
©Kahfi/Bal
Sabtu (30-08) Yayasan Partisipasi Muda (YPM) bersama KOMAP (Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan) FISIPOL UGM menggelar diskusi publik bertajuk “Spill the Research, PoV Orang Muda Soal Ruang Sipil: Indonesia Gelap atau Terang”. Diskusi publik yang diadakan dalam rangka merespon temuan riset soal kekhawatiran generasi muda terhadap penyempitan ruang sipil tersebut, dimulai tepat pukul 13.00 WIB di Aula Timur FISIPOL UGM. Diskusi ini menghadirkan lima orang narasumber berbeda, yaitu Alfath Bagus Panuntun El Nur, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan; Neildeva Despendya, Co-Founder Yayasan Partisipasi Muda; Nadya Zafira, Peneliti Institute of International Studies UGM; Muhammad Fajar, dan Rahardika Utama, Peneliti dari Northwestern University.
Membuka diskusi, Neildeva menyebutkan bahwa sekalipun ruang sipil berperan sentral bagi demokrasi, keberadaan ruang sipil di Indonesia kerap kali menuai ancaman lewat berbagai serangan digital, seperti doxing dan buzzer. “Data dari SafeNet tahun 2025, ada 137 serangan digital sejak awal tahun dan 60 persennya menyerang aktivis,” tegas Neildeva. Baginya, penyempitan ruang sipil tersebut membawa dampak signifikan bagi keleluasaan generasi muda untuk bersuara, utamanya untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan politik pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Kekhawatiran generasi muda ini diamini Fajar. “74 persen dari 515 responden dengan jangkauan usia 20-30 tahun, mereka khawatir untuk bersuara di ruang publik, seperti media sosial,” papar Fajar. Padahal baginya, media sosial merupakan ruang sipil yang paling mudah diakses dan seharusnya menjadi ruang aman bagi generasi muda.
Alfath, lantas melanjutkan pemaparan riset Fajar mengenai penyempitan ruang sipil. Baginya, ada banyak faktor yang melanggengkan penyempitan ruang sipil di Indonesia. Salah satu yang utama adalah tingkat pendidikan masyarakat. “Orang yang kemudian ingin berdemokrasi dengan baik, berasal dari orang-orang yang punya tingkat pendidikan yang lebih tinggi,” terang Alfath.
Alfath melanjutkan masyarakat dengan pendidikan tinggi lebih kritis terhadap keadaan. Berbeda dengan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah yang lebih mudah dimobilisasi menurut kehendak kekuasaan. “Mereka yang punya tingkat pendidikan yang lebih rendah, kemampuannya lebih banyak dimobilisasi,” ujar Alfath.
Menurut Alfath, hal itu juga diperparah dengan kebijakan pemerintah yang juga tidak mendukung keterbukaan ruang sipil. “Kita seringkali bertemu dan melihat kebijakan, tapi bukan kebajikan,” terang Alfath. Baginya, pembuatan kebijakan publik begitu eksklusif dan dikuasai oleh kalangan tertentu sehingga regulasi yang dibentuk hanya menguntungkan segelintir elit semata.
Selepas Alfath, Nadya Zafira memulai pemaparannya mengenai democratic burnout. Baginya, democratic burnout adalah kondisi penurunan taraf demokrasi suatu negara melalui penyempitan ruang sipil, yang belakangan terjadi bukan hanya dalam skala nasional, melainkan internasional. “Ini tidak [hanya -red] terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di Amerika Serikat misalnya,” ujar Nadya. Ia juga menambahkan bahwa adanya momentum democratic burnout merupakan bagian dari pembelajaran demokrasi suatu negara.
Sebab menurut Nadya, demokrasi bukan hanya soal pemilu dan partai politik. Baginya, demokrasi adalah ruang sipil, tempat berekspresi bahkan pertengkaran ide dan gagasan yang harus senantiasa dijaga keberadaannya. “Intinya adalah kita melakukan pemantauan ruang sipil yang lebih analisis, lebih periodik,” terang Nadya.
Penulis: Reza Faza A. A.
Penyunting: M.Nabeel Fayyaz
Fotografer : Muhammad Al Kahfi