Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...
Kampus Kelabu bagi Perempuan
Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran...
Sisi Lain Makanan Tradisional dalam Buku Sepinggan Indonesia
Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Rezim Pengetahuan pada Kasus Tambang

Februari 17, 2017
©Istimewa

©Istimewa

“Sekarang yang kita hadapi bukan perusahaan tambang atau kasus Kendeng, tetapi rezim pengetahuan,” tutur Hendra Tri Ardiyanto selaku penulis buku “Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Rembang” pada Selasa sore (14-02) saat mengisi diskusi MAP Corner-Klub MKP. Diskusi yang bejudul “Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Rembang” dihadiri oleh puluhan peserta yang terdiri dari mahasiswa tingkat S1, pascasarjana dan masyarakat umum. Diskusi yang berlangsung di Lobby Magister Administrasi Publik Fisipol UGM unit 2 Sekip juga menghadirkan Rikardo Simarmata, dosen Hukum Agraria dan Adat UGM sebagai pemantik diskusi.

Hendra menuturkan bahwa perjuangan melawan rezim pengetahuan adalah perjuangan yang sulit. Hendra menyebutkan, hal ini dikarenakan adanya oknum akademisi yang mengkhianati keakademikaannya pada rezim tambang. Ia mengakatan bahwa mereka yang membentuk pola pikir jika tambang ini dapat menyejahterakan dan tidak merusak.”Hari ini kita tidak hanya menghadapi elit-elit kapital, tapi juga cara berfikir,” ujarnya.

Menurut Hendra, para akademisi tidak bisa terang-terangan ketika membicarakaan mengenai isu tambang. Ia menuturkan mereka cenderung bermain aman dan tidak berani mengatakan kebenarannya. Kekacauan berfikir para akademisi inilah yang menurut Hendra mesti dilawan “Ketika berhadapan dengan negara dan rezim tambang, para akademisi melipir dalam berargumentasi, melipir dalam setiap pendapat,” ucapnya.

Hendra menegaskan dalam melihat kasus Kendeng atau Rembang tidak bisa dilihat sebagai masalah yang hanya ada di daerah tersebut. Permasalahan ini memiliki korelasi dengan kekacauan tambang yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh para pejabat negara yang tunduk kepada pemilik tambang. “Tidak hanya para pejabat yang mengelola negara kita, tetapi juga rezim peradilan,” tuturnya.

Iko, aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng yang juga salah satu peserta diskusi berkata bahwa keberadaan tambang selalu ditopang oleh rezim pengetahuan. Iko berpendapat rezim ini memberikan afirmasi bahwa tambang dapat menyejahterakaan rakyat, mesti kenyataannya sebaliknya. “Kami yakin bahwa rezim pengetahuan membentuk imaji sosial yang membentuk konstruksi ideal masyarakat tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” tambahnya.

Arif Novianto, selaku pegiat MAP Corner-Klub MKP menuturkan bahwa diskusi ini bertujuan untuk membuka fakta miris dibalik dunia tambang yang dianggap mampu menyejahterakan masyarakat. Ia menambahkan bahwa penting bagi masyarakat untuk paham mengenai permasalahan tambang yang terjadi. “Saat ini, banyak dari masyarakat belum tahu tentang konflik pabrik semen di Rembang. Hal ini kita bahas secara kritis agar masyarakat bisa menilik apa yang sedang terjadi,” jelas Arif.

Dalam menghadapi rezim pengetahuan, Hendra mengajak para akademisi untuk bisa berdedikasi merubah pola pikir dalam jalur akademik. Hendra menyebutkan, perlawanan melalui jalur akademik ini bisa dalam bentuk menghasilkan banyak tulisan yang tidak memihak pada kelaliman, “Jadi sebagai akademisi, kita harus adil sejak dalam pikiran, karena yang kita hadapi ini rezim pengetahuan,” pungkasnya.[Muhammad Irfan Hafidh, Ozi]

diskusimapTambang
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...

Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran...

Sisi Lain Makanan Tradisional dalam Buku Sepinggan Indonesia

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka 100%

    Agustus 18, 2025
  • Kampus Kelabu bagi Perempuan

    Agustus 9, 2025
  • Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran Masyarakat

    Juli 21, 2025
  • Sisi Lain Makanan Tradisional dalam Buku Sepinggan Indonesia

    Juli 20, 2025
  • Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

    Juni 30, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM