Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!
Polisi Tidur
Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil
Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas
Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi...
Jerit Masyarakat Adat Papua dalam Jerat Kerja Paksa...
Konservasi yang Tak Manusiawi
Anggaran Serampangan
Diskusi Serikat Pekerja Kampus, Soroti Ketidakjelasan Proses Etik...
Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
OPINI

Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!

September 9, 2025

©Niswah/Bal

Di jalanan Jakarta, di bawah cahaya lampu kota yang redup oleh gas air mata, kawan kita Affan Kurniawan harus kehilangan nyawanya. Tubuhnya yang seharusnya pulang membawa rezeki, entah mengapa harus hancur dilindas rantis Brimob (Brigade Mobil). Ia bukanlah provokator, apalagi musuh negara. Ia hanyalah seorang pengemudi ojek online yang masih berusia 21 tahun yang menyuarakan haknya. Namun sejak malam itu, tubuhnya telah berubah menjadi catatan getir dalam kalimat panjang sejarah kekerasan negara.

Ternyata, ia bukan satu-satunya. Dari Bandung hingga Makassar, dari Medan sampai Yogyakarta, para aparat ini tetap melaksanakan aksinya, dengan menembakkan gas air mata, pentungan mendarat di kepala pelajar, atau para jurnalis yang dihantam sebelum sempat merekam, bahkan sampai menyusup ke ruang-ruang kampus. Komnas HAM melaporkan, sudah lebih dari 1600 orang ditangkap polisi selama demonstrasi di Jakarta, sembilan di antaranya tak akan pernah kembali lagi ke rumah. Bahkan kata “kekerasan aparat” pun masih terdengar terlalu lunak untuk menggambarkan brutalitas yang mengalirkan darah di jalan-jalan kita. Ironisnya, setelah banyak nyawa sipil yang gugur, Presiden Prabowo justru memberikan kenaikan pangkat luar biasa bagi aparat yang terluka saat mengamankan demonstrasi.

Seperti pementasan yang sudah dihafal di luar kepala, muncullah narasi yang rasanya memang sudah disiapkan dalam keadaan seperti ini. Narasi bahwa aparat pun juga manusia bertebaran di mana-mana, “ingat, aparat juga manusia; mereka juga punya keluarga; mereka hanya menjalankan perintah.” 

Seperti itulah pola dongeng lama itu bekerja. Tiap kali para aparat ini melakukan kekerasan terhadap rakyat, banyak poster maupun postingan di media sosial menyuguhkan kisah serupa; mereka ditampilkan bukan lagi sebagai tangan besi kekerasan negara, melainkan sebagai sosok ayah yang ditunggu anaknya; sebagai suami yang bekerja untuk keluarganya; sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Seakan narasi ini adalah upaya untuk menutup luka sipil dengan tirai empati. Menggiring untuk menukar kritik struktural dengan air mata keluarga aparat.

 

Padahal sudah sangat jelas, bahwa seragam yang mereka kenakan bukanlah sekedar kain biasa. Seragam itu akan menyulap manusia biasa menjadi senjata negara. Pentungan yang diayunkan bukanlah kehendak pribadi, melainkan perintah institusi. Gas air mata yang ditembakkan bukanlah luapan emosi, tetapi kecemasan kekuasaan. Di hadapan rakyat yang tak bersenjata, aparat bukan lagi manusia biasa yang setara. Mereka adalah alat pukul kekerasan negara dengan senjata di tangan dan hukum di belakang.

Situasi ini membuat saya teringat dengan pemikiran Giorgio Agamben (2017), bahwa kondisi seperti inilah gambaran dari state of exception, sebuah keadaan ketika hukum tidak benar-benar berlaku, tetapi juga tidak sepenuhnya absen. Di ruang abu-abu inilah aparat bekerja. Para demonstran atau warga sipil dapat berubah menjadi subjek yang boleh dilukai tanpa adanya perlindungan hukum (bare life). Dalam konteks hari ini, kekerasan tidak hanya bisa dianggap sebagai bentuk penyimpangan hukum karena keadaan darurat atau sekadar bentuk kekhilafan aparat, tetapi harus dibaca sebagai strategi ulung keamanan yang digunakan di negara ini.

 Dalam esainya, Agamben (1991) bahkan secara gamblang menjelaskan bahwa aparat negara tidak hanya menjalankan hukum, melainkan mereka pula lah yang dapat memutuskan kapan hukum dapat ditegakkan dan kapan ditangguhkan. Para aparat ini selalu berada di antara garis batas antara tindakan legal dan ekstra-legal. Mereka adalah sosok yang meneguhkan bahwa kedaulatan negara bukan hanya berada teks undang-undang, tetapi juga di tubuh seragam yang memegang pentungan dan senjata.

Oleh karena itu, narasi bahwa aparat juga manusia sesungguhnya bukan suara yang berasal dari hati nurani seorang manusia, melainkan hanyalah sebuah propaganda yang ingin dimainkan oleh penguasa. Narasi ini sesungguhnya ingin menipu kita dengan rasa kasihan yang awalnya terfokus pada rakyat yang berdarah, beralih ke aparat yang digambarkan sebagai martir. 

Sesungguhnya dongeng ini bukan cerita baru. Pada saat Reformasi 1998, ketika mahasiswa ditembak di Trisakti dan Semanggi, aparat melabeli kekejiannya dengan “hanya menjalankan tugas.” Di Papua, ketika warga sipil menjadi korban, TNI hanya menyebutnya sebagai kesalahan dari segelintir anggotanya. Kini, ketika darah mengalir di Jakarta, Makassar, Yogyakarta, dan kota-kota lain, selalu ada narasi untuk bersimpati kepada para aparat. Dua puluh tujuh tahun tahun telah berlalu, tetapi dongengnya tetap sama. Aparat tak pernah benar-benar berbenah, hanya narasinya saja yang dipoles ulang.

Kita harus jujur pada diri sendiri. Narasi ini adalah jebakan bagi memori kolektif rakyat. Ia membuat kita lupa, menjinakkan amarah, bahkan paling bahayanya, adalah menormalisasi kekerasan. Jika setiap aparat melakukan kekerasan lalu ditutup dengan dongeng bahwa “aparat juga manusia”, maka tragedi tidak akan pernah berujung pada perubahan.

Menolak narasi palsu ini bukan berarti kita menafikan bahwa seorang aparat juga punya keluarga maupun perasaan. Tetapi kita ingin menegaskan bahwa ketika seragam dikenakan maka kekuasaanlah yang mengambil alihnya. Dan demi kemanusiaan itu sendiri, kita harus berhenti memperlakukannya sebagai “manusia biasa” yang sepadan dengan rakyat tak bersenjata. Pada akhirnya, meninggal saat bertugas adalah resiko saat memilih menjadi aparat. Tetapi mati dibunuh oleh aparat seharusnya bukanlah pilihan bagi masyarakat Indonesia.

Penulis: Reyhan Jauza Dani Firmansyah
Penyunting: Ahmad Arinal Haq
Ilustrator: Hawa Muzayyinah Niswah

Daftar Pustaka

Agamben, Giorgio. 1991. “Sovereign Police.” https://theanarchistlibrary.org/library/giorgio-agamben-sovereign-police.pdf.

Agamben, Giorgio. 2017. The Omnibus Homo Sacer. California: Stanford University Press.

Azzahra, Nabiila, and Linda Trianita. n.d. “Komnas HAM: 1.683 Orang Ditangkap Polisi Selama Demonstrasi Di Jakarta.” PT Tempo Inti Media. Accessed September 3, 2025. https://www.tempo.co/hukum/komnas-ham-1-683-orang-ditangkap-polisi-selama-demonstrasi-di-jakarta-2065688.

Kompas, Tim Harian. 2024. “TNI Minta Maaf Soal Penyiksaan Terhadap KKB Di Papua.” Kompas.Id. March 25, 2024. https://www.kompas.id/artikel/tni-minta-maaf-soal-penyiksaan-kkb-di-papua.

Prabowo, Dani. 2025. “Prabowo Minta Polisi Terluka Naik Pangkat, Kapolri: Mereka Bekerja Keras.” Kompas.Com, September 1, 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/09/02/06082151/prabowo-minta-polisi-terluka-naik-pangkat-kapolri-mereka-bekerja-keras.

Saputra, Eka Yudha, and Juli Hantoro. n.d. “Prabowo: Kadang-Kadang Polisi Khilaf.” PT Tempo Inti Media. Accessed September 3, 2025. https://www.tempo.co/politik/prabowo-kadang-kadang-polisi-khilaf-2065587.

Setiawanty, Intan, and Linda Trianita. n.d. “Affan Kurniawan Tewas Dilindas Mobil Brimob Karena Terjatuh Saat Ambil Ponsel.” PT Tempo Inti Media. Accessed September 3, 2025. https://www.tempo.co/hukum/affan-kurniawan-tewas-dilindas-mobil-brimob-karena-terjatuh-saat-ambil-ponsel-2064656.

3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Anggaran Serampangan

Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

Karut-Marut Sistem KIP-Kuliah

Narasi Abal-Abal Hari Besar Nasional

Menjaga Nyala Pers Mahasiswa

Jangan Takut Referendum KM UGM

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!

    September 9, 2025
  • Polisi Tidur

    September 6, 2025
  • Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil

    September 5, 2025
  • Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas

    September 3, 2025
  • Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi Pemukiman Warga

    September 2, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM