Pemuda menjadi aktor sejarah yang dominan. Sejak kemunculan gerakan Mods akhir 1950-an di London, Skinhead di akhir 1960-an, sampai gerakan Punk hingga Hippies, pemuda selalu ambil peran. Mulai dari drama pop culture hingga adegan politik, pemuda tak kehilangan akting. Kini menjelang akhir bulan Oktober, opini surat kabar, sampul majalah, pidato menteri –setidaknya menpora- sampai seminar-seminar mahasiswa mulai ancang-ancang untuk memboyong pemuda sebagai peluru yang mengisi magasin acara-acara demi menggaet publik. Adalah negeri kita yang membuat sebuah okultisme (pemujaan) seremonial terkait tanggal 28 oktober, sebagai hari sumpah pemuda.
Mahasiswa paling menentukan dalam sejarah. Mahasiswa menjadi oposisi yang konstan selama akhir kekuasan Tsar di Rusia. Semenjak Boikot atas perang Aljazair di Perancis, sampai gerakan occupy wallstreet di Amerika serta Arab spring yang meruntuhkan rezim-rezim otoriter. Di Indonesia, sebelum kelahiran mahasiswa angkatan 1928 -dengan sumpah pemuda yang berisi tiga pernyataan sikap-, kita mengenal angkatan 1908 dengan organisasi Boedi Oetomo meski condong Jawa-sentris.
Di tahun yang sama, muncul bibit gerakan mahasiswa Indonesia bernama Indische Verenigingdi Belanda. Kemudian diubah namanya menjadi Indonesische Vereniging atau perhimpunan Indonesia pada 9 Februari 1924, sekaligus mengukuhkan keinginan akan kemerdekaan tanah air yang sedang dijajah (Daniel Dhakidae, 2011). Para mahasiswa menolak menggunakan nama Indische yang cenderung kepada Hindia sebagai bagian dari negeri jajahan dan menggantinya dengan nama baru yaitu Indonesia (Parakitri Simbolon, 1995). Bulan Maret 1928, seorang mahasiswa di depan pengadilan tinggi Den Haag berteriak “Kini terserah pada angkatan muda kita untuk menyadarkan rakyat daripada semangat kemerdekaan yang berkobar di hati kita, untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa cita-cita kemerdekaan kita tumbuh terus, kendati ia ditindas dan diperkosa” (Muhammad Hatta, 2005).
Tak lama berselang setelah kongres pemuda 1928, semangat revolusi membawa peristiwa kemerdekaan yang dianggap monumental. Mahasiswa angkatan 1945 turut menyumbangkan gagasan dan daya juangnya demi emansipasi tersebut. Semboyan-semboyan nasionalisme dan dekolonialisme menggelora di darah kaum muda. Mahasiswa angkatan ‘45 memboyong Soekarno-Hatta sebagai pasangan pemimpin yang menahkodai kapal raksasa republik yang masih bayi. Pada tahun 1960 secara tersurat melalui majalah Panji Masyarakat, Hatta berpesan pada Soekarno dalam artikelnya yang berjudul ‘Demokrasi Kita’, bahwa diktator yang bergantung pada kewibawaan orang, tidak lama umurnya (Tempo, 2008).
Seperti sebuah nujum, di tahun 1963 menjelang akhir demokrasi terpimpin, terjadi kemerosotan stabilitas ekonomi akibat ambisi politik anti-imperialisme khususnya ganyang Malaysia, dibarengi meningkatnya inflasi, penurunan tingkat produksi berbagai sektor ekonomi moderen dan disfungsi administratif birokrasi yang ruwet (Herbert Feith, 1978). Deretan peristiwa itu membawa kebobrokan dan keruntuhan demokrasi terpimpin. Lagi-lagi mahasiswa menjadi dalang dalam gerakan demonstrasi menentang kepongahan demokrasi terpimpin.
Kehadiran orde baru melalui jurang genocide 1965 membawa republik menuju rezim otoriter. Berbagai agenda di kemudian hari seperti open door policy, depolitisasi, termasuk floating mass, membawa rakyat pada keterbungkaman aspirasi politik. Mahasiswa ibarat menanggung tongkat estafet, angkatan 1966 kembali bermaraton dalam kelahiran orde baru. Realitas ini tercatat dalam mingguan Mahasiswa Indonesia yang turut menggambarkan kelahiran orde baru dalam berbagai gagasan para Mahasiswa angkatan 66, terutama terkait ideologi politiknya terhadap orde baru dan militer, khususnya gerakan mahasiswa Bandung (Francois Raillon, 1989).
Perubahan besar dimulai dari pembukaan penanaman modal asing di tahun 1967 sampai dominasi militer yang kaku, membawa gerilya gerakan mahasiswa di antaranya dalam lingkar-lingkar diskusi. Gelagat ini terekam dalam Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib terkait gerakan limited group mahasiswa di Yogyakarta. Gerakan mahasiswa angkatan 1974 memuncak pada peristiwa Malari, berlanjut angkatan 1978 yang melakukan serangkaian aksi protes menentang kepemimpinan nasional. Akumulasi ini mengakibatkan keluarnya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK) sebagai bentuk penataan kembali kehidupan kampus yang memunculkan pendudukan kampus oleh militer (Umar Juaro, 1981). Hal ini menjadi bentuk represi orde baru atas gerakan mahasiswa yang dianggap mengancam rezim. Akhirnya, tanpa mengacuhkan peranan aktor lain, perjuangan panjang gerakan mahasiswa mencapai titik nadir reformasi 1998 sebagai alarm atas kehancuran orde baru dalam konstelasi politik Indonesia pasca-kolonial. Alhasil gerakan mahasiswa menjadi begitu penting, dalam gerak sejarah umat manusia, khususnya indonesia.
Namun bagaimana dengan gerakan mahasiswa kontemporer pasca-reformasi di UGM? Benarkah badan perwakilan mahasiswa yang formal tak lagi mampu berkutik di hadapandecision maker penghuni gedong rektorat kita? Atau jangan-jangan sedang membanting tulang mempersiapkan ritual tahunan, pemilihan ketua BEM dan kroni-kroni menterinya? Sejauh manakah BEM mewakili aspirasi seluruh mahasiswa UGM? Dapatkah diukur dengan persentase pemilih pada ritual pemira? Semestinya para perwakilan mahasiswa, mampu menjawab pertanyaan sederhana tadi. Tiba-tiba kerinduan akan gerakan mahasiswa yang riil dalam memperjuangkan demokratisasi kampus dengan melakukan berbagai upaya kritis, tidak sekedar tunduk tanpa reservasi dan kritik.
Para ruling elite di rektorat mampu membuat pendidikan sebagai lahan komersil, mampu mengubah kampus menjadi industri pendidikan. Contoh sederhananya, skema ketat batas waktu kuliah tidak boleh lebih dari lima tahun. Harapannya suatu saat semua mahasiswa kuliah secara teratur seperti mesin industri. Saat kehadiran mahasiswa baru -ibarat bahan mentah- pada saat itu pula mahasiswa tua -ibarat barang jadi- harus keluar dari kampus. Bukankah ini melanggar kontemplasi dalam pendidikan? Padahal inti dari kebebasan akademik adalah kebebasan meneliti, mengajar dan menulis agar lebih mendekatkan diri kita kepada kebenaran (Mochtar Buchori, 1990). Apakah kebenaran bisa diukur dengan tenggang waktu? Rektorat akan mengabulkan permintaan mulai dari beasiswa –dari uang KIK- sampai sepeda kampus. Asalkan mahasiswanya duduk manis tidak melakukan demo. Kalau demo, rektorat akan menurunkan SKK untuk mengatasi aksi.
Sebagai sebuah pameo, sengaja me-mleset-kan syair pujangga besar dalam kesusastraan jawa, Ronggowarsito, “Yen mahasiswa ilang kumandange, Dhemit Rektorat ilang wirange” (jika mahasiswa hilang suaranya, roh sakti penunggu gedung rektorat akan hilang malunya). Rasa malu jajaran petinggi di gedung rektorat akan hilang ketika para mahasiswa mulai enggan melakukan balance maupun checking atas segala kebijakan dan peraturan yang diturunkan atau mungkin disosialisasikan. Semestinya mahasiswa tidak acuh dan melakukan kontrol terhadap rule yang ada di kampus. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur musyawarah (jika ada), kritik hingga gerakan protes perlu dilakukan dalam etika tertentu jika yang dikritik hanya tutup telinga.
Tentunya badan perwakilan mahasiswa harus sadar ini! Kelemahan sekian banyak perguruan tinggi kita adalah kekakuan dan kekurangpekaan atas kebutuhan masyarakat dan mahasiswa yang berubah (Soedjatmoko, 1976). Institusi pendidikan semestinya menjadi teladan yang salah satunya adalah teladan demokrasi, yang melazimi adanya akses yang seimbang antar seluruh elemen perguruan tinggi -baik itu mahasiswa maupun para petinggi rektorat- dalam pengambilan kebijakan kampus!
Adhi Pandoyo
(Responden di forum diskusi Setjangkir Kopi)
1 komentar
Tulisan yang sangat menarik. Tapi terkadang terdapat beberapa diksi kata yang sulit untuk dimengerti, apakagi untuk pembaca awam. Misal terminologi floating mass dll.