Sejak diruntuhkan pada April 2020 lalu, rencana pembangunan Gelanggang Baru masih menjadi wacana. Sementara itu, Unit-Unit Kegiatan Mahasiswa yang dulunya bernaung di Gelanggang kini harus menelan pil pahit hadirnya masalah-masalah baru. Lantas, bagaimana dengan tanggung jawab kampus dalam memenuhi hak organisasi kemahasiswaannya?
“Tanpa Gelanggang, semua UKM seperti terpecah dan tidak ada koneksi satu sama lain,” keluh Ahmad Ridho, Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Teater Gadjah Mada (UKM TGM) menyayangkan hilangnya ruang kumpul mahasiswa. Sudah lebih dari satu tahun Gelanggang Mahasiswa UGM rata dengan tanah dan belum ada kejelasan untuk keberlanjutan pembangunannya. Di samping itu, ada banyak sekali dampak yang dirasakan UKM setelah Gelanggang diruntuhkan. UKM dipindahkan ke sekretariat sementara yang letaknya berjauhan satu sama lain. Akibatnya, hal tersebut menghambat dinamika dan komunikasi antar-UKM.Â
Semua permasalahan yang dihadapi oleh para anggota UKM dimulai ketika Gelanggang secara buru-buru dikosongkan lalu dirobohkan. Beragam protes dan tuntutan mahasiswa pengguna Gelanggang layangkan kepada rektorat kala itu. Pasalnya, saat peristiwa tersebut terjadi banyak mahasiswa tidak berada di area kampus karena adanya upaya pencegahan kasus Covid-19. Akibatnya, proses pemindahan barang UKM menjadi terhambat. “Banyak barang-barang UKM yang memerlukan penanganan khusus dalam pemindahannya sedangkan kita dipaksa pindah dengan cepat layaknya penggusuran,” ucap Bhram Kusuma, Koordinator Panitia Kerja Pembangunan Fasilitas Kampus (Panja-PFK). Dia juga menambahkan bahwa untuk UKM yang belum memindahkan barangnya akan dipindah paksa menggunakan mobil pick up.
Ahmad Ridho, atau yang akrab dipanggil Adho menjelaskan bahwa pihaknya kewalahan untuk memindahkan barang-barang yang cukup banyak dengan tenggat waktu yang sangat sebentar. “Kami memiliki tata lampu yang sudah terpasang di Hall Gelanggang dan tentunya membutuhkan banyak waktu untuk melepaskannya satu persatu,” ucap Adho. Ia juga menambahkan, karena keterbatasan untuk memasuki area kampus, mereka jadi tidak sempat memindahkan barang-barang yang tersisa di Gelanggang. “Bahkan, ada beberapa barang UKM yang tertinggal menjadi hilang karena tak sempat dievakuasi,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, pihak kampus membenarkan bahwa perobohan Gelanggang dan pemindahan barang-barang UKM memang dilakukan sesegera mungkin. Hal ini berdasarkan permintaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selaku pelaksana pembangunan dan pemegang dana. Sebelum mulai dibangun, Kementerian PUPR menginstruksikan pihak kampus untuk mengosongkan dan membersihkan bangunan Gelanggang. Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset UGM, Bambang Agus Kironoto menyatakan bahwa pihaknya diminta untuk membersihkan Gelanggang sebelum Oktober 2020 agar dapat segera dibangun. Desakan ini mendorong pihaknya untuk meminta bantuan kepada Direktorat Aset guna mencari tempat yang bisa memfasilitasi UKM. Menjawab permintaan tersebut, Direktorat Aset UGM menyediakan perumahan dosen untuk menampung UKM terdampak. “Terpaksa beberapa UKM kita pindahkan ke rumah-rumah dinas yang sudah dibersihkan dan kita perbaiki,” ungkap Djoko Sulistyo selaku Direktur Aset UGM.
Sayangnya, setelah lahan Gelanggang dikosongkan, rencana pembangunan harus ditunda hingga saat ini. Pada mulanya, penundaan ini terjadi karena pihak Keraton Yogyakarta tidak memberikan izin pembangunan dengan desain menggunakan ruang bawah tanah. Pihak rektorat menyatakan bahwa Ngarsa Dalem melarang karena bertentangan dengan kebijakan tidak tertulis milik Keraton Yogyakarta yang terbaru. “Pak, mulai tahun 2021 semua bangunan di Yogyakarta tidak boleh pakai ruang bawah tanah,” ucap Bambang menirukan titah Ngarsa Dalem.Â
Lebih lanjut, Bambang juga menyampaikan adanya dilema mengingat apabila perintah Ngarsa Dalem tidak diikuti maka pembangunan Gelanggang juga tidak dapat dieksekusi. Dengan demikian hal tersebut menjadi salah satu masalah utama mangkraknya pembangunan Gelanggang. “Padahal ruang bawah tanah itu dibutuhkan UGM sebagai lahan parkir, tetapi ketika desain sudah jadi dan dikonsultasikan ke keraton, Ngarsa Dalem tidak menyetujui,” jelas Bambang.
Setelah melalui proses perombakan desain yang panjang, akhirnya izin bersyarat diperoleh. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pun juga mengafirmasi melalui siaran pers pada 29 Maret 2021 bahwa Sri Sultan telah merestui pembangunan Gelanggang. Meskipun demikian, pihak keraton belum menyepakati desain tanpa ruang bawah tanah yang diajukan sehingga pembangunan belum bisa dimulai. Musababnya, kawasan Gelanggang yang baru akan dibangun menjadi kawasan terbuka untuk publik, tidak untuk UGM saja sehingga harus memiliki desain yang istimewa. “Gelanggang baru akan menjadi icon dan contoh pembangunan berskala nasional, maka harus memiliki desain yang berbeda,” terang Bambang menjelaskan syarat dari keraton.
Selanjutnya, mengenai lini masa pembangunan, Muhammad Sulaiman selaku Direktur Perencanaan UGM mengungkapkan bahwa saat ini sedang dalam proses pemantapan perencanaan. Ia juga mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan dengan Kementerian PUPR untuk melaksanakan lelang dini pada 30 Desember 2021. Sehingga, perkiraan pembangunan bisa dilakukan pada awal 2022. “Karena pembangunan ini tidak bisa lepas dari aspek politis, maka akan ditarget selesai sebelum pergantian presiden yaitu akhir 2023,” imbuh Bambang. Lebih spesifik, Bambang mengaku tidak terlalu paham terkait aspek politis yang melatarbelakangi pembangunan Gelanggang.
Namun, perkembangan pembangunan Gelanggang nyatanya belum menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh UKM. Hilangnya Gelanggang banyak memunculkan permasalahan baru bagi segenap UKM. “Saat masih ada Gelanggang bisa dibilang minim permasalahan, kalaupun ada permasalahan itu dapat diselesaikan dengan cepat,” ujar Jadhug Ario Bhismo, Ketua Forum Komunikasi (Forkom) UKM UGM. Sependapat dengan Jadhug, Ade Agoes Kevin Dwi Kesuma Parta, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA-UM) UGM mengatakan bahwa ketiadaan Gelanggang juga turut mengikis kekompakan antaranggota UKM karena tidak ada tempat untuk saling bertemu. Hal ini karena masing-masing UKM terpaksa harus menempati sekretariat yang berjauhan. “Tidak adanya Gelanggang saat ini pelan-pelan menghilangkan semangat dan rasa kepemilikan atas Gelanggang itu sendiri karena tidak ada wadah untuk dipertemukan,” tekannya.
Ketiadaan Gelanggang sebagai wadah dinamika UKM ini turut disayangkan oleh Robertus Abdi Dharma Gani Satria, Ketua UKM Seni Swagayugama. Menurutnya, UKM-UKM di UGM sejatinya memiliki semangat untuk berdinamika, tetapi sangat disayangkan kini semuanya tidak mendapatkan perhatian khusus dan fasilitas terbaik. “Harusnya UKM diberi fasilitas yang baik, mengingat UGM sendiri memiliki jati diri sebagai kampus kerakyatan dan pusat kebudayaan.” ungkapnya.Â
Di samping proses pemindahan barang UKM yang mendadak dan terburu-buru, sekretariat sementara yang disediakan oleh pihak kampus harus ditata ulang dari awal. Hal tersebut dikarenakan terdapat kerusakan seperti kebocoran pada atap dan juga kondisi air yang keruh. Kerusakan ini berdampak pada kerusakan barang UKM. “Gamelan banyak berjamur akibat terkena air hujan sehingga teman-teman tidak bisa latihan,” ucap Gani.Â
Sekretariat sementara yang disediakan tidak memadai karena terlalu sempit untuk menyimpan barang-barang. Seperti halnya matras milik UKM Taekwondo yang sebelumnya tersimpan dengan baik di gudang Gelanggang sekarang harus disimpan di bawah tangga Stadion Pancasila. Hal ini menyebabkan keawetan dari aset UKM menurun sehingga mudah rusak. “Apabila matras disimpan di bawah tangga tribun maka akan cepat merusak matras,” ujar Galang Baasith Adidharma, anggota UKM Taekwondo.
Menanggapi masalah pertanggungjawaban, Bambang menjelaskan jika fasilitas dipakai untuk kegiatan mahasiswa, maka akan menjadi tanggung jawab Direktorat Kemahasiswaan UGM. “Kalau ada kebocoran atau kerusakan informasikan saja, nanti aset akan tanggap dan akan segera diperbaiki,” ucap Bambang. Sementara itu, Sindung Tjahyadi selaku Kasubdit Organisasi & Fasilitas Mahasiswa menambahkan jika kerusakannya minor akan diperbaiki oleh pihaknya tetapi jika kerusakannya bersifat mayor maka akan dialihkan Direktorat Aset UGM. “Kalau minor kami yang perbaiki, tetapi jika mayor kami laporkan ke aset karena kuasa dan kemampuannya sudah aset,” tutupnya.
Menyinggung masalah tidak memadainya fasilitas, Adho menjelaskan bahwa mereka mengalami hambatan pada saat mengadakan Kegiatan Pekan Olahraga dan Seni Gadjah Mada (Porsenigama). Ketika Gelanggang masih ada, mereka bisa menyelenggarakan kegiatan dengan mudah tanpa harus kesulitan mencari tempat yang menghabiskan banyak biaya. “Kalau mau nyari tempat lain meskipun masih di universitas juga perizinannya susah, karena sedang masa pandemi,” ucap Adho.
Lebih lanjut, karena tempat yang diberikan sangat terbatas, timbullah masalah pengelolaan tempat latihan. Masalah ini salah satunya terjadi antara UKM Taekwondo dengan UKM Marching Band. Tempat latihan harus digunakan secara bergantian sehingga harus ada pihak yang mengalah. “Tempat latihan kita bergantian sama Marching Band, jadi harus negosiasi sehingga tetap tidak bisa leluasa,” ungkap Galang. Hal serupa juga terjadi pada UKM Swagayugama dan UKM Gamaband. Mereka harus bergantian dalam menggunakan Ruang Sidang B yang berlokasi di lantai tiga Gedung PAU-Pascasarjana UGM. Hal ini menimbulkan beberapa kendala koordinasi antar UKM terkait jadwal latihan yang bertabrakan. Gani menjelaskan bahwa ruangan tersebut seharusnya diperuntukkan UKM bidang seni tari, tetapi UKM lainnya juga memohon untuk menggunakannya karena terbatas ruang untuk berlatih. “Untungnya Forkom mengkoordinir UKM yang belum terfasilitasi tempat latihan sehingga perebutan bisa diminimalisir,” jelas Adho.Â
Demi mendapatkan tempat latihan yang memadai serta menghindari perebutan, banyak UKM yang mencari tempat di luar universitas untuk berlatih dan mengadakan pentas. Adho mengungkapkan bahwa ketika TGM ingin mengadakan pementasan harus menyewa tempat lain dan mengeluarkan dana yang lebih banyak. Ia menegaskan terkait hal tersebut masih belum bisa diakomodasi oleh pihak universitas. Swagayugama juga merasakan hal yang sama. Ketika hendak latihan untuk mempersiapkan pentas mereka harus latihan diluar karena tidak ada tempat untuk latihan di kampus. Pada saat menyewa tempat di luar, mereka juga menggunakan dana mandiri. “Untuk latihan persiapan pentas kami sewa tempat dan itu menggunakan uang UKM sendiri karena sarana kurang mendukung,” ujar Gani.
Di sisi lain, pihak kampus menyatakan bahwa mereka tetap bertanggung jawab atas dana yang dikeluarkan oleh masing-masing UKM baik untuk melakukan kegiatan rutin maupun untuk biaya sewa tempat. Namun, skema pertanggungjawaban penggantian dana tersebut ternyata tidak dalam bentuk kompensasi tetapi tetap masuk dalam dana pagu tahunan yang sudah dirumuskan setiap UKM di awal tahun. Sindung juga mengatakan bahwa jika UKM diharuskan untuk menyewa tempat, maka dana tersebut bisa dianggarkan dalam pos anggaran sewa fasilitas. Jika mekanismenya dilakukan sesuai prosedur, seharusnya dana akan cair. “Kami menyadari sepenuhnya ada konsekuensi ketika merobohkan Gelanggang, yaitu harus memfasilitasi kegiatan mahasiswa dengan cara lain,” tegasnya.Â
Di samping pertanggungjawaban terhadap UKM yang tergabung dalam Sekber Kesenian, Jadhug menjelaskan bahwa saat menuju new normal, rektorat memfasilitasi berbagai UKM Olahraga di GOR Lembah yang dikelola oleh Gama Residence. Namun, untuk memakai fasilitas tersebut, mereka tetap harus membayar uang sewa. Pasalnya, Gama Residence juga sedang mengalami masalah defisit keuangan. “Untuk menggunakan GOR Lembah, UKM harus bayar. Jadi, menurut saya rektorat belum menjalankan tugasnya dengan baik,” tegas Jadhug.
Berangkat dari kekecewaan dan keresahan akan kelanjutan pembangunan Gelanggang, mahasiswa mengadakan berbagai aksi damai dan audiensi bersama pihak rektorat. Salah satunya adalah “Aksi Mural Gadjah Mada dan Kebun Raya Gelanggang”. Menurut Jadhug, aksi tersebut dilakukan dalam rangka menuntut transparansi dari rektorat akan pembangunan Gelanggang. Sebab, Forkom dan UKM merasa ada kesenjangan informasi antara universitas dan mahasiswa. Ia juga menambahkan bahwa perkembangan informasi pembangunan Gelanggang selalu ditanggapi dengan jawaban klise oleh rektorat. “Rektorat selalu mengatakan masih dalam tahap perencanaan. Namun, rektorat juga bilang bahwa Detail Engineering Design (DED) itu sudah ada meskipun sampai sekarang tidak ada respons lagi,” ucap Jadhug.
Menanggapi aksi dan tuntutan mahasiswa, Bambang menjelaskan bahwa ia lebih menyukai audiensi secara langsung agar informasi tersampaikan dengan akurat. Ia mengaku tidak mempermasalahkan aksi-aksi tersebut meskipun ditekan berbagai tuntutan. “Jika kita terpengaruh, maka sama saja kita mengorbankan profesionalisme yang selama ini sudah dilakukan,” ucap Bambang.Â
Menyoroti segala permasalahan yang terjadi, Gani selaku Ketua UKM Swagayugama berharap pihak kampus dapat dengan besar hati memberikan fasilitas yang layak. Sebab, fasilitas yang layak tersebut sangat penting bagi produktivitas UKM. “Kalau UKM bisa produktif dan berhasil, reputasi UGM juga yang akan terangkat,” pungkasnya.
Penulis: Hadistia Leovita Subakti, Wahid Nur Kartiko, dan Sekarini Wukirasih (Magang)
Penyunting: Yeni Yuliati
Fotografer: Alika Bettyno Sastro (Magang)