Rektor UGM, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D, akhirnya menampakkan diri untuk kedua kalinya di hadapan para mahasiswanya di depan Gedung Pusat UGM pada Senin (02/05) pukul 17.28. Sebelumnya, Rektor sempat menunjukkan diri saat akan memberikan tiga pernyataan pada pukul 14.58. Ketiga pernyataan tersebut adalah mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT), tunjangan kinerja (Tukin) dan kantin Sosio-Humaniora atau yang lebih dikenal sebagai Bonbin. Namun, belum selesai memberikan pernyataan yang ketiga, Dwikorita sudah meninggalkan lokasi. Sikap mahasiswa UGM yang membalikkan badannya membuat Rektor merasa tersinggung. Setelah pihak mahasiswa melakukan negosiasi, akhirnya Rektor mau hadir kembali di hadapan mahasiswa untuk kedua kalinya.
Dalam kehadiran kedua Rektor tersebut, terjadi diskusi terbuka antara mahasiswa dengan Rektor. Beberapa pertanyaan diajukan terhadap Rektor mengenai ketiga permasalahan tersebut. Umar Abdul Aziz, mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan ’12 menanyakan seputar UKT untuk diklarifikasi oleh Rektor. Isu pertama yang dituntut mahasiswa penghapusan kenaikan UKT 2016 dan uang pangkal bagi mahasiswa angkatan 2016 yang masuk melalui jalur non-reguler. Rektor menanggapi bahwa pada 28 April 2016 diputuskan bahwa UKT 2016 tetap sama dengan UKT 2015. “Besaran UKT yang tetap ini menyebabkan tidak berlakunya SPMA (Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik),” imbuhnya.
Tuntutan mahasiswa selanjutnya adalah menuntut dibentuknya mekanisme penundaan pembayaran UKT dan penyesuaian UKT serta mempertimbangkan jumlah tanggungan keluarga dalam menentukan golongan UKT. Menanggapi tuntutan tersebut, Dwikorita mengatakan bahwa akan dibentuk mekanisme bersama mengenai penyesuaian dan penundaan pembayaran UKT yang dimuat dalam SK Rektor. “Akan ada pertimbangan dalam penanggungan UKT di tahun 2016,” tambah Rektor. Rektor berjanji bahwa batas akhir kedua keputusan tersebut adalah pada 16 Mei 2016.
Umar menambahkan bahwa mahasiswa menolak pemberlakuan sistem UKT bagi mahasiswa S1 di atas semester delapan, diploma di atas semester enam, dan profesi. Selain itu, mahasiswa juga menuntut UGM menganggarkan beasiswa PPA-BBP dari BOPTN dengan kuota yang sama. Menanggapi hal tersebut, Rektor akan mempertimbangkan usul tersebut dan mengusahakan mencari dana beasiswa lain namun dengan kuota yang tidak sama. “Kita tidak boleh memindahkan alokasi dana beasiswa untuk sesuatu yang tidak dianggarkan,” tambahnya. Rektor sendiri menjanjikan batas akhir kedua keputusan tersebut juga pada tanggal 16 Mei 2016.
Terdapat juga permasalahan UKT di beberapa program studi tahun 2014 dan 2015 yang dianggap tidak proporsional. “Mahasiswa mengharapkan UKT bisa disesuaikan seperti pada tahun 2013,” ujar Umar. Menanggapi hal tersebut, Rektor mengatakan bahwa permasalahan ini harus dikoordinasikan dengan pihak fakultas terlebih dahulu. Rektor menjanjikan adanya keputusan pada tanggal 30 Mei 2016. Namun, mahasiswa tidak setuju dengan batas akhir tanggal tersebut, sehingga diputuskan bahwa pada 16 Mei 2016 pihak Rektorat melaporkan hasil diskusi mereka dengan pihak fakultas dan sekolah.
Setelah isu UKT ini dibahas, kemudian salah satu perwakilan dari tenaga pendidik ikut berdialog dengan Rektor. Dia menanyakan mengapa para tenaga pendidik hanya menerima Tukin untuk dua bulan sedangkan yang diminta adalah untuk 18 bulan. “Apakah UGM tidak mampu membayar Tukin?” tanyanya dalam dialog tersebut. Rektor menjelaskan bahwa seluruh PTN-BH sedang berjuang bersama-sama agar Tukin tersebut dapat cair. Tukin ini juga rencananya akan berubah menjadi insentif kinerja yang konsepnya adalah untuk reformasi birokrasi dan insentif ini diberikan berdasarkan capaian kerja.
Kemudian, Kevin Maulana Kurniawan, mahasiswa Ilmu Sejarah ‘13, turut memberi tuntutan berupa adanya pencabutan SP 2 kepada para pedagang dan sebuah jaminan akan terwujudnya hal tersebut. Rektor menjelaskan bahwa Rektorat tetap bertekad meningkatkan fasilitas layanan kampus yang sudah dirintis sejak awal 2016 yaitu dengan menyediakan tempat sementara di Pusat Jajan Lembah (Pujale). Penempatan itu bersifat sementara karena para pedagang Kantin Sosio-Humaniora akan dipindah ke gedung baru yang rencananya akan dibangun di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Namun, Standar Operasional Prosedur (SOP) pemindahan tersebut harus menunggu hasil diskusi dengan mahasiswa karena ada beberapa detail yang harus dijelaskan. Setelah itu, SOP ini bisa segera disiapkan oleh Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA). “Sudah semakin jelas bahwa kita sepakat untuk menyelamatkan kantin itu,” tambahnya.
Setelah menjawab berbagai tuntutan, Rektor diminta untuk memberikan tanggapan terkait aksi yang selama ini dia anggap sebagai simulasi tersebut. Namun, dia justru berterimakasih kepada mahasiswa karena telah bersabar dan mempersilahkan mahasiswa untuk beristirahat. Setelah memberikan pernyataan tersebut dia langsung meninggalkan tempat tersebut menuju parkiran mobil Gedung Pusat UGM pada pukul 18.21. Namun, sebagian mahasiswa menahan dan mengejar Dwikorita karena merasa tidak puas. Akhirnya terjadi kericuhan hingga Dwikorita tidak dapat memasuki mobil yang telah disediakan. Untuk menenangkan kericuhan, Dwikorita akhirnya angkat bicara kepada para mahasiswa yang mengejar dan menahannya pada pukul 18.31.
Rektor mempertanyakan sikap mahasiswa yang mendorong-dorong saat kericuhan terjadi. “Padahal saya sudah menunggu sejak pagi hingga malam untuk memenuhi permintaan yang diminta mahasiswa,” ujarnya. Menanggapi pertanyaan tersebut, Umar menjawab bahwa kericuhan tidak akan terjadi kalau Rektor memberikan pernyataan mengenai aksi yang dianggap simulasi tersebut. “Kami ingin mengetahui pernyataan Ibu sebagai pimpinan tertinggi UGM,” jelas Umar. Menanggapi hal tersebut, Rektor menjawab bahwa dia masih menganggap acara tersebut sebagai gladi bersih. “Untuk mengatasi segala sesuatu diperlukan gladi dan pelatihan,” imbuhnya.
Pernyataan Rektor tersebut bertolak belakang dengan pernyataan Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D, selaku Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan. “Saya mengakui bahwa acara ini memang aksi, bukan simulasi,” ujar Iwan. Setelah Dwikorita berbicara, kericuhan sempat terjadi lagi pada pukul 18.41. Kericuhan terjadi karena ketidakpuasan mahasiswa terhadap pernyataan Rektor. Kemudian, Rektor masuk ke Ruang Rektor pada pukul 18.45 untuk menghindari kericuhan. Beberapa mahasiswa menunggu Rektor di lantai dua dan taman Gedung Pusat UGM. Akhirnya, Rektor berhasil pulang pada pukul 21.08 dengan iringan lagu “Sayonara” yang dinyanyikan oleh para mahasiswa. [Muhammad Respati H., Muhammad Farhan I.I.]