Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di...
Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi
Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung
Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas...
Program MBG Timbulkan Keracunan Massal, Ibu-Ibu Gelar Aksi
Ruang-Ruang Untuk Kami
Diskusi Film DEMO(k)RAS(i) Ungkap Ketidakadilan Iklim oleh Pemerintah
BARA ADIL Lakukan Siaran Pers, Ungkap Catatan Penangkapan...
Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!
Polisi Tidur

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
EDISI SPESIAL HUT BAL KE-40INSAN WAWASAN

Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi

Oktober 12, 2025

©Adit/Bal

Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) telah memadamkan gerakan mahasiswa dan menciptakan kekosongan perlawanan, tak terkecuali pascapembubaran Dewan Mahasiswa (DEMA) dan pembredelan majalah Gelora Mahasiswa milik para mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam kekosongan inilah BALAIRUNG hadir sebagai salah satu pilar baru. Lebih dari sekedar wadah tulis-menulis, BALAIRUNG sebagai pers mahasiswa hadir untuk menyemarakkan kembali kehidupan kampus yang sempat bungkam. Semangat ini sejalan dengan motto BALAIRUNG sebagai “nafas intelektualitas mahasiswa”.

Meskipun lahir dari semangat perlawanan, kondisi represif era Orde Baru memaksa langkah awal BALAIRUNG dengan kehati-hatian.  Namun, seiring dengan sedikit terbukanya ruang politik, gerakan ini menemukan momentum untuk melakukan konsolidasi lanjutan. BALAIRUNG menyikapinya dengan secara aktif merintis ruang intelektual dan menjadi simpul konsolidasi bagi gerakan mahasiswa. Untuk mendalami proses “nafas intelektual mahasiswa” dihembuskan hingga menjadi fondasi bagi kebangkitan gerakan mahasiswa pada masa itu, BALAIRUNG mewawancarai Didik Supriyanto, Pemimpin Redaksi BALAIRUNG periode 1990. Ia memaparkan kondisi serta tantangan pers mahasiswa di tengah tekanan rezim. Berikut hasil wawancaranya. 

Era 1990-an sering disebut sebagai periode kritis pers mahasiswa di bawah represi Orde Baru. Bisa jelaskan awal mula konsolidasi gerakan mahasiswa dan pers mahasiswa pada masa itu?

Sudah sejak 1979 keberanian dan daya kritis mahasiswa itu turun. Karena enggak ada organisasi, enggak ada pengorganisasiannya. DEMA  dibubarkan, pers mahasiswa dibubarkan, yang ada hanya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Nah suasana saat itu, karena di kampus pada takut, mahasiswa-mahasiswa yang kritis itu membentuk kelompok studi.  Kemudian pers mahasiswa datang tahun 1985 akhir. Itu permulaan cerita BALAIRUNG, ‘kan. Kemudian tahun 1986–1987 gerakan mahasiswa mulai membangun jaringan, awalnya jaringan bersama pers mahasiswa. 

Jadi ketika mahasiswa sudah enggak berani apa-apa, menyatu lah ini komunikasinya antara kelompok studi yang bisa ngomongin politik dan punya daya kritis, bersama dengan yang bisa nulis macam-macam yaitu anak-anak pers mahasiswa. Kalau di UGM yang mengawali itu, anak-anak pers mahasiswa. Di fakultas, gerakannya yang paling kencang itu, misalnya, Fakultas Filsafat. Terus, dibesarin di level UGM, ada yang namanya kegiatan Mimbar Bebas.

Bagaimana suasana yang melatarbelakangi munculnya kesadaran untuk membangkitkan gerakan mahasiswa saat itu?

Ya takutlah. Pada masa itu baca buku aja ditangkap. Bayangkan, waktu itu ada tiga Mahasiswa Sosiologi yang ditangkap polisi karena menyebarkan bukunya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Dia ditangkap kemudian diadili. Di proses peradilan itu ada demo besar di Jogja. Pesertanya kurang lebih lima ratus orang. Namun, ditindas betul demonstrasi itu, sampai digebukin. Waktu itu keras sekali, mereka pada lari. Salah satu tempat sembunyi mereka itu di B-21. Saya juga kaget, saya tahu akan ada demo cuman enggak ngerti kalau akan ditindak sekeras itu. 

Kemudian setelah itu mereda lagi, gerakan mahasiswa mereda karena takut juga. Lalu ada suasana subjektif, di mana mahasiswa mulai berani menyuarakan, mengkritisi pemerintah karena ada beban historis. Ini yang khas dari Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Mulai dari Sumpah Pemuda, kemudian Revolusi Pemuda, Soekarno diculik oleh anak-anak muda dibawa ke Rengasdengklok. Perubahan-perubahan besar itu dimotori anak-anak muda. Jadi itu khas Indonesia. Perubahan-perubahan besar itu selalu dimotori oleh mahasiswa.

Seberapa besar kontribusi BALAIRUNG dan pers mahasiswa terhadap bangkitnya gerakan mahasiswa saat itu?

BALAIRUNG itu ngumpulin orang-orang kritis di kampus, karena ada diskusi, ada nulis, dan sering ketemu. BALAIRUNG itu kan tempatnya di Gelanggang, jadi anak-anak [aktivis–red] yang tadinya keluar dari kampus, sudah berani masuk kampus lagi karena ada temannya yaitu BALAIRUNG.

Dalam bahasa saya, “daya kritis” itu disebarluaskan tidak hanya melalui tulisan, yang itu sebetulnya jarang sekali terbit, karena BALAIRUNG ‘kan enam bulan sekali baru terbit. Maunya sih bulanan, tetapi prakteknya enam bulan sekali baru terbit. Namun yang terpenting adalah interaksi langsung. Biasanya, lewat diskusi dua mingguan. 

Jadi diskusi dua mingguan itu isinya ngumpulin, membawa kembali anak-anak kritis, baik yang ada di kelompok studi maupun di fakultas untuk datang ke Gelanggang. Juga mengundang mahasiswa dan dosen yang lagi top. Kadang-kadang topiknya enggak penting. Yang penting setelah diskusi itu interaksi. Ngobrol, ngompor-ngomporin, saling memanasi. Bahkan, dulu juga ada arena pelatihan pers mahasiswa, itu semacam pelatihan jurnalistik mahasiswa yang mengumpulkan para aktivis seluruh daerah di Indonesia. 

Mimbar Bebas juga yang memfasilitasi di Gelanggang itu BALAIRUNG dan anak pers mahasiswa. Karena Dewan Mahasiswa enggak ada, Senat Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa juga enggak ada. Cerita itu besar sekali, karena dari orang [yang awalnya-red] enggak berani, menjadi berani. 

Bagaimana peran Mimbar Bebas dalam membangun kembali keberanian mahasiswa setelah pembungkaman kampus pasca NKK/BKK?

Jadi Mimbar Bebas itulah tempat latihan untuk mahasiswa bergeming. Awalnya Mimbar Bebas itu ada di fakultas. Dulu yang menonjol ada di Fakultas Filsafat. Namun karena Filsafat itu fakultas kecil, maka enggak banyak gemanya. Kemudian BALAIRUNG bikin yang serupa di Gelanggang. Jadi, kita ngumpulin dan membawa kembali anak-anak kritis, baik yang di kelompok studi maupun yang di fakultas untuk datang ke Gelanggang.

Mimbar Bebas itu awalnya baca puisi dan main gitar-gitaran. Lama-lama maki-maki pemerintah. Tapi, belum bahas Soeharto, waktu itu belum berani. Setelah itu, 1987–1988 mulai keluar kampus. Waktu itu ada isu soal wisata, “Jogja sadar wisata”. Terus, ada kasus-kasus di tempat-tempat lain, seperti kasus penggusuran petani Cimacan untuk lahan golf, kemudian puncaknya di Jawa Tengah ada kasus Kedung Ombo. 

Setelahnya, mulailah jaringan nasional terbentuk. Jadi pers mahasiswa yang menghubungkan itu. Kemudian tahun baru 1989 itu ada perkemahan mahasiswa di Parangtritis. Yang hadir aktivis-aktivis mahasiswa mulai dari UNBRA (Universitas Brawijaya), ITB (Insititut Teknologi Bandung), UI (Universitas Indonesia), UGM, UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret), dan lain-lain. Dari situlah kemudian muncul jaringan nasional terbentuk sehingga mulai sering muncul demo-demo.

Apa arti pers mahasiswa pada saat itu, dibandingkan dengan pers arus utama?

Pers mahasiswa itu hadir, satu, untuk menampung ide-ide kritis dan menyebarkan daya kritis. Yang kedua, jadi fasilitator. Itu karena satu, dia memiliki pengetahuan yang cukup, kedua, dia enggak memiliki masalah ekonomi. Enggak punya anak, enggak punya istri, demo ya demo saja. Kalau saya sudah punya anak, punya istri, punya cucu. Kalau mau demo kan mikir. Kalau kalian enggak. Kemudian, ada satu sisi untuk melihat sejauh mana daya kritis mahasiswa itu. Pertama bisa kita lihat dari tulisan-tulisannya. Namun yang enggak kalah penting adalah bagaimana pers mahasiswa membangun jaringan. Jaringan inilah yang kemudian memunculkan keberanian.

Jadi jangan hanya dilihat pers mahasiswa itu dari sisi produknya. Di situ hanya kita lihat pikiran mahasiswa itu kayak apa, bagaimana dia melihat negara, bagaimana dia melihat masalah politik, masalah nasional, dan masalah kerakyatan. Itu semua bisa dilihat dari artikel-artikelnya. Namun, kegiatan konkretnya interaksi. Interaksi ini yang membuat mereka berani. Dalam bentuk diskusi dua mingguan. Jadi pers mahasiswa itu sebetulnya bukan hanya medianya, medianya hanya titik tolak saja.

Penulis: Dicky Dharma
Penyunting:
Aghli Maula
Ilustrator:
Aditya Nugroho

1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

Hajriansyah: Seni Realisme Revolusioner Lukiskan Semangat Perlawanan Rakyat

Muhidin M. Dahlan: Ekosistem Aktivis Pengaruhi Disorientasi Aktivisme

Henke Yunkins: Penggunaan AI Tanpa Regulasi Ancam Pekerja...

Muhammad Karim: Ekspor Pasir Laut Rugikan Nelayan dan...

Edi Dwi Atmaja: Ketidakjelasan Penanganan Konflik Monyet Ekor...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di Magelang

    Oktober 12, 2025
  • Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi

    Oktober 12, 2025
  • Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

    Oktober 8, 2025
  • Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas Nusakambangan

    September 30, 2025
  • Program MBG Timbulkan Keracunan Massal, Ibu-Ibu Gelar Aksi

    September 30, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM