Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILASREDAKSI

Miras sebagai Manifestasi Kearifan Lokal

Maret 7, 2021

©Zura/Bal

Pada Selasa (02-03), Presiden Joko Widodo resmi mencabut Aturan mengenai pembukaan keran investasi industri minuman keras (miras) dalam Lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021. Pasalnya, keberadaan aturan tersebut menuai penolakan dari berbagai pihak karena dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama dan moral. Meski begitu, alkohol atau miras nyatanya sudah menjadi wujud kearifan lokal di nusantara.

“Alkohol, dalam hal ini merujuk pada miras, ternyata sudah menjadi komponen yang mengakar kuat dalam kebudayaan nusantara. Dibuktikan dari temuan artefak-artefak abad ke-10 yang menginformasikan sudah ada minuman yang mengandung alkohol,” ujar Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Historia.ID mengawali diskusi bertajuk “Minum Kemarin, Mabuk Sekarang: Alkohol dan Kejeniusan Lokal” pada Kamis (04-03).

Selain Bonnie, diskusi yang merupakan rangkaian dari seri Dialog Sejarah Historia ini juga dihadiri dua narasumber utama, yaitu Saras Dewi, Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) dan Tommy F. Awuy, Dosen Seni Murni Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Disiarkan secara daring melalui kanal Youtube Historia.ID, diskusi kali ini menyorot kedudukan alkohol dalam kearifan lokal nusantara.

Menurut Tommy, keberadaan alkohol dalam sejarah peradaban nusantara tidak lepas dari nilai hormat dan nilai kreativitas yang tumbuh dalam aspek internal masyarakat lokal. Nilai hormat, ujar Tommy, berkaitan dengan respons positif masyarakat terhadap apa yang telah alam berikan kepada manusia. “Hal ini dapat ditinjau dari pemilihan berbagai bahan baku pembuatan alkohol; mulai dari dedaunan, akar tumbuhan, hingga biji-bijian,” jelas Tommy yang juga merupakan dosen Filsafat UI itu. 

Sedangkan nilai kreativitas, oleh Tommy diwujudkan melalui usaha para leluhur yang membuat miras sesuai dengan ciri khas kearifan lokal setempat. Bagi Tommy, usaha tersebut merupakan bukti kejeniusan para leluhur dalam membuat alkohol. “Berkat kejeniusan leluhur kita, lahirlah tuak di Sumatera Utara, ciu di Jawa, dan Cap Tikus di Sulawesi Utara,” ungkapnya. 

Menyambung apa yang disampaikan Tommy, Saras memaparkan bahwa alkohol dalam kebudayaan lokal memiliki fungsi sosial dan fungsi spiritual. Dua fungsi ini, menurutnya lantas menjadi sesuatu yang krusial dalam memberikan ciri khas bagi kearifan lokal nusantara. Dari aspek fungsi sosial, Saras berpendapat bahwa alkohol mampu menginterpretasikan kelas sosial sekaligus sebagai media perjamuan acara tradisi budaya. Sedangkan dari sisi spiritual, Saras berpendapat bahwa keberadaan alkohol memiliki fungsi imajinasi yang luar biasa untuk menghayati leluhur.

Berkaca dari kebudayaan Bali, Saras membeberkan bahwa arak, tuak, dan brem ‘miras khas Bali’ berperan sebagai pintu masuk untuk menjalin hubungan dengan entitas yang bersifat transendental. Konkretnya, dalam kitab Rig Weda juga membicarakan penggambaran dari suatu proses kemabukkan untuk memahami imajinasi nenek moyang. “Dalam tradisi Bali, selalu menyuguhkan segelas kecil arak untuk memperingati leluhur yang sudah meninggal dan sebagai bentuk persembahan kepadanya,” jelasnya. 

Di sisi lain, andil  besar alkohol dalam manifestasi kearifan lokal, kini disinyalir justru mengalami pergeseran interpretasi. Hal tersebut dibenarkan oleh Tommy, bahwa alkohol yang digunakan dalam fungsi peribadatan, kini diinterpretasikan sebagai sesuatu yang cenderung negatif. Dalam pandangannya, saat ini alkohol selalu dijadikan kambing hitam, terutama berkaitan dengan interpretasi miras sebagai entitas yang identik dengan tindak kriminal. 

Oleh karena itu, Tommy menyarankan agar masyarakat  tidak selalu menyimbolkan miras sebagai fenomena penyimpangan sosial. Ia berharap, miras tidak melulu dinarasikan sebagai barang yang destruktif. “Memukul secara rata pada miras sama saja membunuh karakter setiap orang yang meminum miras untuk peribadatan, sebab dalam konteks budaya, miras adalah sebuah nyawa perjalanan spiritualitas diri menuju Tuhan Yang Mahakuasa,” tandasnya.

Senada dengan Tommy, mengacu pada Pergub Bali tentang Tata Kelola Miras Khas Bali, Saras menawarkan perlunya batasan-batasan dalam pendistribusian miras, mengingat tingkat kesadaran sosial masyarakat yang masih rendah. Misalnya, dengan melakukan identifikasi mana miras yang dibuat untuk peribadatan dan mana yang untuk konsumsi umum. “Warisan leluhur ini begitu berharga dan harus dijaga, sejalan dengan hal itu kita juga wajib menghormati ruang-ruang publik yang kontra terhadap miras,” pungkasnya. 

Penulis: Albertus Arioseto Bagas Pangestu, Atsil Tsabita Ismaningdyah, dan Mochammad Ezra Syah Resha
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Fairuz Azzura

Kearifan Lokalmiras
4
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM