Senin siang (2/5) ribuan mahasiswa UGM dari berbagai fakultas berkumpul di halaman gedung pusat. Sejak pukul 10.00 WIB, massa aksi menyerukan yel-yel dan menyanyikan lagu perjuangan mahasiswa. Sedangkan di saat yang sama, dalam aula sedang dilakukan negosiasi antara pihak rektorat dengan perwakilan mahasiswa.
Beberapa mahasiswa langsung naik ke beranda lantai 2 dan mencabut atribut sisa upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang bertuliskan ‘Ayo Kerja, Inovatif dan Kompetitif’. Spanduk tersebut kemudian digantikan dengan buatan mahasiswa yang bertuliskan ‘Revolusi Pendidikan’ dan beberapa spanduk lain berisi tuntutan atas berbagai masalah yang sedang hangat di lingkup UGM. Serentak massa berteriak riuh. Peristiwa tersebut diiringi dengan lagu Indonesia Raya sembari menurunkan bendera merah putih hingga setengah tiang.
Syahdan Husein mahasiswa Sastra Indonesia ’15 mengatakan bahwa hal tersebut merupakan keseriusan aksi mahasiswa kali ini. Perihal ‘Revolusi Pendidikan’, ia menambahkan bahwa aksi yang bertepatan dengan Hardiknas merupakan upaya mengingatkan kembali makna pendidikan saat ini. “Pendidikan merupakan hal vital yang harusnya dapat diakses oleh seluruh masyarakat”, kalimat revolusi pendidikan perlu digaungkan agar ke depannya akses pendidikan lancar. Karena akses pendidikan merupakan hak seluruh masyarakat yang berdasar pada pembukaan UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berkaitan dengan kalimat revolusi pendidikan yang ditulis di spanduk berukuran 8mx10m, salah satu mahasiswi D3 Teknik Sipil ’15 mengatakan bahwa ‘Revolusi Pendidikan’ merupakan keharusan untuk membela seluruh masyarat yang ingin mendapatkan pendidikan dengan mudah dan murah. “Pendidikan dan ilmu baru dapat kami peroleh lebih lanjut di jenjang yang lebih tinggi setelah wajib belajar 12 tahu yang telah dicanangkan oleh pemerintah”, ungkapnya. Selain itu ia juga menambahkan bahwa revolusi pendidikan juga berkaitan dengan penyaluran dana pendidikan yang harusnya berkeadilan. Selain itu, istilah revolusi pendidikan merupakan akumulasi dari masalah yang timbul di UGM, sehingga sistem pendidikan harus diubah menuju arah yang lebih baik. “Harusnya pendidikan bisa didapatkan dimana saja tanpa membayar terlalu mahal”, timpal Adam Adiwijaya salah satu mahasiswa Ilmu Sejarah ’12.
Hingga sekitar pukul 13.00 negosiasi masih berjalan alot. Meskipun siang yang terik, teriakan massa terus bergema. Beberapa mahasiswa hampir memenuhi beranda lantai dua gedung pusat, rektor memilih untuk mengulur waktu untuk bertemu dengan massa. [Khumairoh]