Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 menyebabkan korban meninggal dunia sejumlah 135 orang. Orang-orang yang berada dalam stadion tersebut berdesak-desakan untuk mencari jalan keluar akibat panik karena serangan gas air mata oleh aparat. Tragedi tersebut tidak hanya persoalan penggunaan gas air mata, tetapi juga kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap suporter.
Berdasarkan temuan Komnas HAM, ada lima tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI Angkatan Darat, yakni menendang, memukul menggunakan tongkat, menjatuhkan, menarik, dan membawa suporter ke pinggir lapangan. Menanggapi hal ini, pihak militer menyatakan akan melakukan investigasi dan menjatuhkan hukum pidana kepada anggota yang melakukan kekerasan jika terbukti bersalah. Namun sampai saat ini, tidak ada kabar lebih lanjut mengenai putusan hukuman yang dijatuhkan kepada anggota TNI tersebut.
Menindaklanjuti permasalahan ini, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Made Supriatma, seorang pengamat militer dan peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute. Ia pernah menyumbangkan tulisannya mengenai gas air mata dan Tragedi Kanjuruhan pada situs Project Multatuli. Dalam wawancara ini, Made memberikan pendapatnya terkait kekerasan militer pada Tragedi Kanjuruhan.
Bagaimana pendapat anda mengenai kekerasan TNI di Tragedi Kanjuruhan?
Kebudayaan kekerasan yang dilakukan oleh TNI masih tetap sama seperti dulu. Mereka merasa bahwa melakukan kekerasan adalah upaya untuk mengamankan negara ini. Sejujurnya, saya kurang tahu apa yang mereka lakukan di sana karena sekarang hubungan antara militer dengan sipil sudah banyak berubah. Peran yang dulu dilakukan oleh tentara telah digantikan oleh polisi. Oleh karena itu, pengamanan massa yang merupakan masyarakat sipil adalah hal yang berada di luar area penanganan tentara.
Mengenai gas air mata, apakah gas air mata berbahaya dan berpotensi menyebabkan kematian?
Berdasarkan pengamatan saya, belum ada studi yang menjelaskan potensi kematian dari gas air mata. Itu sebabnya gas air mata digunakan untuk penanganan massa karena mereka tidak berbahaya. Akan tetapi, gas air mata tetap tidak boleh digunakan sembarangan, terutama di dalam stadion. Pada Tragedi Kanjuruhan, gas air mata menimbulkan kepanikan sehingga terjadinya stampede atau desak-desakan oleh kerumunan yang menyebabkan begitu banyak korban.
Ketika mengamankan massa seharusnya yang digunakan hanya pentungan atau lebih bagus lagi dengan tangan kosong. Orang yang membawa senjata cenderung tingkat kepercayaan dirinya naik. Mereka kurang mau bernegosiasi dan mendengarkan ketika berhadapan dengan massa. Selain itu, dengan membawa senjata, mereka juga terlihat mengintimidasi sehingga timbul reaksi massa untuk melakukan perlawanan.
Mengapa bisa terjadi kekerasan antara TNI dan warga sipil saat pengamanan massa?
Ketika menangani massa, TNI kerap terprovokasi oleh ejekan dan caci maki sehingga mereka menyerang dan melakukan kekerasan. Padahal, dalam penanganan massa, aparat dan massa yang diamankan seharusnya tidak terlibat interaksi sama sekali. Namun, ini hal yang saya rasa cukup sulit mengingat bahwa tentara yang biasa melakukan penanganan massa ini sebenarnya tidak dilatih untuk menangani massa. Mereka dilatih untuk bertempur melalui latihan menembak dan latihan fisik yang kuat. Hal ini jelas berbeda dengan penanganan massa. Menurut saya, mereka yang memiliki spesialisasi dalam bidang kekerasan tinggi seharusnya tidak dilibatkan di dalam area sipil.
Terkait pernyataan Jenderal Andika bahwa kekerasan yang dilakukan di Kanjuruhan akan mendapatkan pasal 126 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, bagaimana tanggapan anda?
Mereka memang memiliki hukum pidana yang mengatur itu, tetapi permasalahannya terletak pada pengadilan TNI yang terpisah dari pengadilan masyarakat sipil. Itu sebabnya kita tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam sana karena keputusannya tidak pernah dikeluarkan. Ketertutupan pengadilan ini terjadi akibat munculnya anggapan bahwa menghukum anggota akan menurunkan semangat korps.
Saya ambil contoh penanganan kasus Tim Mawar. Saat ini, kita mengetahui mereka dihukum 6 tahun penjara dan dipecat dari jabatannya. Namun, ketika saya mencoba untuk menelusuri lebih lanjut, ternyata mereka menjadi salah satu siswa di Sekolah Tinggi Staf Komando Angkatan Darat. Kemudian, dari informasi lain yang saya peroleh, mereka dibebaskan di tingkat Mahkamah Agung dan tidak dipecat. Nah, hal ini menunjukkan bahwa peradilan internal militer tidak transparan karena kita tidak pernah benar-benar mengetahui putusan apa yang dijatuhkan kepada mereka.
Apakah ada pengadilan atau hukum lain yang dapat mengontrol TNI dalam melakukan kekerasan?
Sebenarnya ada pengadilan HAM ad hoc yang dikhususkan untuk mengadili kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer pada masa lalu. Pengadilan ini dibuat karena impunitas yang dihasilkan pengadilan militer dalam mengadili kasus-kasus tersebut, sementara mereka tidak bisa diadili dalam pengadilan sipil secara legal. Namun, pengadilan itu juga belum berhasil untuk mengadili mereka karena masih dibutuhkan oleh politisi-politisi sebagai kelompok kepentingan.
Apakah kedepannya kekerasan militer terhadap sipil dapat dihilangkan?
Kekerasan militer sulit dihilangkan jika militer masih memiliki impunitas dalam penegakan hukum. Kita memerlukan jaminan hukum yang tegas mengenai kekerasan terhadap sipil dan juga sebaliknya. Tindakan kekerasan pada aparat itu hukumannya berat. Namun, karena tidak ada hukum yang tegas soal ini, massa dapat menyerang dan mengeroyok aparat tanpa terjerat hukum. Sebaliknya, aparat yang melakukan kekerasan berlebihan juga diam-diam dilepaskan dari hukum. Kasus TNI yang menendang warga sipil di Kanjuruhan itu tidak kita ketahui kelanjutan hukumnya. Walau sudah minta maaf, dia tidak mendapatkan konsekuensi atas tindakannya. Impunitas ini akan terus berulang sepanjang kita terus memaafkan dan membiarkan mereka.
Penulis: Alfiana Rosyidah (Magang)
Penyunting: Catharina Maida
Fotografer: Logissa Sukmana (Magang)