Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung
Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas...
Program MBG Timbulkan Keracunan Massal, Ibu-Ibu Gelar Aksi
Ruang-Ruang Untuk Kami
Diskusi Film DEMO(k)RAS(i) Ungkap Ketidakadilan Iklim oleh Pemerintah
BARA ADIL Lakukan Siaran Pers, Ungkap Catatan Penangkapan...
Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!
Polisi Tidur
Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil
Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
EDISI SPESIAL HUT BAL KE-40INSAN WAWASAN

Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

Oktober 8, 2025
©Hadrian/Bal

©Hadrian/Bal

Pers mahasiswa telah menorehkan sejarah panjang dalam dinamika pemikiran bangsa. Berbekal idealisme, peran mahasiswa dalam menyuarakan kritik tajam terhadap realitas sosial dan politik senantiasa  menawarkan sudut pandang alternatif. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), semangat itu tersemat kuat dalam kelahiran Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) BALAIRUNG. Keberadaannya bak menghidupkan kembali “Nafas Intelektual Mahasiswa” pasca-penerapan regulasi Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Pembatasan ketat pada gerakan mahasiswa dan pembredelan media waktu itu nyaris memadamkan gairah berdinamika mahasiswa. 

Lahirnya BALAIRUNG, yang ditandai dengan bersatunya pers mahasiswa tingkat fakultas pada Seminar Orientasi Pers Mahasiswa se-UGM 29 Oktober 1985, adalah sebuah upaya  untuk menggemakan kembali suara yang dibungkam di era Orde Baru. Kini, 40 tahun berselang sejak pendiriannya, BALAIRUNG tetap konsisten menyajikan gagasan kritis di tengah pusaran keberlimpahan informasi dari media arus utama. Untuk menilik kembali orientasi awal yang jadi tumpuannya, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Abdulhamid Dipopramono, salah satu pendiri sekaligus pemimpin umum pertama lembaga ini. Abdulhamid, setelah lulus dari UGM, kemudian berkarier di dunia media dan pemerintahan adalah saksi sejarah kelahiran BALAIRUNG. Simak wawancaranya berikut ini!

Sebelum pendirian BALAIRUNG, kondisi penerbitan dan pers mahasiswa sempat mandek di bawah rezim Soeharto. Bagaimana pandangan Anda terkait kondisi penerbitan dan pers mahasiswa pada waktu itu?

Pada tahun itu, ada pembredelan koran mahasiswa di beberapa universitas besar. Di UI, Salemba, kemudian di ITB, Kampus, dan di UGM itu Gelora Mahasiswa. Peristiwa ini terjadi ketika penerapan NKK/BKK sekitar tahun 1977–1978. Akhirnya enggak ada yang berani mengkritik, takut. Jadi, setelah NKK/BKK, menurut saya itu ada sisi positif dan negatif, yaitu mahasiswa diminta untuk berpikir dan riset, tetapi ternyata tidak ada kepedulian sosial.

Setelah pembredelan itu juga tidak ada penerbitan di tingkat universitas. Namun, di fakultas dan jurusan itu hidup dengan bentuk bukan koran, bukan tabloid, tetapi majalah. Meskipun begitu, sifatnya masih fakultas dan jurusan, jadi [isunya-red] teknis urusan disiplin ilmu masing-masing. Jadi semua fakultas itu jalan sendiri aktivitasnya, termasuk pers mahasiswanya. Karena waktu itu yang hidup hanya memang pers mahasiswa, karena kan praktis organisasi ekstra itu sudah dimatikan karena pada waktu itu situasi di kemahasiswaan dingin. Padahal, di kondisi itu banyak hal yang harus dikritisi oleh mahasiswa. Di tingkat universitas juga enggak ada media penerbitan, ini masalahnya karena tidak ada forum yang mempersatukan atau mengkomunikasikan antarmahasiswa di semua fakultas.

Kondisi apa yang menandai kesadaran teman-teman penerbitan dan pers mahasiswa di fakultas sehingga selanjutnya mencanangkan pers tingkat universitas?

Waktu itu suasananya masih represif, masih ada penangkapan aktivis. Kondisinya sangat represif, sementara banyak persoalan bangsa yang perlu disuarakan utamanya lewat kebersamaan antarfakultas di Universitas Gadjah Mada. Jadi suaranya itu kalau hanya diwakili fakultas enggak kuat dan sangat parsial sesuai disiplin ilmunya, makanya perlu suara yang bersifat tingkat universitas.

Dengan begitu, kebetulan saya waktu itu bertanya, “Loh kenapa tidak ada pers mahasiswa di tingkat universitas?” Toh beberapa [pers mahasiswa–red] di fakultas sudah lahir juga. Cuma, waktu itu memang sulit karena sebelum kita berniat melakukan seminar “Orientasi Pers Mahasiswa” pada 29 Oktober itu, ada beberapa kelompok mahasiswa yang sudah mengajukan [pembentukan pers mahasiswa tingkat universitas–red] ke Pak Jacob [Rektor UGM periode 1981-1986–red], tetapi tidak disetujui. Itu saya tahu dari Pak Jacob sendiri, bahkan ada yang sudah diberi uang lumayan untuk bikin media tingkat universitas, tetapi tidak jadi barang.

Kemudian, waktu itu saya masih Pemimpin Umum Clapeyron (Pers mahasiswa Departemen Teknik Sipil UGM) periode 1983–1985, akhirnya ngobrol secara informal bersama teman-teman fakultas. Intinya bagaimana kalau Clapeyron itu memimpin sebuah deklarasi atau permohonan untuk mendirikan pers mahasiswa. Kemudian saya rapat di internal Clapeyron, akhirnya kita membuat seminar di University Club UGM waktu itu. Memang semua biaya oleh Clapeyron. Kita mengundang semua pimpinan pers mahasiswa, waktu itu semacam majalah fakultas dan jurusan. Nah itulah seminar tentang orientasi pers mahasiswa. Masing-masing mahasiswa membawa paper tentang sosok atau format pers mahasiswa yang mereka inginkan. Setelah diskusi panjang, akhirnya muncul keinginan untuk menerbitkan pers mahasiswa di tingkat universitas.

Bagaimana orientasi awal dan cita-cita pers mahasiswa ideal yang dicanangkan BALAIRUNG pada waktu itu?

Argumentasinya karena pertama, vakum. Pers mahasiswa waktu itu vakum dari gerakan politik karena semuanya dimatikan. Yang kedua itu terkait format. Bentuk majalah itu hanya merupakan strategi, konten nanti bisa dipikirkan. Kita secara bertahap bertujuan memanaskan pers mahasiswa Gajah Mada, memanaskan Indonesia. Itu targetnya. Maka kita keliling Indonesia ketika itu dengan pers mahasiswa daerah. 

Waktu itu, saya berpikir bahwa yang penting kita punya wadah pertemuan di tengah universitas. Soal nanti kita isi apa, lihat situasi, lihat tantangan yang ada. Mungkin pertama isu industrialisasi, kedua isu moral dan seterusnya. Kalau terkait cita-cita itu sederhana. Pertama, keprihatinan nasional. [Kondisi–red] politiknya enggak bagus, represif, kemudian partainya juga waktu itu cuma ada tiga partai dalam kendali satu orang. Dan yang juga enggak kalah penting itu ada forum bertemu sehingga dari tinjauan interdisiplin dan multidisiplin kita wadahi di media kita. 

Bagaimana diskusi awal pembuatan Majalah BALAIRUNG edisi pertama? Mengapa Industrialisasi Khas Indonesia dan Partisipasi Sosial Mahasiswa yang diangkat menjadi tema?

Isu industrialisasi karena kita memang cari topik-topik yang soft dahulu. Ini merupakan sebuah strategi untuk mencari topik-topik yang soft, bahwa nanti kemudian kita lari ke hal yang hard, seperti isu politik. Pada akhirnya akan kesana.

Tantangan apa saja yang terdapat pada awal pendirian BALAIRUNG dan bagaimana teman-teman pengurus menanggulanginya?

[Diskusi pertama-red] dengan Pak Jacob, kita tawar-menawar yang pada awalnya tidak diperbolehkan berbentuk koran atau tabloid, istilahnya negosiasi. Akhirnya rektor oke, “Saya mengizinkan ada pers mahasiswa [di tingkat universitas–red], Tapi saya punya syarat, majalah.” Kita juga oke untuk buat majalah, asalkan kita nanti dipimpin oleh mahasiswa. Akhirnya setelah itu melanjutkan ke penamaan yang bisa menyatukan. Kita tadinya memilih nama yang agak panas–nama-nama panas kayak “Pers Mahasiswa”, “Gelora Mahasiswa”—tetapi enggak disetujui terus terang sama rektor karena suasananya masih represif. 

Bahkan, ketika membuat seminar itu, saya diteror. Sebagai Pemimpin Umum Clapeyron, saya diteror dari teman-teman organisasi ekstra kampus untuk seminar tidak dilaksanakan. Enggak tahu ya motifnya. Diteror dari polisi juga, ditelpon meminta untuk digagalkan. Karena kita mengumpulkan pimpinan pers mahasiswa Universitas Gadjah Mada kan bukan sembarangan. Pada akhirnya, hambatan-hambatan tersebut sudah bisa kita lewati.

Pada akhirnya, kita disetujui mengajukan nama BALAIRUNG oleh rektor. Kemudian rektor mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang penerbitan majalah. Tapi rektor enggak ngasih duit. Padahal waktu seminar itu sudah full pembiayaan dari kita. Penerbitan juga enggak dikasih pembiayaan. Akhirnya saya bawa alat tulis dari Clapeyron, Thariq (Pemimpin Redaksi Sintesa, pers mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM) bawa mesin ketik, kita urunan sampai akhirnya bisa terbit edisi pertama pada 8 Januari 1986 ketika pelantikan Rektor UGM, Koesnadi Hardjasoemantri, oleh Menteri Pendidikan sehingga sekalian kita perkenalkan kepada hadirin. 

Setelah itu, siang agak sore saya dipanggil Pak Koesnadi ke ruangannya. Begitu datang, BALAIRUNG dinyatakan dibredel dan penerbitan harus dihentikan. Alasan Pak Koesnadi membredel itu karena kita enggak punya Surat Tanda Terdaftar (STT) bagi penerbit khusus dari Departemen Penerangan. “Saudara harus hentikan penerbitan sampai mendapatkan STT. Saya ini orang hukum,” alasannya begitu. Tetapi sebenarnya kan rektor takut saja, takut enggak terkendali. Karena kita waktu itu mensyaratkan pemimpin umum, pemimpin redaksi, pemimpin perusahaan itu dari mahasiswa. 

Apabila menengok ke belakang, menurut Anda apa keputusan awal paling visioner yang masih relevan hingga kini tentang pendirian BALAIRUNG? Dan sebaliknya, apa keputusan yang jika bisa diulang, akan Anda ubah tentang BALAIRUNG?

Dulu gagasan kita itu fokus pada hal-hal yang mendasar. Nah, makanya ada kolom untuk berita yang ecek-ecek, berita pop, ada juga berita kritik. Sesekali kita bikin laporan khusus sebagai laporan utama dengan ide yang besar-besar, merespon situasi politik ketika itu. Tetapi, main concept-nya kita tetap gagasan besar. Sekarang kan lebih bebas, platform-nya itu bisa website, nanti mungkin bikin video Youtube, bikin podcast itu bisa efektif. Tetapi BALAIRUNG tetap ada untuk gagasan-gagasan yang besar. 

Kalau dahulu enggak [memiliki visi mendirikan BALAIRUNG–red], hari-hari ini kita dididik secara teknis. Mahasiswa budaya membahas budaya tok, mahasiswa teknik membahas teknik tok, mahasiswa komunikasi bahas komunikasi tok. Padahal bangsa ini harus digagas orang yang punya penguasaan multidisiplin. Jadi saya enggak akan mengubah keputusan. Soal visi saya enggak berubah. 

Apabila BALAIRUNG tidak lahir, menurut Anda bagaimana wajah pers mahasiswa UGM saat ini?

Mungkin pikiran orang masih menuntut tabloid yang enggak kelar-kelar. Enggak bisa menjebol barrier. Yang BALAIRUNG jebol itu adalah benteng kejumudan perdebatan konsep bahwa pers mahasiswa itu harus tabloid, bahwa isi pers mahasiswa harus politik. Kan enggak begitu. Politik harus dipikir secara mendalam, gagasan besar. Orang asik dengan fakultas masing-masing, dan itu didukung oleh kondisi zaman, dimana [orang-red] enggak punya kepedulian apa-apa. Akhirnya orang makin lupa tentang perlunya wadah media di universitas. Jadi putusan pendirian BALAIRUNG itu enggak keliru, sudah paling tepat, dan terbukti sampai hari ini.

Penulis: Athalah Adinata
Penyunting: Laura Anisa
Ilustrator: Hadrian Galang

3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Hajriansyah: Seni Realisme Revolusioner Lukiskan Semangat Perlawanan Rakyat

Muhidin M. Dahlan: Ekosistem Aktivis Pengaruhi Disorientasi Aktivisme

Henke Yunkins: Penggunaan AI Tanpa Regulasi Ancam Pekerja...

Muhammad Karim: Ekspor Pasir Laut Rugikan Nelayan dan...

Edi Dwi Atmaja: Ketidakjelasan Penanganan Konflik Monyet Ekor...

Meila Nurul Fajriah: Hambatan Paling Besar Para Pembela...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

    Oktober 8, 2025
  • Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas Nusakambangan

    September 30, 2025
  • Program MBG Timbulkan Keracunan Massal, Ibu-Ibu Gelar Aksi

    September 30, 2025
  • Ruang-Ruang Untuk Kami

    September 23, 2025
  • Diskusi Film DEMO(k)RAS(i) Ungkap Ketidakadilan Iklim oleh Pemerintah

    September 20, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM