Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir
SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
OPINI

Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

Juni 4, 2025

©Kanza/Bal

Gelanggang Mahasiswa diresmikan sejak tanggal 31 Juli 1975 oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal TNI H. Amir Machmud. Bangunan ini digunakan sebagai sekretariat bagi Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) serta Dewan Mahasiswa se-Yogyakarta sekaligus menjadi melting point pergerakan mahasiswa di Yogyakarta. Dalam Laporan Utama Balairung, Tjahyadi mengungkapkan bahwa bangunan Gelanggang Mahasiswa memiliki nilai historis sebagai titik kumpul demonstrasi mahasiswa melawan rezim Soeharto pada tahun 1978. Selain itu, bangunan ini turut melindungi mahasiswa saat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) masuk ke kampus. 

Setelah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK) diterapkan dengan melakukan pembubaran Dewan Mahasiswa se-Indonesia pada tahun 1978–1979, organ-organ eks Dewan Mahasiswa UGM berubah bentuk menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), seperti UKM Sepak Bola dan Futsal serta Mahasiswa Pecinta Alam (Mapagama). Mulai tahun 1980, UKM-UKM tersebut mulai menempati gedung Gelanggang Mahasiswa sebagai sekretariat kegiatan. Di tahun 1994, para pegiat UKM lantas mendirikan Forum Komunikasi UKM (Forkom UKM) serta membuat klasifikasi terkait jenis kegiatan melalui Sekretariat Bersama (Sekber). 

Gelanggang Mahasiswa dapat disebut sebagai melting point kegiatan kemahasiswaan di UGM. Bukan saja tempat aktivitas pegiat UKM, tetapi juga sebagai tempat konsolidasi, hearing rektorat, dan sejak tahun 2003–2019 digunakan sebagai posko advokasi mahasiswa baru. Laporan utama BPPM Balairung (2021) menyatakan tanpa adanya Gelanggang Mahasiswa, semua UKM seperti terpecah dan tidak ada koneksi satu sama lain. Arie Sujito Dalam liputan Radar Jogja (2022) menjelaskan Gelanggang Mahasiswa menjadi lokasi sentral bagi aktivis dan kegiatan mahasiswa seperti teater, pecinta alam, seni, hingga kegiatan-kegiatan lainnya yang diadakan oleh mahasiswa dari kampus luar. 

Hal tersebut membuat kawasan gelanggang menjadi sangat ramai setiap harinya dan memiliki suasana yang hidup. Pada tahun 1991, Gelanggang Expo (Gelex) mulai diadakan di Gelanggang Mahasiswa sebagai bentuk kegiatan pengenalan UKM kepada para mahasiswa UGM, khususnya kepada mahasiswa baru. Pada tahun 1994, para demonstran rezim Soeharto juga menggunakan bangunan ini sebagai markas sembunyi.

Melihat berbagai aktivitas yang dilakukan di Gelanggang Mahasiswa, mustahil untuk menyebutnya sebagai sebuah bangunan saja. Arif Cahyono sebagai Kepala PK4L (2017–2022) menuturkan bahwa Gelanggang Mahasiswa menjadi perwajahan UGM yang sesungguhnya. Dalam artian, Gelanggang Mahasiswa tidak dimaknai sekadar sebagai sebuah tempat (place), melainkan merupakan sebuah ruang (space) yang memiliki semangat tanpa batasan materiel. 

Secara lebih dalam, Hadi (2024) dalam skripsinya yang berjudul Institutional Complexity dalam Produksi Ruang Sosial di Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa produk lived space Gelanggang Mahasiswa adalah dengan munculnya komunitas organik yang acap kali disebut sebagai Cah Gelanggang. Komunitas ini bersifat cair, tidak ada ketua, ataupun struktur. Cah Gelanggang memiliki semangat yang sama, walaupun terdiri atas latar belakang berbeda, baik dari segi peminatan, disiplin ilmu, daerah, dan kelas ekonomi. Selain itu, mereka yang telah lulus dari UGM masih memiliki semangat yang sama dengan membentuk komunitas Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Gelanggang. Manifestasi semangat tersebut tampak pada program luaran, salah satunya adalah Beasiswa Aktivitas bagi mahasiswa aktif yang menjadi anggota/pengurus UKM. 

Sesungguhnya sejak awal pendiriannya, Gelanggang Mahasiswa dikonsepkan untuk menjadi ruang kreatif bagi seluruh masyarakat Yogyakarta. Namun, terjadi pergeseran konsep Gelanggang Mahasiswa menjadi tempat bagi pusat kegiatan mahasiswa UGM saja melalui UKM dan Komunitas lantaran tidak memiliki fasilitas kemahasiswaan di fakultas. Konsepsi yang berjalan demikian lalu menambahkan variabel pegiat Gelanggang Mahasiswa menjadi ‘Gelanggang Mahasiswa’ + ‘UGM’. Fenomena pergeseran konsep Gelanggang Mahasiswa tidak diketahui secara pasti kapan terjadi, kemungkinan besar terjadi sebab mahasiswa di kampus non-UGM sudah memiliki fasilitas kemahasiswaan di universitasnya masing-masing (Lintang dalam Setyahadi, 2024). 

Komunitas Cah Gelanggang merupakan produk lived space dari Gelanggang Mahasiswa yang memiliki nilai pedoman yang tidak bersifat absolut yang kerap disebut sebagai “Spirit Gelanggang”. Spirit ini menurut Hadi mencakup prinsip humanisme, egalitarianisme, toleransi, inklusivisme, dan nilai-nilai lainnya. Spirit tersebut muncul melalui interaksi dinamis antara berbagai UKM dengan masyarakat umum dalam Gelanggang Mahasiswa. Dinamika Cah Gelanggang mendorong adanya moral logic dan environment state logic dalam setiap aktivitasnya. Maka, orientasi Cah Gelanggang bukan didasarkan atas prestasi seperti piala, kejuaraan, melainkan aktivitas berproses untuk mewujudkan sebuah kegiatan. Bagi Cah Gelanggang, kesadaran bahwa implementasi konsep lebih penting daripada sebuah hasil yang membuat terbiasa dalam membangun jaringan, relasi, dan kepercayaan. 

Spirit Gelanggang Mahasiswa tertuang dalam beberapa dokumentasi, di antaranya pada video-video dokumenter berjudul  40 Tahun Gelanggang Mahasiswa (2015), Gelanggang Mahasiswa UGM, Riwayatmu Kini (2020), serta Hidup dan Menimba Ilmu di Universitas Gelanggang Mahasiswa (2021). Berkaca pada pernyataan Cah Gelanggang, pemaknaan terhadap Gelanggang Mahasiswa direspon secara beragam dan tidak hanya diartikan sebagai pengertian bangunan. Menurut Oblo mewakili UKM Unit Fotografi (UFO), Gelanggang Mahasiswa layaknya kawah candradimuka, semua orang belajar dan berkumpul dari berbagai daerah. Selanjutnya, Rizki mengartikan Gelanggang Mahasiswa sebagai ruang tanpa sekat dimana kita dapat berkegiatan dan merdeka dalam berpendapat. Gelanggang Mahasiswa merupakan spirit untuk menempa kepekaan sosial, kedewasaan berpikir, dan kematangan dalam bersikap. 

Pemaknaan Gelanggang Mahasiswa banyak mengandung nilai filosofis seperti ungkapan Handayani yaitu Gelanggang menjadi tempat untuk belajar menjadi sosok yang menjulang tinggi dan mengakar kuat di masyarakat, dan Paningron menegaskan bahwa ruang bisa berganti. Berganti rupa, berganti bentuk, berganti warna, bahkan berganti alamat sekalipun, tetapi roh tidak pernah berkhianat pada isi dan Gelanggang bukan sebuah ruang. Gelanggang adalah sekumpulan roh, spirit-spirit yang terus bergerak dinamis mencari dan berusaha memberi arti panggilan bangsa. Lalu Cah Gelanggang juga mengartikan Gelanggang Mahasiswa sebagai sebuah rumah, tempat untuk berkumpul, bersosialisasi, tempat belajar, tempat sumber ilmu, hingga sebagai sebuah kos-kosan dan warnet. 

Fenomena tarik ulur renovasi yang berbuntut pada perobohan Gelanggang Mahasiswa saat Covid-19 melanda, tepatnya pada 2020 lalu. Bangunan baru kembali dibangun atas nama Gelanggang Inovasi Kreatif (GIK). Namun, desain final bangunan ini tidak mengakomodasi kepentingan aktivisme mahasiswa melalui ruang sekretariat, ruang sidang, kantin, ruang kesehatan, ruang kelas, ruang penalaran yang dapat dikategorikan sebagai ethnic cleansing ‘pembersihan etnis’ yang dilakukan oleh Pemerintah dan Universitas Gadjah Mada. Dalam Laporan Utama BPPM Balairung (2021), Nusantoro, anggota Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM) menyatakan bahwa pemindahan paksa dan penghancuran bangunan menunjukkan kurangnya rasa krisis dari UGM serta mengabaikan protes penolakan pindah dari UKM. 

Pembersihan etnis mengacu pada pengusiran kelompok masyarakat dari suatu wilayah tertentu seperti melalui pemindahan paksa dengan tujuan akhir terciptanya wilayah yang homogen secara etnis. Gelanggang Mahasiswa yang menempati kawasan Jalan Persatuan Nomor 1 sebelum dihancurkan tahun 2020 terdiri atas masyarakat heterogen dari berbagai latar belakang berbeda-beda dan minat bakat berbeda. Kondisi ini tidak ditemukan pada GIK UGM yang masyarakatnya berciri homogen. Apabila diklasifikasi, dinamika masyarakat Gelanggang Mahasiswa dibagi dalam tahun 1975–2015 sebagai masa berkegiatan, tahun 2015–2020 sebagai masa tarik ulur pembangunan, tahun 2020–2022 sebagai masa kekosongan wilayah, dan mulai tahun 2022 sebagai masa masyarakat baru. 

Masyarakat homogen di GIK tercermin pada fungsi bangunan dan fasilitas yang ditujukan sebagai pembentuk kelas pekerja industri di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta. Ova Emilia, Rektor UGM Periode 2022–2027 menyatakan bahwa kegiatan di GIK diperuntukkan sepenuhnya untuk kegiatan hilirisasi hasil inovasi riset ke industri serta pengembangan talenta mahasiswa, yaitu socio entrepreneur. 

Hal itu tercermin dari kawasan GIK yang disewakan kepada para penyewa untuk mempromosikan berbagai produk seperti makanan, barang, kegiatan, latihan, serta kegiatan dokumentasi. Merujuk pada dokumen Rate Card dan Katalog Dokumentasi, biaya sewa ruang di GIK mulai dari Rp500.000–Rp1.000.000 sampai dengan ratusan juta rupiah. Gerai makanan yang berada di GIK berbeda dengan konsep foodcourt di Gelanggang Mahasiswa dahulu. Konsep yang diterapkan pada GIK lebih mirip gerai di sebuah mall dengan jajaran jenama kenamaan seperti D’Crepes, Blibli, UGM Shop, Pempek Ny. Kamto, Purrfect Coffee and Gelato, Qohwah Toko Kopi & Makanan, C28 Social Space.

Laporan Utama BPPM Mahkamah (2025) mewartakan bahwa pembangunan super creative hub ini bukan sebuah renovasi fasilitas kampus belaka, melainkan pembangunan pusat kegiatan industri. Walaupun begitu, bangunan ini terlihat eksklusif terkhusus untuk kegiatan mahasiswa dari klaster sosial humaniora lantaran ketiadaan ruang laboratorium dan alat penelitian bagi klaster sains dan teknologi.

Dengan perubahan desain bangunan, perubahan waktu pembangunan, hadirnya kepentingan luar, dan perubahan orientasi, maka pertanyaan fundamental muncul dalam fenomena ini, yaitu “Apakah Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (2022–sekarang) masih memiliki spirit yang sama dengan Gelanggang Mahasiswa (1975–2020)?”. 

Realitas yang hadir dari pengalaman sejarah, hadirnya kepentingan tertentu selama pembangunan, doktrinisasi kurikulum pasar, munculnya core business dan cerita masa kini membuat penegasan bahwa GIK bukan keberlanjutan dari Gelanggang Mahasiswa.

Hal yang kemudian menjadi persoalan tidak hanya perihal ketiadaan fasilitas fisik maupun orientasi core business, tetapi juga merembet kepada eksistensi Cah Gelanggang dan esensi spirit gelanggang. Pemaknaan Gelanggang Mahasiswa menjadi sangat subjektif tergantung kepada siapa kita bertanya perihal esensi Cah Gelanggang sebagai spirit komunitas yang cair. Hal ini justru akan menghentikan produksi keanggotaan Cah Gelanggang dan menghilangkan Spirit Gelanggang.

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan atas kondisi seperti ini adalah mewujudkan persatuan gerakan mahasiswa untuk merebut dan menduduki kembali wilayah Gelanggang Mahasiswa di GIK sebagai tempat kegiatan kemahasiswaan dan pergerakan. Usaha ini bisa dimulai dengan menggiatkan kegiatan-kegiatan di GIK, seperti hearing rektorat, konsolidasi, dan diskusi UKM. Namun, hal ini harus diawali dengan tumbuhnya kesadaran bahwa Gelanggang Mahasiswa tidak hanya dimiliki oleh UKM, atau Forkom UKM, atau Kagama Gelanggang, ataupun Cah Gelanggang. Sebab seperti mandat penamaannya, Gelanggang Mahasiswa adalah milik kita bersama sebagai mahasiswa.


Sigit Bagas Prabowo

mahasiswa Fakultas Filsafat UGM angkatan 2020 yang memiliki perhatian terhadap isu sosial dan isu pendidikan, baik melalui penerbitan tulisan di media sosial, blog pribadi, maupun organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang advokasi mahasiswa.

6
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Karut-Marut Sistem KIP-Kuliah

Narasi Abal-Abal Hari Besar Nasional

Menjaga Nyala Pers Mahasiswa

Jangan Takut Referendum KM UGM

Memeriksa Dua Sisi: Perlunya Keterlibatan Konsumen dalam Penyejahteraan...

Bahaya Narsisme Intelektual dan Kaitannya dengan Media Sosial

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025
  • Kapan KKN Harus Dihapus?

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM