Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Episode-Episode Perjalanan
SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di...
Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi
Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung
Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas...
Program MBG Timbulkan Keracunan Massal, Ibu-Ibu Gelar Aksi
Ruang-Ruang Untuk Kami dan Puisi-Puisi Lainnya
Diskusi Film DEMO(k)RAS(i) Ungkap Ketidakadilan Iklim oleh Pemerintah
BARA ADIL Lakukan Siaran Pers, Ungkap Catatan Penangkapan...
Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
ARSIPEDISI SPESIAL HUT BAL KE-40

Episode-Episode Perjalanan

Oktober 16, 2025

©Nafiis/Bal

40 tahun lalu, awal perjalanan BPPM Balairung dimulai. Sekelompok anak muda nekat mengadakan seminar pers mahasiswa di tengah suasana kampus yang mencekam di bawah tirani politik yang mencengkram. Pada waktu itu, rektorat menolak dengan beragam alasan. Namun, sekelompok anak muda itu tidak takut. Niat mereka mulia: menghidupkan suara kritis mahasiswa yang dipaksa bungkam oleh rezim Soeharto lewat program Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Siasat-siasat mereka galakkan untuk memantapkan kembali langkah dan orientasi awal pendirian pers mahasiswa tingkat universitas di Universitas Gadjah Mada. 

Keberanian mereka terbayar sudah. 29 Oktober 1985, seminar pers mahasiswa itu dijalankan dengan semangat yang membara. Setelah seminar berakhir, masing-masing pimpinan pers mahasiswa tingkat fakultas berhimpun dan bersepakat mendirikan pers mahasiswa tingkat universitas. BPPM Balairung dipilih untuk menamai diri mereka. Tulisan ini merupakan arsip artikel yang diambil dari Majalah BALAIRUNG Edisi Ulang Tahun: Kaum Muda dan Pembangunan (1987) dengan judul “Episode-Episode Perjalanan”. Berikut kisah-kisah awal pendirian BPPM Balairung dituliskan.


EPISODE I

Hari-hari kemarin biasanya hujan. Hari itu udara cerah. Entah kebetulan atau memang ada daya makrokosmos yang menggelegar di muka bumi. Ada sekelompok orang yang sangat ceria dan meledak-ledak kegembiraannya. Bahkan, kalau ketika itu tidak banyak orang yang melakukan rutinitas di sekitar itu, mulut mereka akan mampu memecah seluruh pagi. Alam menyaksikan, bahkan hati nurani banyak orang mendapat getaran. Sebuah langkah bersejarah akan dimulai. Langkah yang pada akhirnya mampu menggetarkan kebisuan yang terajut pada malam-malam sebelumnya mulai mengikis secara intensif malam-malam berikutnya yang mencoba bertahan dengan segenap perangkatnya. 

Jalan-jalan yang telah ditumbuhi semak, yang lama tidak dilewati makhluk, akan tersibak. Dan orang akan berduyun-duyun melewati jalan itu. Ke tempat yang lama hanya sekadar menjadi angan dan utopia. Dan paling jauh hanya sampai pada batas kognisi. Banyak duri di semak itu, banyak binatang buas di sekitar situ: macan, ular, kalajengking, gajah, lintah, dan nyamuk bermulut jarum. Atau juga hanya bayang-bayang tentangnya akibat cerita-cerita dan pesan menjelang tidur yang telah meneror kalbunya. 

Pagi itu, dua orang anak manusia selesai menghadap “raja”. Dua orang pimpinan majalah mahasiswa usai menghadap rektornya untuk bargaining tentang rencana-rencananya. Mereka membawa amanah padepokannya, Clapeyron. Kala itu, sang rektor dikenal sangat “angker”, ditakuti seluruh warganya. Dengan dalih melakukan wawancara dan memang itu juga dilakukan, mereka matur pada Prof. Dr. Teuku Jacob, Rektor UGM saat itu, untuk mengadakan seminar dan pameran pers mahasiswa se-Indonesia sebagai perwujudan keprihatinannya atas masa. 

Ide ini memang utopis. Dengan penuh perhitungan dan sangat hati-hati, sang juru bicara meyakinkan tentang bagaimana acara itu merupakan hal yang sangat perlu. Dan di luar dugaaan, nampaknya, rektor pun mempunyai obsesi yang sama. Dengan serta-merta, beliau menerima secara total rencana itu. Bahkan, menyarankan untuk berbuat yang lebih utopis lagi dalam kondisi saat itu: pameran jurnal mahasiswa se-dunia. Da-it!!

Di pagi itulah, seusai menghadap, mereka meledak-ledak. Mereka berteriak dalam hati berulang kali: Merdeka! Merdeka!! Merdekaaa!!! Kemudian bergegas lari ke markasnya di kawasan Pogung dengan disambut kerumunan seluruh warga sambil diberondong dengan tanya: Bagaimana seminarnya? Bagaimana hasil rencana kita? Bagaimana?” “Alhamdulillah kita sukses, mari bersalaman,” tukas sang pimpinan yang selesai berunding. “Kita harus mulai kerja keras,” tambahnya setengah berteriak.

Lantas, disusunlah strategi. Pemahaman medan semakin diperdetail. Proposal disempurnakan, perangkat dikerahkan. Rapat pleno dilakukan kembali. Mantan-mantan aktivis dikumpulkan untuk dimintai saran. Nyerocoslah kemudian mereka itu.

Proposal diproses. Tapi, astaghfirullah di sini mulai dimaki-maki orang. Dibilang ngga tahu diri, utopis, tak tahu pekanya situasi politik, terlalu gegabah, terlalu riskan, bikin kerjaan orang-orang tua, bikin malas belajar mahasiswa … dan segudang lagi. Suasana masih traumatis. Proposal berjalan, di kalangan birokrat ia mulai seret dari bawah. Dipingpong naik turun. Ada yang bisa patah, ada yang begitu menembok. Di bawah takut ambil keputusan, di atas sulit ditemui. Sedang tanda tangan yang harus digaet tujuh buah, belum lagi jika harus pergi ke yang namanya aparat keamanan. 

Masa bergulir terus. Ada saat-saat penuh kesadaran, ada saat-saat yang terlewatkan. Kadang, semuanya sangat tidak teramalkan, terbukti tidak berdayanya manusia atas rencana-rencananya. Diperlukan energi berlebih untuk merangkum segala kegelisahan dan sisa-sisa semangat yang belum terkorbankan. Setelah pertemuan pendahuluan itu, sangat sulit untuk menemui Prof. Jacob lagi. 

Kami melambungkan harap padanya, ia adalah bekas aktivis pers mahasiswa nasional tahun 1950-an. Betapa ia kami anggap yang paling memahami atas nurani kami. Dengan izin pelaksanaan ini, paling tidak konsistensi masih ada padanya. Tapi, ia seorang rektor, ia seorang ilmuwan kaliber internasional, ia seorang dosen, ia seorang kepala rumah tangga. Yah… kenapa kami juga ingin merepotinya dengan perilaku yang masih dianggap utopis? 

Meski begitu, beliau sempat menghibur kami ketika pertemuan: “Peradaban bisa berubah karena adanya para pemimpi pada zamannya, karena adanya para utopian. Lihatlah sejarah manusia, belum pernah mampu mengingkari kenyataan ini.” Ya. Aristoteles, Plato, Edison, Einstein, Newton, Columbus, Muhammad adalah para utopian besar pada zamannya. Utopia kami hanya sebesar zarah dibanding Himalaya. Begitu sangat sederhananya kami.

Pada proses selanjutnya, Prof. Jacob menyerahkan kepada Soepono, M.Sc., Pembantu Rektor (Purek) III UGM yang berwenang menangani masalah kemahasiswaan. Dan lobi intensif dilakukan dengan sang Purek ini. Berulang kali. Sampai akhirnya, pada suatu pagi dijawab: “Acara ini baru akan dirapatkan di tingkat universitas pada Rapat Kerja Universitas (RKU), soalnya ini masalah besar dan universitas ikut bertanggung jawab. Beberapa hari lagi kamu ke sini,” tukas sang Purek. 

Tiap hari kemudian Hamid, Pemimpin Umum Clapeyron, menghadap Purek III yang waktu itu didampingi sekretarisnya, drg. Haryono Mangunkusumo, Pak Pono menjawab, dengan penuh hati-hati, “Acara ini cukup berat dan kamu jangan undang Pak Fuad Hassan seperti dalam proposal ini karena beliau baru saja menjadi menteri, nanti terpancing di forum mahasiswa dan terpaksa mengeluarkan pernyataan yang bisa bikin kacau masyarakat,” sambung Pak Pono. 

Waktu itu kondisi pendidikan di Indonesia lagi “ricuh”. “Dan mengundang menteri itu sulit, kita harus jaga keamanannya, kita harus menyambut. Pokoknya kita akan dapat banyak kerjaanlah,” sambungnya lagi. Utusan merasa cuma ditakut-takuti, soalnya pernah mengundang menteri dan tidak apa-apa. Tapi debat punya debat, Pak Fuad memang tidak boleh didatangkan, apa pun alasannya. Apalagi yang mendatangkan dengan mengatasnamakan mahasiswa. Ya sudahlah, pokoknya, asal seminar dan pameran tetap berjalan. Balon harapan masih terisi gas, bisa dilambungkan. Tapi apa lacur, seminar pun diungkret.

“Bukan kami menolak, tetapi setelah dirapatkan di universitas, UGM bersikap untuk tidak mengizinkan seminar nasional dan pameran jurnal mahasiswa internasional ini.” Modar!! Setelah bicara panjang saking emosinya, Hamid menantang tanpa perhitungan: “Tujuan kami mulia, jika UGM melarang, kami akan adakan seminar nasional tanpa mengatasnamakan UGM.” Merahlah suasana soalnya sudah banyak pembicara yang terlanjur dihubungi dan bersedia, termasuk Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri yang waktu itu masih menjabat Sekretaris Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta. Tapi, anak ini kemudian diedih-erih oleh Pak Pono dan Pak Haryono.

“UGM bukan melarang untuk seminar, tapi apa kata orang nanti jika kita mengadakan seminar pers mahasiswa nasional, tetapi kehidupan pers mahasiswa di UGM sendiri masih perlu banyak dibenahi. Kamu tahu, UGM juga belum mempunyai penerbitan di tingkat universitas, kehidupan di tingkat fakultas/jurusan juga masih kembang-kempis. Saya tahu Clapeyron mampu menyelenggarakan seminar ini, tapi bagi universitas, ini adalah sebuah omong kosong besar karena tidak mempunyai penerbitan,” kata Pak Pono. Masuk akal juga.

“Setahu kami, selama ini banyak mahasiswa di UGM yang mengajukan proposal mendirikan majalah di tingkat universitas dan ditolak oleh universitas.”

“Bukan ditolak, mereka sudah kami izinkan, tapi gombal semua. Uang sudah kami berikan tetapi nyatanya mandek dan lenyap. Mereka memang belum pernah memperoleh bukti bahwa pernah mampu mengelola penerbitan dengan baik,” kata Pak Pono lagi dengan ditimpali Pak Haryono pula: “Dibutuhkan orang yang penuh dedikasi untuk mengelola pers, dan UGM membutuhkan orang-orang demikian.” Kemudian nyerocoslah Pak Pono berkisah tentang mereka yang telah antre mau mendirikan majalah tingkat universitas….! Tapi bukti memang belum ada, artinya majalah UGM belum pernah terbit semenjak Gelora Mahasiswa dibredel tahun 1979.

“Makanya sebelum punya ambisi besar, gairahkan dulu kehidupan pers mahasiswa di UGM. Kamu boleh adakan seminar nasional jika UGM sudah beres, jika UGM sudah mempunyai konsep dan landasan yang kuat dalam pers mahasiswa,” tambah Pak Pono yang ditimpali dengan nada yang sama oleh Pak Haryono. Apa artinya? Artinya hanya boleh mengadakan seminar se-UGM saja dengan mengundang seluruh pengelola pers mahasiswa di tingkat fakultas/jurusan se-UGM untuk bersama-sama berpikir memecahkan persoalan pers mahasiswa di UGM secara umum, baik teknis maupun ideologis.

“Tapi kehidupan pers mahasiswa secara nasional lebih buruk lagi dari UGM pak, kenapa kita tidak gairahkan sekalian.”

“Ya, saya juga tahu, tapi harus dari kita dulu.”

“Apa jaminannya? Kalau kita sudah beres, lalu kami tetap boleh melaksanakan rencana seminar nasional kami?!”

“Dalam proposalmu, kamu sebutkan saja bahwa setelah seminar se-UGM ini memberikan hasil, kemudian diselenggarakan seminar nasional. Saya yang akan tanda tangan, jangan khawatir,” hibur Pak Pono. Kemudian proposal diperbaiki.

Bersambung

Ditulis dengan penyuntingan ulang oleh Haryo Sasongko.

0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi

Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

Kampus Kelabu bagi Perempuan

Kapan KKN Harus Dihapus?

Dalam Euphoria dan Miopia Reformasi

Dari Balik Barak Pabrik

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Episode-Episode Perjalanan

    Oktober 16, 2025
  • SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di Magelang

    Oktober 12, 2025
  • Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi

    Oktober 12, 2025
  • Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

    Oktober 8, 2025
  • Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas Nusakambangan

    September 30, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM