Sabtu (28/7) siang, Institute for Multiculturalism and PluralismStudies(IMPULSE) beserta Center of Extension and Empowerment Studies (CEES), bekerja sama dengan Perpustakaan Kota Yogyakarta menggelar diskusi publik bertajuk “Pangan Lokal, Pangan Halal”. Diskusi ini menjadi medium untuk mengumumkan hasil survei sementara dari peneliti Impulse-CEES terkait konsumsi pangan lokal di wilayah Yogyakarta, dan penilaian hasil survei tersebut dari sudut pandang agama. Selain itu, diskusi juga membahas masalah kerentanan pangan yang kini terjadi di Indonesia.
Doni Kumoro, moderator diskusi, memaparkan, “Tempe membuka mata kita bahwa ada persoalan besar dengan bangsa kita. Indonesia ternyata banyak mengimpor untuk kebutuhan pangan masyarakat.” Ia membuka diskusi dengan menjelaskan kemungkinan untuk mendisversikan pangan lokal dengan panganan sehari-hari masyarakat supaya tidak terjadi krisis pangan. Fakta lantas dikaitkan pada zaman Sukarno. Saat itu Indonesia bahkan dapat melakukan 7.000 ton ekspor tempe per tahun. Sementara di zaman Soeharto, Indonesia mulai melakukan impor 150.000 ton tempe, dan hingga sekarang justru mengimpor 2.000.000 ton.
Berdasarkan hasil survei, masyarakat masih cenderung memiliki ketertarikan yang rendah terhadap pangan lokal. Kendati survei juga menunjukkan sebagian besar dari mereka sangat menyukai pangan lokal. Menurut Doni, kurangnya informasi terkait pangan lokal menjadi penyebab utama terjadinya kontradiksi. Memang, selain jenis pangan lokal, akses masyarakat terhadap informasi mencakup gizi dan tempat penjualan, serta upaya promosi industri lokal masih terbilang rendah. Penelitian selama dua minggu kepada 54 responden itu juga menunjukkan masyarakat umumnya mengonsumsi pangan lokal sebatas sebagai camilan. “Tidak ada yang memilih ubi atau ketela pohon jadi makanan utama,” ungkap Doni.
Di samping itu, Banning Prihatmoko, peneliti untuk Yayasan Nawakamal, menilai parameter pangan lokal masih belum jelas. Penelitian yang lebih kompleks harus diupayakan bila memang para peneliti menseriusi permasalahan ini. “Sebenarnya ada lebih dari 1.000 macam pangan lokal. Penelitian ini menjadi bias dengan mengambil sedikit contoh,” kritik Banning di awal penjelasannya. Penelitian memang hanya mengambil ubi, ketela pohon, dan ragam pangan lokal yang dikenal umum sebagai sampel. Padahal menurut Banning, pangan lokal berkaitan dengan sistem kehidupan masyarakat lokal.
Peneliti yang juga aktif meneliti di CEES ini mencontohkan tentang kehidupan masyarakat di Gunung Kidul. Di sana mereka menerapkan sistem gilir pangan setiap musimnya. Di satu musim mereka dapat mengkonsumsi beras, di panen berikutnya berlanjut dengan jagung, kemudian ketela yang biasanya dijadikan gaplek dan tiwul. Untuk kebutuhan protein, penduduk mengupayakan kacang-kacangan. “Dengan sistem itu, pangan lokal dapat berlanjut,sustain. Menurut Lester Brown (pemerhati lingkungan hidup—red.) kita butuh keberlanjutan pangan. Pertanyaan Lester, apakah generasi mendatang dapat menikmati yang sama seperti dengan yang kita dapat sekarang?” Banning beretorika.
Banning mengkritik bagaimana masyarakat modern saat ini hanya mementingkan komposisi zat-zat kimia dalam makanan yang mereka konsumsi. Ia melihat masyarakat cenderung abai dengan nasib pangan dunia di masa mendatang. Semakin banyak makanan sintetis diproduksi. “Kini masalah makanan hanya soal berapa persen protein, berapa persen karbohidrat.Agriculture tidak lagi dilihat sebagai budaya, tapi lebih ke agriteknologi dan agribisnis. Padahal kita punya pangan lokal yang perlu dilestarikan,” sambatnya. Ia pun miris terhadap keadaan Indonesia di mana food system-nya kini dikuasai oleh lima multi national corporation (MNC) dan yayasan makanan internasional; tidak berdiri di kaki sendiri.
Sementara itu, Jazilus Sakhok, pengasuh Pondok Pesantren Pandanaran, melanjutkan diskusi dengan menjelaskan hasil survei melalui sudut pandang agama. Menurutnya, pencantuman label Halal pada makanan yang dijual di pasaran justru menunjukkan bagaimana distribusi pangan di Indonesia menjadi ketergantungan dengan sistem kapital, “Padahal ada makanan yang tidak perlu diisikan label Halal, karena sudah jelas makanan nabati dan pangan lokal lainnya itu halal.”
Ia menjelaskan bahwa dalam QS Al-Maidah: 5, hampir semua makanan nabati termasuk makanan halal. Karenanya, ia mendukung penggerakan konsumsi makanan lokal bagi masyarakat. Menurutnya, masyarakat harus memperhatikan makanan yang dikonsumsinya. Makanan harus halal dan thoyyib (baik), namun sesuai dengan konteks kedaerahan. “Masyarakat kita masih terlalu berpatokan pada penerjemahan kitab secara literal. Karena konteks yang dibawa dalam kitab itu konteks Arab, ya tentu mereka menggambarkan makanan yang ada di daerah mereka. Padahal, makanan Arab belum tentu baik buat kita, masyarakat harus kritis, bisa menganalogikannya dengan makanan lokal,” jelasnya.
Di akhir acara, Amalia, peserta diskusi, peneliti Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM, menyampaikan pengalamannya dalam mensosialisasikan pangan lokal kepada ibu rumah tangga di Yogyakarta. Menurutnya, konsumsi pangan lokal dapat mengurangi impor makanan Indonesia dari negara luar. “Berapa energi dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membawa makanan dari luar? Padahal makanan dengan pengawet memicu penyakit degeneratif,” tandas Banning. [Dewi Kharisma Michellia]