Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Memaknai Keheningan dalam Gelar Wicara Pameran Capturing Silence

November 9, 2023

©Natasya/Bal

Minggu (05-11), Mizuma Art Gallery mengadakan gelar wicara sebagai rangkaian terakhir dari pameran seni Capturing Silence yang telah diselenggarakan sejak 6 Oktober hingga 5 November 2023. Bertempat di Jogja National Museum, gelar wicara tersebut menghadirkan tiga narasumber, yakni Albert Yonathan Setyawan selaku seniman sekaligus inisiator pameran, Loredana Pazzini-Paracciani sebagai kurator, dan Nurdian Ichsan sebagai penulis pameran. Adapun tujuan dari pameran tersebut ialah untuk mengontekstualisasikan kembali praktik karya seni Setyawan melalui perspektif fenomenologi dan kajian imajinasi material.

Dikutip dari rilis pers yang dibagikan oleh Mizuma Art Gallery, Setyawan tidak memaknai silence atau keheningan sebagai ketidakhadiran suara atau ucapan. “Hening” merujuk kepada gambaran puitis untuk memahami bahwa dunia bukanlah sekadar objek dari pengamatan rasional kita semata. Akan tetapi, dunia juga sebagai perwujudan pengalaman hidup di mana kita merupakan bagian di dalamnya.

Salah satu konsep karya Setyawan yang cukup menjadi sorotan pada gelar wicara kali ini adalah The Mandala. Adapun “Mandala” merupakan simbol suci dalam agama Buddha yang berbentuk lingkaran dan digunakan sebagai instrumen dalam meditasi dan pelaksanaan upacara suci. Diadopsinya konsep The Mandala kemudian membuat Setyawan dikenal dengan ciri khas karya keramiknya yang memiliki pola berulang dengan jarak yang sempit. “Mandala itu seperti masuk ke dalam kosmos, menunjukkan detail komponen-komponen kecil yang membangun kosmos itu sendiri,” jelas Setyawan.

Penggunaan konsep The Mandala dalam karya Setyawan nampak pada “Helios”, sebuah karya dari keramik yang berbahan dasar clay (tanah liat). Karya tersebut menempel di salah satu dinding dalam ruangan pameran yang juga menjadi latar pada gelar wicara ini. Untuk menyelesaikan instalasinya, Setyawan mengaku membutuhkan waktu selama berbulan-bulan. Ia menyebutkan, “Aktivitas itu begitu statis dan itu memberi saya banyak waktu untuk berpikir. Saya rasa, itulah masa paling kreatif.” Setyawan juga mengungkapkan bahwa penginstalan karya tersebut memerlukan kalkulasi matematika karena ukuran dinding yang digunakan untuk memasang “Helios” selalu berubah-ubah sehingga membutuhkan eksperimen agar penginstalannya cocok. 

Lebih lanjut, Setyawan menuturkan alasan ia memilih keramik sebagai media utama dalam pembuatan karyanya. Ia menyebut bahwa keterlibatan seluruh tubuh pada konsistensi gerakan pinching dan coiling sebagai metode dasar pembentukan keramik dari tanah liat merupakan keteraturan seperti gerakan rutin dalam keseharian. “Setiap saya memikirkan clay, saya teringat dengan body atau tubuh,” tuturnya. 

Selain itu, Setyawan juga membenarkan pernyataan Loredana yang menyebut bahwa karya-karya dalam pameran ini juga menggunakan wujud-wujud antropomorfik. Maksud dari antropomorfik adalah gambar atau benda yang bentuknya menyerupai manusia dan biasanya berbentuk abstrak, tetapi masih memperlihatkan unsur bagian tubuh manusia. Dengan menggunakan wujud antropomorfik, Setyawan menyebut bahwa ia ingin membicarakan manusia tanpa menunjukkan gambar manusia. “Penampilan potongan-potongan hal yang berhubungan dengan tangan, mata, flaw, dan lainnya. Jadi, saya selalu seperti tidak ingin menunjukkan bentuk manusia,” ungkap Setyawan. Menurutnya, kemanusiaan dapat ditempatkan atau ditemukan di luar diri kita.

Pada sesi tanya jawab, salah satu audiens mengajukan pertanyaan tentang cara Setyawan dalam melakukan pemilihan warna ketika proses pembuatan karya keramik. Ia dengan jelas mengatakan bahwa tidak ada alasan khusus dalam pemilihan warna. Namun, untuk alasan konseptual, pemilihan warna bergantung pada jenis karya. “Ketika anda melihat sesuatu yang berwarna-warni pada benda dua dimensi, itu tidak masalah. Namun pada benda tiga dimensi, warna seperti menghalangi kita untuk melihat bentuknya,” ungkap Setyawan. 

Lebih lanjut, Setyawan mengatakan, “Saya kira, banyak warna pada karya saya yang datang dari material atau bahan pembuatannya itu sendiri.” Oleh karena itu, untuk karya keramiknya, Setyawan cenderung menggunakan warna-warna monokromatik atau warna asli material agar tidak terlalu banyak lapisan yang membatasi karya. 

Setyawan juga mengungkapkan bahwa ia tidak ingin membebankan arti di balik karya-karyanya kepada audiens pameran. Oleh karena itu, disediakan tulisan yang dapat menjelaskan karya-karyanya tersebut. Loredana dan Ichsan menjadi penulis yang menyediakan tulisan pada pameran ini. Ichsan mengaku bahwa tulisan yang ia tulis memiliki kesamaan dengan tulisan Loredana. “Riset Loredana sangat mengejutkan saya karena aspek performativitas yang terdapat pada tulisannya sangat mirip dengan yang ada pada riset saya.” ungkapnya.

Menurut Ichsan, praktik karya seni Setyawan memperlihatkan hubungan antara seniman dengan material. “Bagaimana cara kerja dengan bahan menjadi attitude yang mendasari pemaknaan mengenai keteraturan, pengulangan, bahkan simetrisitas pada karya-karyanya,” lanjutnya. Dalam tulisannya, Ichsan menilai bahwa Setyawan telah membangkitkan potensi dan dimensi sebuah bahan, alih-alih merayakan keterpesonaan akan sifat spesifiknya atau mengeksploitasi maknanya dalam budaya material.

Penulis: Dyah Lintang Izza Salma, Elvira Chandra Dewi Ari Nanda, dan Rajwa Aqilah (Magang)
Penyunting: Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing
Ilustrator: Natasya Mutia Dewi

2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM