Selasa (13-12), puluhan mahasiswa dari berbagai elemen duduk menanti kehadiran Ova Emilia, Rektor UGM, beserta jajarannya di Kantor Pusat UGM. Sudah lebih dari satu jam, tetapi mereka tak kunjung datang. Pukul 15.30, Arie Sujito selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni; Henri Suyatna, Sekretaris Direktorat Kemahasiswaan; dan Djarot Heru, Sekretaris Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat, akhirnya tiba. Ova tidak menghadiri Hearing Rektorat kali ini karena sedang menjalani agenda lain.Â
Sejumlah isu menjadi pembahasan dalam Hearing Rektorat ini. Salah satunya adalah permasalahan Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI). Afif Dzulkarnain, anggota Tim Panitia Kerja (Panja) SSPI, memaparkan sejumlah kecacatan dari implementasi kebijakan tersebut. “SSPI ini dinilai cacat formil karena Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 yang menjadi dasar hukumnya sudah dicabut,” ujar Afif.Â
Bersama dengan itu, Afif juga menyebutkan adanya salah satu kantong pemasukan kampus, yakni Sahabat UGM, yang sejatinya sudah menampung sumbangan bersifat sukarela. Berdasarkan rekapitulasi, pemberian uang yang diterima oleh UGM melalui program itu sudah mencapai 55 miliar rupiah. “Sumbangan Sahabat UGM memiliki alokasi yang sama dengan SSPI, yakni kebutuhan-kebutuhan seperti beasiswa dan pembangunan. Lantas, apa gunanya SSPI diadakan?” tanya Afif. Pada penghujung presentasinya, Afif kembali menegaskan bahwa mahasiswa menuntut supaya SSPI dihapuskan saja.
Ketika mendengar tuntutan dari mahasiswa yang menginginkan penghapusan SSPI, Hendry Julian, perwakilan dari Kantor Hukum dan Organisasi (Hukor) UGM, melontarkan pembelaan. “Dalam hukum, ada yang namanya asas presumptio iustae causa. Asas itu menyatakan bahwa keputusan tata usaha negara masih dianggap benar sampai dinyatakan salah oleh hakim,” terang Hendry.Â
Di sisi lain, Veri Antoni, Kepala Kantor Hukor UGM, membenarkan poin pertama yang disampaikan Afif. Ia tidak mengelak bahwa Permendikbud No. 39 Tahun 2017 memang sudah kadaluarsa. “Ini murni ketidakcermatan saya saat mempersiapkan SSPI,” ucapnya.
Sementara itu, Arie menjanjikan akan adanya transparansi penyaluran dana yang didapat dari SSPI. “Membuat transparansi dana memang tantangan bagi kita. Namun, nanti kita akan menyampaikan pemanfaatan SSPI,” janjinya.
Selain menjanjikan pihaknya akan menjadi lebih terbuka terkait penyaluran dana SSPI, Arie juga menyebutkan bahwa uang yang diterima sudah dimanfaatkan sesuai tujuan. Sebagian dari dana akan digunakan untuk memperbaiki fasilitas kampus yang sudah usang, sedangkan sisanya untuk biaya riset dan beasiswa. “Berkat diadakannya SSPI, UGM jadi bisa memberikan beasiswa yang luar biasa banyak,” klaim Arie.Â
Menanggapi pernyataan Arie, Afif menyebut bahwa surplus dana yang dimiliki oleh UGM sebenarnya sudah bisa menutup kebutuhan akan beasiswa bagi mahasiswa. Ketika diwawancara oleh Balairung, ia juga menjelaskan mengenai sektor-sektor yang termasuk dalam fungsi pembiayaan Sahabat UGM. Tiga sektor tersebut adalah dana abadi, dana nonabadi, dan dana nontunai. SSPI, lanjut Afif, termasuk ke dalam sektor dana nonabadi yang berfungsi sebagai pendukung dana beasiswa mahasiswa, fasilitas, dan peningkatan layanan mahasiswa. “Peruntukan dana nonabadi sejalan dengan fungsi SSPI. Lantas, apa gunanya ada Sahabat UGM jika kemudian masih ada SSPI?” herannya.Â
Rentetan kontroversi mengenai SSPI tidak hanya berhenti sampai di situ. Berkaitan dengan cacat formil, Afif mengungkapkan bahwa terdapat rencana dari Panja SSPI untuk mengajukan kebijakan SSPI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hingga saat ini, Panja SSPI masih pada tahap meneliti dan mengkaji aspek hukum terkait peluang dan syarat untuk mengajukan ke PTUN. Afif menyebut terdapat satu syarat yang tidak dapat dipenuhi, yaitu syarat waktu pengajuan maksimal 90 hari setelah kebijakan diberlakukan. “Namun, pengajuan masih mungkin dilakukan karena terdapat asas-asas lain yang bisa menjadi pertimbangan,” tambahnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Bhram Kusuma, Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa UGM. Selain cacat formil dalam kebijakan SSPI, Bhram juga menyebut bahwa terdapat pertimbangan material yang melandasi pergerakan mahasiswa dalam menuntut kebijakan SSPI kepada pihak Rektorat. “Teman-teman mahasiswa angkatan 2022 seakan-akan memberikan sumbangan 5 miliar rupiah dengan kondisi payung hukum yang compang-camping,” lanjut Bhram. Namun, ia tidak tahu-menahu dengan pertimbangan layak atau tidaknya pengajuan kebijakan SSPI ke PTUN.
Lebih lanjut, Bhram menyebutkan tiga syarat apabila pihak rektorat masih kukuh untuk memberlakukan kebijakan SSPI. Tiga syarat tersebut adalah kejelasan payung hukum, transparan dalam konteks pertanggungjawaban dana, dan alokasi dana yang jelas. Bhram berpendapat bahwa mahasiswa tidak akan lagi gusar apabila ketiga syarat tersebut terpenuhi. Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa kebijakan SSPI memiliki peluang menuju pemberlakuan sistem uang pangkal. “Kita tidak pernah tahu ke depannya akan bagaimana, apakah kebijakan ini merupakan gelombang pertama atau memang hanya berhenti sampai di sini,” jelas Bhram.
Senada dengan Bhram, Afif turut menyampaikan hal-hal yang harus diperhatikan apabila kebijakan SSPI diberlakukan. Ia menekankan bahwa harus terdapat kejelasan alokasi dana SSPI, seperti untuk pembangunan fasilitas, beasiswa untuk mahasiswa, dan lain sebagainya. “Meskipun langkah penerapan SSPI dari awal sudah salah, tetap harus ada transparansi dan pertanggungjawaban yang jelas,” tegasnya.
Afif juga menambahkan, dana SSPI seharusnya dialokasikan untuk pelaksanaan dan pengembangan program-program yang substantif dan bermanfaat bagi mahasiswa. Ia khawatir jika tidak ada pertanggungjawaban yang transparan terkait dana SSPI, maka dapat berdampak pada pelaksanaan program-program yang tidak jelas urgensinya dan minim substansi seperti “Pojok Bulaksumur”. “Jangan sampai dana SSPI digunakan untuk kepentingan program yang hanya bertujuan sebagai branding personal-personal yang ada dalam Rektorat,” pungkas Afif.Â
Reporter: Sidney Alvionita Saputra
Penulis: Cahya Saputra dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Fotografer: Sidney Alvionita Saputra