Puluhan tahun silam, seorang juru warta meliput pemakaman agung Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Cerita pemakaman tersebut ia kisahkan dalam artikelnya dengan judul Duh Gusti, yang judulnya menjadi sampul majalah Tempo pada 1989. Jelaslah pengalaman saat itu masih ia rekam dalam memori karena seperempat abad kemudian ia menuangkannya dalam naskah orasinya, âHujan yang tumben turun, teja bewarna putih yang tampak di langit Imogiri, dua burung hitam di tembok makam. Apa yang dilihat para reporter saat itu barangkali kini akan dibaca sebagai sebuah fantasi atau ilusi.â
Petikan itu tertulis dalam naskah orasi yang ia bacakan pada malam penganugerahan penghargaan Hamengku Buwono IX dari Universitas Gadjah Mada pada acara puncak Dies Natalis ke-62 UGM. Setelah sebelumnya, pagi (19/12), rektor UGM, Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., memberikan penghargaan tersebut di Grha Sabha Pramana UGM.
Juru warta, sastrawan, budayawan, yang juga merupakan salah seorang pendiri Majalah Tempo itu memperoleh penghargaan tersebut untuk kategori tokoh kebudayaan. Ia menjadi penerima ke-15 sejak 1991. Dengan demikian, iaâGoenawan Soesatyo Mohamadâmenjadi jurnalis pertama dalam daftar penerima, setelah sebelumnya diisi oleh mereka yang berlatar belakang sains, lingkungan, dan sejarah.
Acara pada malam penganugerahan diawali dengan sambutan dari Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diwakili oleh GBPH Prabukusumo. âPembaca harus menggunakan ketajaman batin untuk menangkap arti simbolik di balik Catatan Pinggir,â komentar Prabukusumo. Senada dengan Prabukusumo, rektor UGM menyatakan apresiasinya. âCatatan Pinggir GM dapat memotret dan memberikan inspirasi untuk solusi terhadap persoalan universal bangsa,â ujar Sudjarwadi.
Untuk orasinya, pria yang akrab disapa GM dan terkenal dengan akun twitter @gm_gm itu mengangkat tulisan bertajuk âMetafor dan Metamorfosis, Membaca Kembali Malangsumirangâ. Pada masanya, kisah dalam babad Joko Tingkir itu digunakan oleh Sultan Panggung untuk meramalkan bagaimana masyarakat menghadapi perubahan dan pembangkangan. Sama dengan yang terjadi 22 tahun lalu ketika Goenawan meliput pemakaman agung, hujan gerimis mengiringi pembacaan orasi.
Kisah Malang Sumirang yang ia bacakan malam itu merupakan kisah paradoksal tokoh yang heroik, âIa menempuh rimba yang angker, melewati jurangâpengembaraan itu disebut mulia, jalan manusia unggul,â yang di lain pihak adalah anti-hero, âDi sana ia digambarkan sebagai perusuh, ngugu karepe dewe. Ia tidak mau bersembahyang bersama di masjid, ia congkak dan tidak segan kepada siapapun, dan provokatifâ.
Diceritakan bahwa kekolotan pemikiran para wali dan ulama atas sikap anti-hero Sumirang menyebabkan ia mesti menerjunkan diri ke dalam api. Sebelum terjun ke api, ia meminta kertas dan tinta untuk menuliskan wasiat. Anjingnya yang setia lantas ikut terjun dan membawakan tinta untuknya. Sumirang tak terbakar api. Ia lantas menyerahkan apa yang ia tulis di dalam api kepada Sunan Drajat.
Selain proses metamorfosis hero dan anti-hero dalam perjalanan hidup Sumirang, naskah orasi Goenawan menunjukkan betapa metafor atau bahasa dapat mempengaruhi pemaknaan cerita. Dalam kisah Joko Tingkir, ialah juru pamoco yang menyebabkan itu terjadi, di mana ia memanipulasi kisah Malang Sumirang yang dibacakannya kepada sang raja sehingga Sumirang terkesan sebagai seorang pendobrak aturan dan kurang ajar.
Benarlah yang diungkapkan Romo Magnis-Suseno bahwa lawan utama Goenawan adalah pemikiran monodimensional. Dengan mengangkat kisah tersebut, Goenawan menunjukkan ia berpikiran terbuka dan liberal; betapa baginya kitab suci seringkali dianggap sebagai rumusan hukum yang konsep-konsepnya berlaku umum. âPada dasarnya orang yang berpikir secara legalistis lebih menerima keagamaan sebagai struktur sosial, dengan semangat untuk mengukuhkan konsolidasi terus-menerus,â ujar Goenawan.
Pidato penerimaan ditutup dengan pertunjukan tari yang memukau penonton dengan terbangnya burung gereja. [Azis Pratama, Dewi Kharisma Michellia]