
©Damar/Bal
Terik panas matahari tak menyurutkan ratusan massa aksi dari berbagai elemen masyarakat untuk bersolidaritas di bundaran Tugu Pal Putih Yogyakarta, Selasa siang (8-3). Kehadiran mereka bukan tanpa alasan, hari itu mereka melancarkan aksi turun ke jalan seraya memperingati Hari Perempuan Sedunia. Mengusung tajuk “Bersama Perempuan Melawan Diskriminasi, Kapitalisme, dan Kekerasan Seksual”, massa aksi menuntut kesewenang-wenangan negara terhadap perempuan dan kaum marjinal.Â
Massa aksi yang datang sejak pukul satu siang itu tentu tidak dengan tangan kosong. Mereka hadir dengan membawa 42 tuntutan yang sebelumnya telah dirumuskan dan disepakati bersama. Isi dari tuntutan tersebut coba mereka suarakan dalam bentuk poster-poster, orasi perlawanan, pameran, hingga penampilan seni jalanan. “Ragam kekerasan semakin mengancam perempuan, sementara ruang hidup juga kian dirampas. Negara jangan lepas tanggung jawab!” tulis salah satu poster yang ditenteng oleh salah satu massa aksi. Â
Koordinator Umum Aksi IWD, Laili, menuturkan bahwa aksi “Panggung Perempuan” ini, salah satunya sebagai respons masyarakat terhadap sikap aparat negara yang merepresi aktivis perempuan. Menurutnya, alih-alih memberikan perlindungan kepada rakyatnya, aparat penegak hukum justru melakukan kekerasan secara brutal. “Misalnya di Desa Wadas, aparat bersenjata lengkap menangkap dan merepresi sejumlah warga tanpa alasan yang jelas sehingga anak-anak dan perempuan terdampak juga secara psikologis,” ujarnya.Â
Hal itu, dikonfirmasi oleh salah satu perwakilan Wadon Wadas, Mira Hayati. Ia mengatakan bahwa aparat kepolisian yang sejatinya menertibkan bentrokan antara warga dengan pihak penambang justru menjadi cikal terjadinya kericuhan di Desa Wadas. “Selain melakukan kekerasan fisik, mereka juga membatasi hak warga Wadas untuk mengutarakan pendapat,” ungkap Mira. Senada dengan Laili, Mira menuturkan bahwa perempuan dan anak-anak turut menjadi korban dari tindakan semena-mena yang mereka perbuat.
“Kalau ada aparat yang datang ke Wadas, rasanya susah dan resah. Anak-anak juga masih merasa takut dengan orang-orang pendatang. Sedih memikirkan nanti bagaimana nasib anak cucu kami,” keluh Mira. Ia juga mengatakan bahwa warga Wadas tidak perlu uang. Bagi mereka, yang terpenting adalah lingkungan Desa Wadas yang aman dan lestari. “Uang tidak bisa membeli tanah tempat kami menggantungkan hidup!” tegasnya.Â
Tak hanya terjadi di Desa Wadas, aksi kekerasan yang dilakukan aparat negara juga menimpa perempuan Papua. Dalam orasinya, salah satu perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menceritakan peristiwa miris yang dilakukan oleh aparat negara berupa kekerasan seksual. “Baru kemarin bulan Februari, ada seorang perempuan diperkosa aparat yang sedang melakukan operasi di Papua. Itu merupakan tindakan buruk aparat negara terhadap perempuan,” ujarnya.Â
Selain tindakan kekerasan seksual, sejumlah warga Papua termasuk perempuan juga mengalami kekerasan secara fisik dari aparat militer. “Pada tahun 2018, ketika perempuan Papua melakukan perlawanan terhadap pertambangan, mereka mendapatkan kekerasan fisik dari aparat militer!” seru perwakilan AMP.
Oleh karena itu, pihaknya menyatakan bahwa tindakan represif yang berlebihan dari aparat negara itu perlu dilawan. Menurutnya, usaha pembebasan perempuan untuk memiliki martabat yang sama juga termasuk usaha kemerdekaan dan pembebasan terhadap tanah air yang perlu diperjuangkan. “Perjuangan pembebasan tidak hanya dilakukan oleh perempuan, tetapi juga kami yang terlahir dari rahim ibu akan tetap mendukung hak-hak perempuan!” tandasnya.
Menanggapi isu kekerasan seksual, dari 42 tuntutan yang dibawa, salah satunya menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segera disahkan tanpa dipreteli. Selain itu, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 harus diimplementasikan di seluruh institusi perguruan tinggi tanpa terkecuali. Menurut Laili, hal ini bertujuan untuk memberikan jaminan penanganan hukum dan rehabilitasi bagi para korban. “Tanpa mendiskriminasikan tuntutan lain, kami menuntut pengesahan RUU PKS dan penerapan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 di semua universitas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Laili menambahkan bahwa RUU PKS lebih mendesak ketimbang Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Ia mengatakan bahwa RUU PKS mengakomodir sembilan bentuk kekerasan seksual, sedangkan RUU TPKS hanya mengakui empat bentuk saja. Selain itu, RUU TPKS juga menghilangkan persetujuan dan relasi kuasa yang menurutnya sangat penting dalam penanganan kekerasan seksual.Â
“Relasi kuasa dalam penanganan kasus kekerasan seksual sangat berpengaruh, misal kasus di ranah pendidikan yang dilakukan oleh dosen ke mahasiswa, relasi kuasa itu diakomodir di RUU PKS, tetapi dihilangkan di RUU TPKS, itulah alasan kami masih kukuh menyuarakan RUU PKS,” pungkas Laili.Â
Penulis: Anastasya Egidia Amanda, Marchelia Lintang Wardoyo, dan Wahid Nur Kartiko
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Zidane Damar