
©Manggar/Bal
Setelah 20 tahun, pemerintah mencabut Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Pencabutan ini dibarengi dengan pemberlakuan peraturan baru, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Perizinan Kegiatan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pembaruan peraturan ini ditujukan untuk mengoptimalkan hasil sedimentasi laut dalam pembangunan dan rehabilitasi daerah pesisir. Dengan adanya kebijakan ini, pembukaan kembali kegiatan ekspor pasir laut juga semakin masif. Hal tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan merampas ruang hidup masyarakat pesisir serta para nelayan.
Untuk menggali isu pembaruan peraturan ini, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Muhammad Karim, Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi. Karim menjadi seorang aktivis lingkungan dan kelautan yang sampai sekarang aktif menyuarakan isu ekspor pasir laut. Dalam wawancara yang dilakukan pada Selasa (26-11), ia menyampaikan bahwa peraturan ini seharusnya dicabut. Menurutnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diperoleh pemerintah dari ekspor pasir tidak sebanding dengan kerugian yang didapatkan oleh masyarakat. Simak wawancara lengkapnya.
Dalam pembaruan peraturan yang ada, pemerintah berdalih bahwa ekspor pasir laut akan meningkatkan pemasukan negara dan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana pendapat Anda mengenai pernyataan tersebut?
Masalah pasir laut di Indonesia sudah cukup lama, bahkan sejak tahun 1996 sampai tahun 2002 baru dihentikan. Saya kira keliru jika menganggap bahwa kegiatan penambangan pasir laut dapat meningkatkan kesejahteraan. Masyarakat Kepulauan Riau saja sampai hari ini belum mengalami pemulihan sumber daya kelautan, bahkan beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau sudah hilang. Bayangkan teman-teman, aturan itu belum dilegalkan untuk ekspor, tetapi sudah ada yang melakukan pencurian di Kepulauan Riau beberapa minggu lalu, kapal dari Singapura.
Pemerintah sudah menetapkan lokasi pengelolaan hasil sedimentasi laut yang sebesar 51,05% berada di Kepulauan Riau, tepatnya di Perairan Natuna Utara. Penetapan lokasi tersebut termuat dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Artinya, nanti pasti diekspor ke Singapura. Berdasarkan data ini, dapat diyakini bahwa pengelolaan hasil sedimentasi tersebut bukan seperti yang termuat dalam berbagai peraturan yang ada. Sedimentasi laut itu hanya kamuflase saja karena sebetulnya yang diekspor pasir laut.
Bicara mengenai dampak, saat ini sudah sejauh apa dampak yang terjadi pada masyarakat pesisir, terutama nelayan akibat dari eksploitasi pasir laut?
Akibat penambangan pasir laut, nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan sampai 56%. Contohnya, kasus timah di Bangka Belitung yang disedot dari laut, begitu pula pengerukan pasir laut. Hal ini akan mengubah geomorfologi perairan. Semakin dalam pengerukan laut, arus dan gelombang lautnya akan berubah sehingga menyebabkan hilangnya rumah ikan. Kemudian, tingkat kekeruhan airnya semakin tinggi yang mengancam ekosistem, seperti terumbu karang dan rumput laut yang memerlukan sinar matahari untuk fotosintesis.
Padahal, umumnya kedalaman pengambilan pasir laut hanya berkisar 10-30 meter. Pada kedalaman tersebut, sinar matahari masih dapat menembus sehingga ketika diambil pasirnya, ekosistem di bawahnya akan hancur. Sebagai contoh, di Kepulauan Riau itu ada sejenis ikan yang disebut ikan dingkis, mereka dipelihara secara alami menggunakan sebuah sekatan yang orang Riau sebut kelong. Ikan dingkis akan dipanen menjelang Tahun Baru Imlek, dijual ke Singapura dan Malaysia dengan harga Rp500.000 per kilo.
Hal ini sebenarnya menjadi sumber penghidupan mereka. Namun, pengambilan pasir laut menyebabkan penurunan jumlah ikan sehingga masyarakat Kepulauan Riau mengalami kesulitan dalam memelihara ikan dengan sistem kelong. Akibatnya, mereka harus pergi lebih jauh untuk menangkap ikan, padahal mereka tidak memiliki kapal dengan mesin dan peralatan yang memadai.
Apakah warga pesisir mengalami masalah struktur sosial? Apakah diantara mereka muncul suatu permasalahan akibat eksploitasi ini secara sosial?
Ya, itu pasti. Di Kepulauan Riau, terutama di sekitar Batam, banyak yang dihuni masyarakat lokal, seperti masyarakat adat Melayu dan suku Laut yang terkenal, juga para nelayan. Suku Laut ini memang mereka hidupnya bergantung kepada hasil laut. Artinya, eksploitasi pasir laut menghilangkan mata pencaharian mereka. Sekarang kan yang dieksploitasi pasir kuarsa di Pulau Rempang, untuk pabrik kaca. Nah, itu akan dieksploitasi untuk dijadikan apa? Proyek Strategis Nasionalkan.
Menurut saya, sudah pasti ada dampak sosial ekonominya karena nelayan kehilangan daerah tangkapan mereka. Para nelayan juga harus melaut lebih jauh, yang tadinya hanya sejauh 1 mil, kini mereka harus melaut 3–4 mil dari garis pantai. Hasil tangkapannya pun tidak sesuai harapan. Hal ini tentu berdampak pada sosial dan ekonomi para nelayan. Eksploitasi pasir laut ini justru memperparah kemiskinan ekstrem yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, berdasarkan yang saya baca di Kepmen, pemerintah menekankan kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat untuk memberikan tanggung jawab sosial (CSR) dan rehabilitasi ekosistem. Menurut saya, hal itu aneh karena kalau tingkat kekeruhannya sudah tinggi, tidak akan bisa direhabilitasi. Jadi, tidak ada yang bisa membenarkan bahwa eksploitasi pasir laut ini menyejahterakan nelayan, justru menyebabkan kerusakan ekologis dan ketimpangan ekonomi.
Seperti yang sudah disebutkan, eksploitasi pasir laut menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan. Nah, apakah ada konflik antara nelayan dengan pihak yang terlibat dalam penambangan pasir laut?
Sebenarnya sebelum ada peraturan ini kan sudah ada yang mengambil pasir laut di Kepulauan Riau. Mereka sudah protes di sana, masyarakat sudah ribut sama pengusaha-pengusaha lokal yang mengambil pasir. Mereka merasa aktivitas penangkapan ikan terganggu, kemudian pesisir pulau kecil mereka mengalami erosi sampai ada demonstrasi.
Konflik seperti itu sudah terjadi, terutama masyarakat-masyarakat yang mengalami kerugian akibat penambangan pasir laut. Ya, konfliknya pertama perebutan sumber daya lah. Di satu sisi, masyarakat nelayan tidak mau diganggu ketika menangkap ikan dengan aktivitas penambangan tersebut. Tapi kan, orang juga ingin mengambil sumber daya pasir itu untuk dijual. Sudah pasti terjadi konflik perebutan sumber daya, yang kalah pasti nelayan kecil.
Bagaimana seharusnya langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini?
Menurut saya, langkah yang harus dilakukan pemerintah ya cabut aturan itu. Tidak usah mengekspor pasir laut. Sampai sekarang saja yang Kepulauan Riau saja dari tahun 2000 belum pulih dan pemerintah tidak melakukan apa-apa. Perlu diketahui, untuk memulihkan Pulau Nipah itu membutuhkan 85 miliar, sedangkan di Kepulauan Riau sudah hilang sekitar 7 pulau akibat eksploitasi pasir laut sejak tahun 1976-2022.
Sekarang ini kan pemerintahan baru Prabowo, perhatiannya ke laut itu makin berkurang. Kita tidak tahu dalam lima tahun mendatang, apakah kejahatan eksploitasi sumber daya kelautan akan terus berlanjut. Kalau untuk saya, kalau pemerintah berani, cabut peraturannya supaya nelayan di kepulauan itu nyaman lagi hidupnya.
Peraturan ini seharusnya dihentikan seperti tahun 2002 sehingga ekosistem laut bisa melakukan proses pemulihan secara alami. Kemudian, pemerintah dapat melakukan pengawasan dan penindakan terhadap kapal-kapal ilegal. Ekspor pasir laut sendiri pasti ada mafianya. Jadi, itu memang bisnis yang uangnya besar sih. Tapi, yang rugi itu para nelayan dan ekosistem laut. Itu kan gila kerusakannya.
Apakah ada kompensasi dari pemerintah terhadap masyarakat yang terdampak?
Setahu saya, hanya sekali diberi Rp300.000,00 di tahun 2023 dan tidak pernah ada lagi. Jika dihitung kompensasinya itu, waduh, berapa triliun uang yang harus dikeluarkan? Ini bukan hanya mengenai kehilangan mata pencaharian, tetapi juga kerusakan ekosistem di sana. Nah, cara memulihkannya bukan perkara mudah. Kalau mengeksploitasi satu kapal tongkang pasir laut, itu butuh 1-10 miliar, biaya pemulihannya bisa mencapai lima kali lipatnya. Nah, itu yang menyediakan duit siapa? ‘Kan tidak ada sampai hari ini, tidak pernah ada sejak tahun 2022. Nelayan-nelayan di kepulauan itu tidak pernah mendapatkan itu.
Apakah ada langkah lain yang dapat dilakukan selain pemulihan alami untuk merestorasi ekosistem yang telah rusak tersebut?
Terakhir kali saya bertemu nelayan-nelayan Kepulauan Riau, tidak ada sama sekali upaya dari pemerintah. Beberapa pulau kecil itu sudah habis digerus hingga gundul, tapi setelah habis ditinggalkan, tidak pernah direklamasi juga itu barang. Kalau Anda lihat di Kepulauan Riau, tidak pernah direklamasi, daerah tambang yang rusak harusnya direklamasi pascatambang.
Cara paling gampang untuk memulihkan ekosistem itu biasanya selain transplantasi barang-barang bekas, misalkan bekas becak dan mobil itu dibuang di laut untuk membuat karang buatan. Tapi, kalau tingkat kecerahannya rendah atau tingkat kekeruhannya tinggi itu tidak mungkin terjadi. Harus dilakukan di perairan yang memang bagus, masih cerah sehingga ketika bekas mobil atau becak ditaruh di situ dan ditenggelamkan, dapat menjadi karang buatan. Itu nanti akan membentuk karang buatan sehingga ikan akan tinggal di situ dan lama-lama akan menjadi rumpon buatan, ikannya banyak. Tapi, kalau misalnya [tingkat-red] kekeruhan lautnya tinggi, ya tidak mungkin.
Penulis: Ahmad Arzani Ibnul Hikam, Nayla Thalita, Syahla Nurkhaifa (Magang)
Penyunting: Hafidh Zidan Nur Ridho
Ilustrator: Manggar Eiklessia Widdy (Magang)