Selasa (17-01), puluhan mahasiswa dari berbagai elemen menemui Ova Emilia, Rektor UGM, beserta jajarannya guna menindaklanjuti persoalan Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI) yang belum terselesaikan pada hearing rektorat sebelumnya. Pasalnya, dari 22 poin tuntutan yang diajukan mahasiswa dalam hearing rektorat tersebut, hanya poin pencabutan SSPI yang tidak disepakati oleh Arie Sujito; Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni. Alhasil, dalam hearing kali ini, mahasiswa kembali menagih tuntutan pencabutan SSPI tersebut dan mempertanyakan urgensi penetapannya kepada rektorat.
Gielbran Muhammad Noor, perwakilan unsur mahasiswa, pertama-tama mengungkapkan bahwa Permenristekdikti No. 17 tahun 2015 yang menjadi landasan formil dari SSPI sudah tidak berlaku lagi. Ia juga mengungkapkan, penetapan Surat Keputusan Rektor tentang SSPI pada 7 Juli 2022, ternyata saat itu belum diketahui oleh Direktorat Kemahasiswaan. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut belum diketahui secara struktural UGM itu sendiri. “Nampaknya kebijakan SSPI ini diambil secara tergesa-gesa,” ujar Gielbran.
Menanggapi Gielbran, Arie mengutarakan alasan terkait urgensi pemberlakuan kebijakan SSPI, yakni bertambahnya jumlah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Menurutnya, hal ini berbuntut pada berkurangnya subsidi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai sumber keuangan universitas. “Subsidi untuk PTN-BH sudah tidak sebesar dulu lagi sehingga kita butuh dana lain,” ujarnya.
Menambahkan Arie, Ova mengatakan bahwa membangun universitas juga tidak bisa hanya dengan bermodal dari Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ia beralasan, penghasilan maksimal yang diperoleh universitas melalui UKT hanya sebesar 30 persen. “Tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan dan membiayai riset hanya dengan UKT, nonsense,” tuturnya.
Kemudian, Ova mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah orang tua yang merasa biaya pendidikan UGM sangat murah. Oleh karena itu, ia merasa bahwa SSPI diadakan sebagai wadah untuk menampung sumbangan dari mereka. “Lagipula, 95 persen mahasiswa yang masuk melalui Ujian Mandiri berasal dari keluarga mampu,” klaim Ova.
Menanggapi pernyataan Ova tersebut, Gielbran menyinggung adanya Sahabat UGM yang selama ini telah menjadi wadah sumbangan dari masyarakat untuk tambahan pendanaan UGM. Menurutnya, dengan menambahkan opsi sumbangan dari orang tua mahasiswa baru ke dalam Sahabat UGM, hal itu sudah dapat dijadikan sebuah solusi pendanaan alih-alih pengadaan SSPI. “Apabila tujuan SSPI untuk mengakomodir sumbangan dari orang tua, kenapa tidak lewat satu pintu saja, yaitu Sahabat UGM?” tanya Gielbran.
Namun, Ova tidak menjawab pertanyaan Gielbran dan justru mempertanyakan alasannya keberatan dengan SSPI. Bahkan, ia tetap bersikeras bahwa kebijakan SSPI bukan sesuatu yang salah. Ova juga mengatakan bahwa sumbangan yang masuk ke Sahabat UGM tidak hanya dari orangtua, melainkan juga dari alumni dan mitra. “Itu salah satu cara kita untuk menambah pundi-pundi,” ujarnya.
Setelah Ova selesai bicara, Gielbran berusaha untuk menanyakan kembali pertanyaan yang belum dijawab Ova. Akan tetapi, alih-alih menjawab, Ova justru mengatakan bahwa UGM akan menetapkan sistem uang pangkal. ”Ke depannya, kita akan seperti universitas lain yang menerapkan uang pangkal,” ujar Ova.
Merespons pernyataan tersebut, Gielbran mendesak rektor perlu mengkaji ulang kebijakan SSPI dan melibatkan mahasiswa dalam pengambilan keputusannya. “Kami juga meminta komitmen rektor untuk menekankan bahwa SSPI tetap ada nominal Rp0 dan bersifat opsional,” tegasnya.
Namun, desakan Gielbran langsung ditepis oleh Ova. “Anda minta seperti itu, tapi menuntut semua harus bagus. Kita realistis saja lah,” dalihnya.
Bhram Kusuma, salah satu perwakilan unsur mahasiswa, lantas menyambut desakan Gielbran dengan mengungkapkan harapannya tentang opsi Rp0 pada SSPI. Akan tetapi, Arie justru menepis ucapan Bhram dan menunjukkan sikap enggan. “Sudahlah, tidak perlu dijawab,” pungkasnya.
Dalam wawancara bersama BALAIRUNG (18-01), Gielbran menyayangkan keputusan UGM untuk mengadakan uang pangkal di waktu yang akan datang. Menurutnya, sifat kebijakan itu bertentangan dengan salah satu jati diri UGM. “UGM rela menanggalkan statusnya sebagai kampus kerakyatan demi menetapkan adanya uang pangkal,” sesal Gielbran.
Tugus Trisna Triandana Putra, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa, turut berkomentar atas wacana SSPI yang beralih menjadi uang pangkal. Komentarnya berangkat dari status UGM sebagai PTN-BH yang pada prinsipnya harus bisa menyediakan pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat. Oleh karena itu, apabila UGM pada akhirnya menerapkan kebijakan uang pangkal dan bersifat wajib, menurutnya hal ini merupakan tindakan yang salah. “Kalau diwajibkan, aku menolak. Mau apapun alasan dan rangkaiannya,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menambahkan, “Kalau sampai pengadaan (uang pangkal) ini dipukul rata, ini tidak tepat. Sebab, aturannya juga harus memerhatikan kemampuan ekonomi orangtua dan segala ketentuan lain, jika dilihat dari Permendikbud No. 25 Tahun 2020,” ungkapnya.
Reporter: Sidney Alvionita Saputra
Penulis: Aisha Dinda, Alfiana Rosyidah, dan Nandini Mu’afa (Magang)
Penyunting: Tiefany Ruwaida Nasukha
Fotografer: Noor Risa Isnanto
8 komentar
Mahasiswa perlu belajar bijak, tidak sekedar asal demo atau menentang kebijakan hanya sebagai bukti bahwa mahasiswa itu kritis. Cobalah berpikir bahwa untuk maju butuh dana dan pahami kesulitan pihak rektorat untuk memajukan riset, sarana, dan lainnya. Ayo demo tapi demo mendukung kebijakan yg baik
Tolong di cermati kembali Permenristekdikti No. 17 tahun 2015 ttg apa ya..? relevan atau tidak..?
Menurut saya, pengkajian mengenai SSPI perlu dilakukan dari pihak rektor, sedangkan dari pihak mahasiswa, perlu mengalami pengkajian pemahaman dan pemikiran mengenai kerealistisan keadaan yang sedang dihadapi. SSPI menurut saya patutnya bisa dikenakan terhadap para mahasiswa baru yang masuk melalui jalur mandiri, sedang untuk yang masuk melalui snbp snbt tidak perlu membayar SSPI, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa kampus negeri…. selama penggunaan SSPI ini benar, kampus akan selalu berkembang dengan uang SSPI sebagai salah satu pendapatannya… Penetapan biaya SSPI harus dilakukan dengan terbuka oleh pihak rektorat UGM… sehingga juga tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak-pihak yang ada…
Saya secara pribadi mendukung Mas Gielbran dkk, dengan melirik kondisi ekonomi rakyat yang belum stabil ini, SEPATUTnya pihak rektor UGM mempertimbangkan lagi apa yang menjadi tuntutan perwakilan Mahasiswa. Malah menurut hemat saya pihak Rektor UGM harusnya kembali kepada visi dan misi awal yaitu Kampus Kerakyatan.
tujuan +nya utk bisa menaikkan daya saing PT Swasta…
Ini rektor yg kemarin bela si ijazah palsu.
Memasuki fase kritis. Sgt banyak ortu dr kalangan kurang mampu yg ingin agar anaknya kelak mjd lebih bernasib baik melalui giat belajar dan bisa masuk UGM, lalu lulus dan diterima kerja bergaji besar spt banyak cerita sukses selama ini.
Uang pangkal ini bisa mjd tantangan tambahan, sekaligus bisa menjadi pemutus harapan.
Mas arie sudjito kok sdh tdk ganas membela rakyat spt dulu lagi ya setelah dpt kursi empuk wakil rektor bidang kemahasiswaan