Jeruji besi menjadi tabir pemisah Wasiyo dan keluarganya. Melalui celah tiang besi yang berkarat di sana-sini, ia mengulurkan tangan menggapai jemari istrinya. Mata mereka saling menatap sembari berkaca-kaca, seakan saling menyalurkan energi positif penuh harap. Di balik istri Wasiyo, petani lain mengepalkan tangan coba memberi dukungan. “Semangat, bro!” seru mereka bersemangat.
Berbaju koko putih dan berpeci, Wasiyo dan tiga petani lainnya menanti sidang di ruang tersangka Pengadilan Negeri Wates dengan tenang.Bahkan saat memasuki ruang persidangan, mereka melambaikan tangan pada simpatisan yang ada pada kursi pengunjung. Agenda sidang tersebut (24/03) adalah pembacaan eksepsi dari pembela hukum tersangka. Sebelumnya, jaksa menuntut Saridjo dengan pasal 160 KUHP tentang provokasi serta tiga petani lain dengan pasal 170 KUHP tentang perusakan barang publik.
Hamzal Wahyudin, penasihat hukum tersangka mengatakan bahwa tuduhan perusakan barang publik terlalu berlebihan. Tuduhan ini mengindikasi adanya upaya untuk menakuti masyarakat yang sedang menolak pembangunan bandara. (Baca juga Sengkarut Rencana Pembangunan Bandara) Pasalnya, masyarakat yang melakukan perusakan telah mengecat ulang sebagai upaya perbaikan.(Baca juga Mengungkap Kriminalisasi Petani Temon) Ini berarti telah berjalannya upaya kekeluargaan, yakni penyelesaian di luar persidangan. Namun tuduhan tetap bergulir hingga tuntutan sang jaksa penuntut umum. “Padahal pemerintah bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara kultural dan humanis yang lebih efektif,” ujar Wahyudin tegas.
Sementara itu, menanggapi tuntutan terhadap Saridjo, penasihat hukum mengklaim surat dakwaan batal demi hukum. Alasannya, jaksa tidak menjelaskan delik materiil dari pasal yang dituduhkan. Pasal yang berlaku limitatif justru ditafsirkan dengan delik formilnya saja. Ini karena jaksa menuduh Saridjo telah menghasut masyarakat untuk menyegel balai desa. Namun, jaksa tidak menjelaskan lebih lanjut konsekuensi hasutan Saridjo. Harusnya, jaksa menjelaskan korelasi Saridjo dengan tiga petani lain yang melakukan penyegelan balai desa. Selain itu, penasihat hukum juga menyudutkan jaksa dengan mengatakan bahwa surat dakwaan hanya menyalin isi surat penahanan. “Saya jadi mempertanyakan keseriusan jaksa atas kasus ini,” ucap Agung Pribadi, penasihat hukum Saridjo.
Di akhir persidangan, penasihat hukum mempertanyakan pertimbangan hakim atas penahanan empat tersangka. Menurut Hakim Ketua, ia masih akan mendiskusikan penangguhan penahanan hingga minggu depan. Penangguhan yang tak kunjung ditanggapi ini tentu semakin menyusahkan keadaan ekonomi keluarga terdakwa. Hal ini mengingat profesi keempat terdakwa yang sebagai petani. “Kami akan menanyakan lagi di sidang berikutnya, ini karena penangguhan sudah masuk dalam ranah pertimbangan hakim,”ungkap Wahyudin.
Di akhir persidangan, Jaksa PU meminta rentang waktu satu minggu pembuatan berkas replik terhadap eksepsi. Sontak simpatisan dan kawan-kawan petani Temon berseru, “Terlalu lama itu!” Ini karena semakin lama pemeriksaan persidangan dan penangguhan tidak dikabulkan, akan banyak kerugian ekonomi yang dialami para terdakwa. Namun, hakim tetap memberikan waktu yang seminggu pada jaksa. Waktu selama itu dianggap wajar karena mengedepankan keadilan di muka peradilan. “Kita bertemu lagi Selasa depan, tanggal 31 Maret untuk agenda pembacaan tanggapan dari jaksa,” ujar hakim ketua.
Selama persidangan berlangsung, puluhan simpatisan petani yang bergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) melakukan aksi di luar PN Wates. Mereka mengenakan topeng bergambar wajah Saridjo, Wasiyo, Tri Marsudi dan Wakidi. Di atas kain sepanjang belasan meter, mereka menuliskan tuntutan mereka pada pemerintah. Beberapa di antaranya adalah pembebasan empat petani dan pembatalan pembangunan bandara. Marthono, Ketua WTT, menyatakan akan terus mendampingi proses hukum empat anggota WTT. “Kami akan terus mengawal persidangan sampai hak-hak kami terpenuhi,”tegas Marthono. [Ganesh Cintika Putri, Nuresti Tristya Astarina]