel galau daripada membaca buku sejarah bangsanya. Alhasil, saat ini banyak kaum muda Indonesia yang buta sejarah. Selain itu, meme tersebut membentuk wacana identitas anak muda yang identik dengan sifat galau, terlebih lagi galau dalam urusan asmara.
Tidak hanya itu, Seno mengatakan bahwa meme dapat dilihat secara politis sebagai upaya perlawanan. Ada sebuah adagium, bila suatu masyarakat mengalami tekanan dan tak mampu melawan, maka salah satu perlawanan muncul dalam bentuk humor. “Di Indonesia, kediktatoran rezim Orde Baru telah melahirkan banyak meme,” sebut penulis sekaligus jurnalis ini.
Di sisi lain, konten meme menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Mereka menjadi sulit mencari apa yang bisa disebut autentik pada meme. Batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. “Konteks meme di Indonesia saat ini kemudian memunculkan post truth,” tutur Budi.
Hal ini dapat dilihat dari salah satu meme buatan Agan yang menggambarkan Basuki Tjahaja Purnama sedang bersama Miley Cyrus dan Megan Fox. Salah satu pengguna facebook membagikan meme tersebut dilengkapi uraian, “Ini alasannya kenapa Alexis dipertahankan. Kalau foto ini editan potong telinga saya!” Dari sini, Agan menyimpulkan bahwa pengguna facebook tersebut tidak mengetahui dan tidak mencari tahu siapa dua orang wanita yang berada dalam meme. Tentu hal yang mustahil bahwa Miley dan Megan terlibat dalam prostitusi di Alexis serta bisa foto bersama gubernur DKI Jakarta tersebut.
Menanggapi diskusi ini, salah seorang peserta, Nur Amala Syah Putri, mengatakan bahwa meme merupakan bentuk ekspresi dan komunikasi yang sedang ramai dibahas di internet dan media sosial. Meme menjadi begitu populer karena ia memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan bentuk komunikasi yang lain. “Gambar menjadi kekuatan dalam meme yang membuatnya bisa masuk ke segala usia dan golongan,” tutur Nur. [Nizmi Nasution]