Kongres Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (KM) UGM pada Senin (19/12), menyepakati mekanisme pembahasan Anggaran Dasar/Anggara Rumah Tangga (AD/ART) KM UGM. Pembahasan AD/ART KM UGM tidak runtut dari awal, melainkan dimulai dari pasal 25 ART yang mengatur perihal hak suara. Kesepakatan ini tercapai, setelah melalui perdebatan yang cukup alot antarpeserta sidang.
Perdebatan berawal saat Alfon, mahasiswa Fakultas Hukum mengajukan order untuk membahas pasal 25 poin 3 ART KM UGM terlebih dahulu. Pasal tersebut mengatur perihal hak suara dalam kongres. Menurutnya, hak suara merupakan hal mendasar yang akan mempengaruhi keputusan kongres. Oleh sebab itu, harus ada kesepakatan dari forum terkait pihak-pihak yang memiliki hak suara dalam kongres sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut. “Hukum formil harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum membahas hukum materiil,”tegasnya. Order tersebut disepakati oleh forum.
Meski telah disepakati, order tak segera dilaksanakan. Hal ini dikarenakan salah seorang peserta sidang, Kiki, mengajukan order yang menegasi order sebelumnya. Kiki menuntut pembatalan pembahasan hak suara terlebih dahulu. “AD/ART seharusnya dibahas secara runtut dan komprehensif,” pungkasnya.
Sependapat dengan Kiki, Nadya, mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, menambahkan bahwa mekanisme pembahasan AD/ART yang tidak runtut haruslah didasari dengan alasan yang jelas. “Apakah pasal 25 ART tahun lalu bermasalah sehingga harus dibahas ulang terlebih dahulu? Jika yang dikhawatirkan perihal suara dari fakultas, itu sebenarnya sudah tercantum dalam ART tahun sebelumnya,” tuturnya
Hal tersebut ditanggapi oleh Arif, salah satu peserta kongres. Menurutnya, pasal 25 poin 3 ART KM UGM tahun lalu kurang merepresentasikan suara fakultas dalam kongres. Dalam pasal tersebut, hanya ada satu perwakilan dari lembaga eksekutif fakultas yang menjadi peserta penuh –memiliki hak suara dan hak bicara. “Secara kuantitas, saya merasa bahwa kongres KM ini cenderung didominasi golongan elite politik kampus yang terdiri dari Senat Mahasiswa, Presiden Mahasiswa, dan Badan Eksekutif Mahasiswa,” ungkapnya.
Joko Susilo, Mahasiswa Departemen Manajemen Kebijakan Publik, menambahkan bahwa perumusan hak suara yang lebih representatif akan mengubah kultur dalam Kongres Mahasiswa KM UGM. Hal ini diamini oleh salah seorang peserta kongres dari Fakultas Hukum. “Pembahasan hak suara ini merupakan upaya konkretisasi suara dari anggota KM UGM, tidak hanya pengurusnya saja,” jelasnya.
Perdebatan tersebut membuat forum terbagi menjadi dua kubu yakni, kubu pro pembahasan hak suara terlebih dahulu dan kubu kontra. Masing-masing kubu tetap bersikeras dengan argumen yang diajukan. Melihat kongres menemui kebuntuan, M.Ali Zaenal Abidin, Presiden Mahasiswa periode sebelumnya, mengusulkan dilakukannya mekanisme lobi sesuai ketentuan pada tata tertib kongres. Lobi akan dilakukan oleh dua orang perwakilan dari dua pihak yang mempunyai pendapat berbeda dan disaksikan oleh pimpinan sidang.
Alfon menolak usulan tersebut. Ia berpendapat bahwa dalam kongres ini ada dua order yang berlawanan. “Bila order pertama –pembahasan perihal hak suara didahulukan— sudah disepakati forum, harusnya dilakukan peninjauan kembali (PK) apabila ada order yang berlawanan,” jelasnya.
Setelah perilisan novum (peristiwa atau bukti baru), akhirnya forum sepakat untuk melakukan PK. Berdasar pemeriksaan hasil notulensi, order dari Alfon terbukti sudah disepakati forum sebelumnya. Alhasil, mengacu pada mekanisme sidang, forum melanjutkan kongres sesuai dengan order yang sudah disepakati, yakni pembahasan perihal hak suara terlebih dahulu.
Sebelum pembahasan dimulai, Alfon menyarankan agar hasil keputusan terkait hak suara ini diundangkan terlebih dahulu, terpisah dari pengesahan AD/ART keseluruhan. “Jika tidak diundangkan terlebih dahulu, akan percuma. Keputusan kongres jadi tidak dapat berlaku saat ini juga,” pungkasnya. Kongres pun berlanjut pada pembahasan pasal 25 ART KM UGM, yang akan disahkan pada kongres berikutnya (20/12). [Faizah Nurfitria]