Senin (7/9) sekumpulan akademisi dari berbagai disiplin menghadiri kuliah umum yang diselenggarakan oleh pasca sarjana Hubungan Internasional (HI) UGM. Bertempat di Ruang Seminar Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, kuliah ini merupakan agenda rutin tiap tahun bagi mahasiswa baru program studi (prodi) itu. Bekerja sama dengan Institute of International Studies (IIS) FISIPOL UGM, kuliah kali ini mengangkat tema “Tata Kelola Lingkungan Global dan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) : Sebuah Pandangan Kritis”.
Tema “Tata Kelola Lingkungan Global dan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) : Sebuah Pandangan Kritis” dipilih karena isu lingkungan sedang hangat diperbincangkan belakangan ini. Selain itu, Ayu Diasti Rahmawati, M.A., dosen HI UGM sekaligus moderator menerangkan bahwa pemilihan tema ini telah memenuhi ekspektasi dari jurusan. Menurut Ayu, selama ini prodi HI selalu mengambil tema dari isu-isu bidang ekonomi, sosial, dan politik. “Mulai tahun ini, prodi HI tidak mengambil isu global yang berpengaruh pada negara saja, tetapi juga kita sebagai masyarakat,” tuturnya.
Kuliah umum ini disampaikan oleh Dr. Abidah Billah Setyowati, pakar geografi sosial dari University of Hawaii. Pada awal penjelasan, Abidah menuturkan bahwa salah satu isu lingkungan hidup saat ini adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca. Untuk mengurangi, beberapa negara melakukan kerja sama secara suka rela dengan mengusulkan persentase pengurangan emisi yang berbeda-beda. Perbedaan persentase ini disebabkan tiap negara memiliki kondisi perindustrian yang berbeda-beda.
Program dalam kerja sama tersebut adalah Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+). Program ini hadir karena penyumbang emisi terbesar berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, yakni sebesar 20%. Abidah menuturkan, karena itulah REDD+ dibuat untuk mengurangi dampak dari meningkatnya gas rumah kaca. REDD+ berbentuk bantuan dana dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang yang memiliki dan melakukan usaha pelestarian hutan. “Indonesia termasuk negara yang memperoleh pendanaan REDD+, bahkan yang terbesar daripada negara lain,” ungkap Abidah.
Akan tetapi, Abidah menjelaskan adanya REDD+ di Indonesia membuat akses masyarakat terhadap sumber daya hutan tertutup. Hal ini terjadi karena dalam REDD+, hutan dibiarkan untuk tumbuh dengan alami, tanpa campur tangan dari manusia. Akibatnya, untuk daerah yang menerapkan REDD+, kegiatan ekonomi masyarakat yang tergantung pada hutan menjadi mati. “Jadi ketika REDD+ diterapkan di seluruh Indonesia, maka akan menyebabkan ekonomi Indonesia anjlok”, terang Abidah.
Bersama dengan munculnya dampak, penerapan REDD+ mengundang banyak kritik dari beberapa negara. Abidah mengatakan, “REDD+ justru dianggap sebagai alat negara-negara maju untuk mengurangi laju ekonomi negara-negara berkembang.” Namun, Abidah bercerita ketika dilempar ke forum Internasional, orang-orang yang mengkritik tadi terdiam ketika ditanya solusi lain oleh pihak pengusung REDD+ . Oleh karena itu, sampai sekarang hanya REDD+ yang dianggap sebagai solusi konkrit dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di dunia. “Kita harus teliti menanggapi situasi kebimbangan semacam ini dan jangan terlalu subjektif menilai demi kebaikan bersama,” tutur Abidah.
Sependapat dengan Abidah, Teguh Puja, salah seorang peserta kuliah, menceritakan isu lingkungan semacam ini sangatlah kompleks. Menurutnya, agar bisa mengambil keputusan yang baik, seseorang harus mengetahui akar masalah secara objektif. Selain itu, Teguh juga menjelaskan perlunya memahami posisi di dalam isu semacam ini. “Dengan begitu kita mengetahui bagaimana harus bersikap terhadap isu yang muncul,” tegas mahasiswa S2 Pengkajian Amerika UGM ini. [Abdul Hakam Najah, Tri Utami Rosemarwati]