
©Alika/Bal
Center for Digital Society (CfDS) UGM menyelenggarakan diskusi bertajuk “Bagaimana Aksi dan Organisasi Berpengaruh pada Pemenuhan Tuntutan Ojol?” melalui Twitter Spaces pada Hari Minggu (13-3). Diskusi tersebut membahas peran komunitas dalam pemenuhan tuntutan perbaikan kondisi kerja ojek daring atau ojek online (ojol). Diskusi dihadiri oleh Arif Novianto, Peneliti Institute of Government and Public Affair UGM; pengelola akun Twitter @kejO_Online yang akrab disapa Kejo, pengemudi ojol; dan Nabiyla Risfa Izzati, Adjunct Researcher CfDS sebagai moderator.
Nabiyla memantik diskusi dengan merujuk kebijakan perusahaan yang merugikan pengemudi sehingga memaksa mereka untuk turun aksi. Aksi tersebut berawal dari komunitas ojol sebagai ruang untuk berbagi informasi dan saling membantu saat di jalan, kemudian berubah menjadi wadah penggerak untuk menuntut hak. Sayangnya, menurut Arif, kecenderungan aksi yang bersifat spontan, sporadis, dan berskala kecil menjadikannya minim diangkat oleh media arus utama. Pihak platform penyedia layanan juga dinilai tidak serius dalam menanggapi tuntutan. “Ada banyak masukan yang kita berikan, hanya direalisasikan sedikit demi sedikit,” ujar Kejo.
Arif menilai, secara umum, terdapat dua tipe perjuangan yang dilakukan oleh berbagai komunitas ojol di seluruh Indonesia, yaitu perjuangan makro dan mikro. “Makro berarti memperbaiki sesuatu yang lebih besar dan lebih luas dampaknya ke banyak orang,” jelasnya. Advokasi makro, Arif memberi contoh, seperti memperbaiki sistem tatanan, memperjelas pengaturan status kerja, hingga sistem perekrutan yang dibuka secara besar-besaran dan dirasa cukup mengkhawatirkan.
Menurut Arif, status pengemudi ojol sebagai mitra kerja dalam hubungan ketenagakerjaan saat ini sangatlah semu. “Kalau dilihat sebagai hubungan kemitraan, hak-hak para pengemudi ojol tentu banyak yang tidak dipenuhi, mulai dari hak untuk berdiskusi menentukan perubahan kebijakan, keputusan tarif, hingga pengaturan algoritma,” tegasnya. Arif menambahkan, hubungan kemitraan seharusnya setara, tidak ada salah satu pihak yang mendominasi.
Sementara perjuangan yang konteksnya mikro, Arif mengartikannya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan anggota komunitas atau individu yang berskala kecil. “Contohnya adalah mereka berusaha memahami algoritma yang dikembangkan oleh perusahaan platform, memahami bagaimana cara mudah mencari orderan, menghindari sanksi saat order, dan mendapat bonus lainnya,” ujarnya. Selain itu, Arif melanjutkan, advokasi yang dilakukan oleh rekan-rekan komunitas melalui penyelenggaraan aksi massa, gugatan hukum, dan kopi darat (kopdar) dengan pihak perusahaan.
Namun, Arif melihat anggota komunitas kerap tidak percaya dengan adanya kopdar atau sistem perwakilan untuk berdiskusi dengan pihak perusahaan. “Kopdar bukan ajang untuk berdiskusi bersama. Namun, kopdar hanya sebatas pemberitahuan pihak perusahaan kepada pihak pengemudi,” pungkanya. Kenyataannya, tegas Arif, hanya ada satu pihak yang memberitahukan dan menyampaikan pendapat, sedangkan pihak yang lain hanya menuruti dan melaksanakan.
Zahid, pengemudi Gojek, membuka suara tentang pengalaman getirnya sebagai mitra. Ia mengkhawatirkan pemutusan mitra oleh perusahaan yang disebabkan oleh terjadinya beberapa aksi massa. “Bayangkan saja ketika kami harus kehilangan pekerjaan hanya karena melakukan aksi yang katanya dianggap merugikan perusahaan,” tegas Zahid. Padahal, menurutnya, para pengemudi hanya ingin menyampaikan pendapatnya.
Penulis: Elvira Sundari, Ilham Maulana, dan Selma Karamy
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Alika Bettyno