Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...
Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...
Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
INSAN WAWASAN

Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan Hanya Dibebani Tanpa Penghargaan

November 20, 2025

©Manggar/Bal

Meningkatnya kasus kekerasan seksual di sekolah dan tingginya kehamilan usia dini menjadi persoalan yang dihadapi dunia pendidikan akhir-akhir ini. Menurut Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, dari seluruh responden perempuan umur 10–54 tahun yang pernah kawin, sebanyak 4,2% remaja mengaku pertama kali hamil pada usia 10–14 tahun, dan 92,2% lainnya mengaku pertama kali hamil pada usia 15–19 tahun. Selain itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga menyebutkan, per September 2024 terdapat 293 kasus kekerasan di sekolah dengan 42%-nya merupakan kasus kekerasan seksual.

Pemerintah merespon dengan berbagai cara, salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Di dalamnya, sekolah dituntut untuk membentuk Satgas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Satgas tersebut diharapkan dapat memastikan adanya respon cepat penanganan ketika terjadi kekerasan di satuan pendidikan. Meski melalui peraturan ini edukasi kesehatan reproduksi (kespro) di lingkungan sekolah diketengahkan, nyatanya perhatian terhadap isu ini masih belum maksimal.  

Di tengah tantangan tersebut, BALAIRUNG mewawancarai Anis Farikhatin, seorang guru yang memiliki perhatian besar terhadap kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Ia kini mengajar sebagai guru agama di SMA Piri 1 Yogyakarta dan menjadi ketua dalam Forum Guru KesPro Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya, pendidikan kesehatan reproduksi merupakan upaya pencegahan dan pendampingan dari kekerasan seksual. Meskipun begitu, pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi masih mengalami berbagai rintangan, salah satunya adalah minimnya dukungan pemerintah terhadap guru. Berikut hasil wawancaranya.

Bagaimana awal mula dan perjalanan Anda berkecimpung di ranah edukasi kesehatan reproduksi?

Pertama itu ketika awal internet masuk. Jadi kasus-kasus [korban kekerasan seksual-red] saat itu luar biasa, dan karena saya penyintas, saya memiliki kesadaran di atas rata-rata. Saya punya pengalaman, saya punya kesakitan, saya punya kemarahan, saya punya dendam. Sebenarnya saya tahu apa yang mereka rasakan sehingga saya tahu bagaimana saya harus menolong. Saat internet masuk sekolah, saya betul-betul melihat anak-anak sudah mulai memiliki perilaku yang berbeda. Diperparah ketika pandemi, di mana semua anak cepat pegang handphone. Kini setiap anak punya satu handphone. Dia bisa melihat apa saja. Ada provokatornya, ada ruangnya, ada komunitasnya. Di mana ada echo chamber, filter bubble, dan algoritma yang mengarahkan dia, tanpa dia sadari dan minim antisipasi.

Sebenarnya saya tahu apa yang mereka rasakan. Sehingga saya tahu bagaimana saya harus menolong. Berangkat dari perhatian yang sama, dan kita [guru-guru–red] tidak bisa membuat apa-apa, akhirnya dibentuk Forum Guru KesPro (Kesehatan Reproduksi) untuk pertama-tama membangun kesadaran bersama para guru.

Bagaimana pendapat Anda mengenai edukasi kesehatan reproduksi saat ini, khususnya di ranah pendidikan formal?

Kini, kalau menurut perspektif saya, memang pendidikan [kesehatan reproduksi-red] belum maksimal. Walaupun sebetulnya sudah banyak modul dan aplikasi. Contohnya, aplikasi tentang manajemen menstruasi yang sehat. Di situ ada beberapa konseling tentang kespro, tetapi hanya sedikit [siswa-red] yang akses. Setelah saya tanya dan evaluasi, mereka bilang, “[aplikasinya–red] berat-beratin,” ini dalam ruang sekolah. Kalau di ruang keluarga, saya melihat justru sangat minim. Belum semua orang tua terbuka terhadap anaknya. Apalagi hal-hal yang sifatnya masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Anak justru kalau ada persoalan seperti itu malah ke orang lain. Terutama anak-anak yang sudah mencapai remaja.

Menurut Anda, bagaimana peran edukasi kesehatan reproduksi dalam mencegah kasus kekerasan seksual?  

Kesehatan reproduksi itu sebagai sebuah upaya pencegahan dan pendampingan. Apalagi kalau [model pembelajarannya–red] Peer Teaching, atau tutor sebaya itu. Jadi dulu itu kan ada teman-teman sebaya. Sebelum pandemi itu setiap siswa punya keleluasaan untuk ngobrol bareng, bercerita bareng. Sekarang itu enggak. Ketemu langsung itu semua bareng tetapi punya kesibukan masing-masing [bermain gadget–red]. Jadi enggak ada yang bercerita, dan itu yang menjadi persoalan. 

Dan minimnya edukasi tentang kesehatan reproduksi itu juga bisa jadi penyebab utama terjadinya masalah kehamilan tidak direncanakan (KTD). Kesehatan reproduksi memang bukan satu-satunya pintu pencegahan. Masih ada banyak pintu melalui pemuka agama, pendidikan agama, pendidikan moral, pendidikan olahraga; dan rumpun pendidikan karakter. yang salah satunya memuat kesehatan reproduksi.

Jadi pendidikan sebetulnya bukan satu-satunya yang harus bertanggung jawab. Budaya masyarakat kita juga masih melecehkan perempuan. Budaya masyarakat kita itu masih patriarki akut; menjadikan perempuan sebagai objek, bahkan objek seksual. Mereka [masyarakat patriarki–red] melihat cewek itu; dari tubuhnya, isinya, bukan sebagai partner dan makhluk intelektual, makhluk spiritual, makhluk sosial yang bisa diajak bekerja sama untuk mewujudkan kemaslahatan. 

Apa yang menjadi permasalahan dari sulitnya edukasi kesehatan reproduksi di sekolah?

Persoalannya sistemik. Sebetulnya, ketersediaan materi, modul, dan alat peraga itu banyak. Cuma masalahnya, tidak semua guru memiliki cukup kesiapan untuk mengampu pendidikan kespro. Satu, tidak ada guru lulusan pendidikan kespro, dan kedua, tidak ada mata pelajaran kespro. Kespro itu hanya dititipkan kepada guru Bimbingan Konseling (BK), guru olahraga, dan guru biologi. Dan itu dianggap sudah cukup. Itu persoalan dari sisi sumber dayanya. 

Kemudian dari sisi metodologinya, kemampuan guru menyampaikan pesan itu hanya sampai batas knowledge. Jadi dia ngerti aja, belum sampai ke ranah kesadaran. Sehingga hasilnya pun akan berbeda. Karena untuk sampai kepada ranah kesadaran itu kan harus dikawal dari awal. Bagi saya sebagai guru, keberhasilan itu diukur dari sejauh mana saya memberi pengaruh dari cara berpikir, sikap, dan perilaku; ini harus dimulai dari pendidikan sebagai sebuah kesadaran. Tidak semua guru memiliki cukup kesempatan untuk itu. Jarang ada guru yang tuntas mau terjun sampai ke dalam. Karena memang itu melelahkan. Penuh tantangan, penuh pengorbanan. Apalagi dalam kondisi hari ini, untuk pengajarannya sendiri guru itu sudah kewalahan. Bagaimana dia harus menyampaikan materi, sedangkan dari beban administratif dan beban-beban lain itu sudah capek? 

Menurut Anda, konten atau materi edukasi apa yang paling susah disampaikan padahal sebenarnya paling penting?

Ya kesadaran. Membangun kesadaran. Tidak cukup diomong. Tidak cukup dikandani, tapi ditunjukkan. Tidak cukup mengatakan “Kamu harus menjaga diri supaya kesehatan reproduksimu bagus.” Tidak diomongi, tapi ditunjukkan. 

Dukungan seperti apa yang Anda harapkan bisa mendorong juga membantu guru-guru yang mempunyai perhatian pada kesehatan reproduksi? 

Iya, butuh “teman”, sih. Terus ditemeni, terus didukung. Karena beratnya [dalam pekerjaan ini–red], saya tidak sanggup mengandalkan orang lain. Saya hanya sanggup untuk di level saya sendiri. Tetapi kalau ada yang mau, oke. 

[Di level personal–red] untuk seseorang memahami diskursus kesehatan reproduksi aja kan sudah macam-macam, toh. Belajar diskursus tentang kehamilan, hak-hak atau kewajiban, terus bagaimana dengan aborsi, bagaimana soal pacaran, atau soal lain. Bicara tentang diskursus itu sudah pusing. Lalu, persoalan pendekatan strategi yang harus dilakukan dan persoalan berjejaring. Itu ‘kan harus dilakukan oleh satu orang karena lebih gampang. Tetapi kondisi sekarang enggak. Yang satu guru BK, yang satu guru apa, guru yang kosong siapa, dipilih jadi perwakilan untuk sekolah. Mumet enggak? Jadi, stakeholder harus ada. Dan sekarang, ada satgas antikekerasan itu justru peluang pendidikan kespro untuk masuk. Ini persoalannya, peluang itu dipakai apa enggak? Karena, guru sudah terlalu sibuk untuk hal-hal yang instrumental, terkadang lupa dengan hal-hal yang substansial. 

Bagaimana gambaran ideal menurut Anda mengenai pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah serta seperti apa cara mewujudkannya? 

Kalau bayangan saya, pendidikan kespro sebagai kurikuler atau apapun, yang penting bisa masuk ke sekolah dan punya channel, tidak sekedar dititipkan guru kespro dan tanpa kontrol. Jadi ada kebijakan yang membuat atau memastikan bahwa pendidikan kespro itu betul-betul masuk sekolah sebagai upaya antisipasi terhadap risiko-risiko seperti KTD. Nanti, perkara kesiapan sekolah itu proses. Selanjutnya adalah bagaimana menyiapkan guru-guru yang memiliki kesadaran dan kemampuan. Itu yang menjadi tantangan. Nanti kalau bisa ya guru-guru betul-betul dibina, dikawal, didampingi, diberi uang, diberi kemudahan, serta diberi penghargaan, saya kira itu. Maka nanti akan betul-betul menjadi perhatian khusus.

Penulis: Ahmad Arzani dan Irene Manggar
Penyunting: Aghli Maula
Ilustrator: Manggar Eiklessia

2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

Wisnu Prasetya Utomo: Tantangan Pers Mahasiswa di Persimpangan...

Monika Eviandaru: Reorientasi Pers Mahasiswa Dalam Neoliberalisasi Perguruan...

Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi

Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

Hajriansyah: Seni Realisme Revolusioner Lukiskan Semangat Perlawanan Rakyat

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025
  • Membumikan Ilmu Bumi

    November 21, 2025
  • Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal

    November 20, 2025
  • Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan Hanya Dibebani Tanpa Penghargaan

    November 20, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM