Wacana feminisme telah diperbincangkan oleh kaum perempuan Indonesia bahkan sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Ini dibuktikan dengan adanya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali dilaksanakan pada 1928 dengan bahasan tentang kedudukan perempuan dalam perkawinan. Hampir sembilan puluh tahun setelahnya, isu terkait perempuan tetap diperbincangkan di Indonesia. Topiknya pun semakin meluas, salah satunya berkaitan dengan lingkungan. Salah seorang yang intens dalam mengawal topik ini adalah Dewi Candraningrum. Ia adalah seseorang yang kerap kali bergabung bersama petani di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, di tengah penolakan mereka terhadap penambangan dan pembangunan pabrik semen. Tak hanya itu, potret beberapa petani Kendeng juga menjadi objek lukisannya.
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Dewi Candraningrum memamerkan sepuluh buah lukisannya dalam pameran berjudul āPerempuan dan Ekologiā pada 10-18 Maret 2017. Lukisan potret para āKartini Kendengā pun turut dipamerkan dalam acara ini. Bertempat di Uwong Coffee, Yogyakarta, acara ini dibuka oleh diskusi yang bertajuk sama, dengan Dewi sebagai salah satu pembicaranya. Ditemui sesaat sebelum menutup rangkaian pamerannya, Sabtu (18-3), BALAIRUNG berkesempatan untuk bercakap-cakap dengan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan periode 2014-2016 ini. Ia membagi perspektifnya tentang gerakan feminisme di Indonesia. Sejalan dengan itu, topik terkait ekofeminisme yang merupakan gerakan yang ia geluti juga timbul dalam percakapan.
Bagaimana Anda melihat gerakan feminisme di Indonesia saat ini?
Seluruh gerakan perempuan di Indonesia itu adalah gerakan yang terpinggirkan. Pertama, di kampus dan secara kelimuan, jurusan kajian gender itu selalu terpinggirkan. Mahasiswanya sedikit, dedikasi dosennya juga sedikit. Hal ini terjadi sebab belum ada impian praksis dari masyarakat, āKalau masuk kajian gender atau kajian wanita, terus jadi apa?ā Nah, itu tantangan bagi kita untuk menyediakan solusi.
Jadi kalau kita mendirikan jurusan pascasarjana, misalnya Gender dan Studi Pembangunan, jurusan itu ātidak diakuiā dalam struktur keilmuan di Indonesia. Namun, universitas-universitas di luar negeri sudah mengakui jurusan tersebut. Sehingga, bagian āgenderā di jurusan ini diharuskan menjadi yang sekunder, misalnya menjadi jurusan Ilmu Ekonomi dan Gender, atau Islam dan Kajian Gender. Ini menunjukkan kajian gender di universitas-universitas Indonesia belum bisa berdiri sendiri.
Kedua, sebagai jurnal. Saya pernah mencoba mengakreditasikan Jurnal Perempuan, tetapi tidak ada cabang ilmunya. Jadi saya terpaksa masuk ke antropologi karena saya melihat antropologi paling bisa mengakomodasi kajian feminisme ini. Itu gambaran saya tentang gerakan feminisme dalam dunia keilmuan ya. Sebab saya melihat feminisme tidak hanya sebagai gerakan sosial, tapi juga ada praksis pengetahuannya.
Seberapa penting gerakan feminisme di Indonesia?
Sebenarnya āfeminismeā itu tidak penting karena ia hanya sebuah kata. Hal yang penting itu nilai-nilainya. Misalnya seorang perempuan Papua yang perilakunya seperti saya (intens terlibat dalam gerakan feminisme) bisa saja tidak tahu apa itu feminisme tetapi dia punya nilai-nilai itu. āFeminismeā sama sekali tidak penting, tetapi nilai-nilainya yang bisa jadi tidak punya nama āfeminismeā itu yang penting dan harus kita jaga.
Jadi, apa tuntutan sesungguhnya dari feminis Indonesia?
Feminisme sesungguhnya tidak memerintahkan orang-orang yang terlibat untuk menyeragamkan gerakan dan tuntutannya. Tuntutan feminis Indonesia jelas berbeda-beda. Feminis yang berkaitan dengan buruh pasti contoh tuntutannya adalah kenaikan upah. Feminis yang berkelindan dengan ekologi menuntut agar lingkungan tidak dirusak. Tuntutannya sesuai dengan matra atau dimensi masing-masing. Gerakan perempuan di Indonesia itu memang multimatra, berbeda-beda. Namun, itu tidak bermakna bahwa gerakannya terpecah belah. Semuanya bekerja di arasnya masing-masing.
Saat ini, feminisme seringkali ditunggangi oleh kapitalisme. Bagaimana tanggapan Anda terkait hal ini?
Itu berkaitan dengan price tag feminism. Berdasarkan salah satu tulisan dari The Economist, kini seks tak lagi āmenjualā dalam struktur kapitalisme. Hal yang āmenjualā adalah aktivisme. Jadi, misalnya ada kulkas dengan embel-embel āgreenā, jamu yang tulisannya āherbalā, terus tiba-tiba kamu beli. Itu bodoh. Herbal itu ya kamu ambil sendiri, olah sendiri di dapur, atau ke mbok jamu. Itu baru herbal.
Anda sempat menyinggung perihal price tag feminism ini dalam diskusi āPerempuan dan Ekologiā saat pembukaan pameran Anda. Apakah Indonesia juga dilanda hal ini?
Tentu saja. Price tag feminismĀ atau discounted feminism itu ada dalam buku Angela McRobbie, Post-feminism and Popular Culture. Orang-orang sekarang menyangka bahwa feminisme sudah selesai dan tidak ada gunanya karena perempuan dan laki-laki sudah setara. Padahal itu salah. Maksud dari McRobbie adalah feminisme itu kini dikelabui, digerus, diambil sebagian yang disukai, dan dibuang yang tidak disukai. Misalnya ada yang mau membicarakan isu ekologi, tapi tidak mau membahas isu Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT). Mau mengulas isu kepemimpinan perempuan, tapi isu seksualitasnya tidak disentuh.
Contoh sederhana di Indonesia misalnya pada penganut radikal suatu agama yang hanya setuju (membicarakan isu perempuan dalam) pendidikan saja. Namun, di antara mereka tetap ada yang tidak setuju perempuan jadi pemimpin, ada yang tidak setuju LGBT. Itu namanya membajak feminisme. Ini terjadi karena, masih meminjam istilah dari McRobbie, disartikulasi gerakan. Jadi disartikulasi gerakan ini misalnya dari Mbak Nursyahbani Katjasungkana (aktivis emansipasi perempuan angkatan ā80) ke angkatan 2000-an. Angkatan baru ini terdiskoneksi, tidak tahu info-info dari angkatan sebelumnya. Tiba-tiba mengklaim feminisme, lalu mengambil yang disuka dan membuang yang tidak disuka.
Dewi Candraningrum aktif dalam penyebarluasan teori ekofeminisme dan turut menggunakannya sebagai motor gerakan. Mengutip pengantar bukunya, Ekofeminisme I (2013), ekofeminisme adalah dialektis yang bergerak pada area konsep (teori) dan praktik (praksis) untuk memecahkan persoalan krisis relasi antara manusia, sekaligus krisis relasi manusia dengan alam. Tujuannya adalah mencapai perubahan sistem dan struktur masyarakat yang menempatkan manusia, laki-laki dan perempuan, serta alam, menjadi satu kesatuan yang integral-holistik.
Mengapa memilih ekofeminisme sebagai basis gerakan Anda?
Saya pertama kali berjumpa dengan feminisme melalui sastra. Selanjutnya, saya mengkaji tentang sastra dan fundamentalisme dalam tesis dan disertasi saya. Kemudian saya melihat bahwa konflik dalam dunia Islam, fundamentalisme, dan lain sebagainya itu tidak berakar pada persoalan tafsir dan perbedaannya saja. Itu sifatnya hanya sekunder, tersier. Namun, sebab yang paling utama adalah perebutan sumber daya alam. Nah, perebutan sumber daya alam itu kemudian menggiring saya mengetahui problem-problem dari modernitas yang menjadikan tubuh kita, bumi, dan segala halnya sebagai objek.
Itu yang kemudian membuat saya berjumpa dengan Arundhati Roy (penulis novel asal India yang juga seorang aktivis lingkungan) dan Leila Ahmed (feminis Islam dan penulis asal Mesir). Dalam karya sastranya, mereka membela agar sebuah sungai di daerah mereka masing-masing tidak dijadikan bendungan. Kenapa sungai yang dijadikan bendungan itu berbahaya? Karena itu berarti sungai hanya dilihat dayanya saja, digunakan untuk listrik. Padahal sungai itu kan sebenarnya makhluk hidup. Bagi saya itu adalah sebuah pengalaman yang luar biasa.
Setelah pengalaman-pengalaman tersebut, saya menginisiasi buku serial kajian Ekofeminisme setiap tahun. Ini sudah tahun keempat. Saya berdoa meskipun saya mati nanti, serial ini tetap akan diteruskan. Karena saya menyadari perlunya pengarusutamaan perspektif tentang perempuan dan lingkungan dalam universitas-universitas di Indonesia. Saya melihat ahli-ahli dari universitas itu yang justru meloloskan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merusak lingkungan. Selain itu, saya juga terlibat dan belajar secara langsung dari petani Kendeng. Itu juga yang membuat saya banyak melukis mereka.
Sesungguhnya apa yang ingin dilawan dari gerakan ekofeminisme?
Musuh dari ekofeminisme adalah perusak lingkungan. Sesuatu yang merusak lingkungan itu bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama, adalah pikiran-pikiran yang berbau āmodernitasā. Modernitas menganggap bahwa alam dan segala isinya adalah objek, sehingga kita yang merupakan bagian dari alam terdiskoneksi dengan alam itu sendiri. Kalau pikiran itu dipelihara, penghargaan dan penghormatan kita pada lingkungan akan menjadi sangat buruk. Kedua, adalah tindakan merusak lingkungan. Misalnya keputusan politis, yang mengizinkan gunung untuk dikeruk habis, atau memilih energi yang tak terbarukan. Hidup tidak minimalis dengan banyak belanja, bahkan ketika kita tidak menghabiskan air minum kita, itu juga sebuah tindakan merusak lingkungan.
Bagaimana cara membuat ekofeminisme untuk menjadi sebuah gerakan bersama, bukan hanya milik perempuan saja?
Kalau berniat menjadikannya gerakan bersama, nilai-nilai ekofeminisme itu harus disebarkan. Karena ketika disebarkan, itu bisa menjadi milik semua orang. Kita juga harus sabar, seperti etos ibu bumi. Selalu memberi dan memaafkan.
Apakah harapan Anda ke depannya untuk gerakan feminisme di Indonesia?
Bagi saya, pembangunan kapasitas atau penegasan pengetahuan tentang feminisme itu penting. Jadi kalau Anda feminis atau dalam pergerakan, Anda harus belajar. Tidak bisa hanya mengaku saja, tidak belajar, dan hanya ikut-ikutan. Lalu hal yang kedua adalah konsistensi dan kegigihan. Ketiga adalah inovasi gerakan, supaya tidak meniru terus dari negara-negara Barat. Inovasi gerakan itu bisa dilakukan salah satunya dengan menggali kembali tradisi di Indonesia. Hal terakhir adalah saling berjejaring, saling menginformasikan, dan saling mendukung satu sama lain.[Oktaria Asmarani]