Pengeboran tak berhenti. Air tak lagi bersih. Kualitas tumbuhan rawan. Bising mesin buat tak nyaman.
Warga Dieng harus melawan meski diadu dengan kawan.
Telinga Ardiyanto sudah muak mendengar raungan mesin yang berasal dari Wellpad 9 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Geo Dipa Dieng. Setiap pagi, ia dipaksa untuk mendengar raungan itu dari jarak dekat. Malang nasibnya. Mesin pengebor tenaga panas bumi itu berdiri tepat di dekat ladang yang ia garap. Saat pulang dari ladang pada siang hari, ia belum mendapat ketenangan. Waktunya bersantai bersama keluarga terganggu oleh raungan mesin yang bisingnya terdengar sampai Desa Karangtengah, tempat Ardiyanto tinggal. Kebisingan yang sama mengganggu tidur malamnya, padahal ia harus kembali ke ladang pada pagi hari.
Rasa muak membuat Ardiyanto tidak tinggal diam. Berkali-kali ia mengirimkan protes berisi pesan kepada jajaran direksi PLTP Geo Dipa Dieng. Namun hingga kini, pihak direksi tidak memberikan tanggapan yang berarti. “Pada satu waktu saya pernah protes lewat WhatsApp dan malah dibalas dengan foto para karyawan Geo Dipa yang sedang tidur. Saya tidak tahu maksudnya apa,” ujar Ardi.
Bukan hanya telinga, paru-paru warga turut tersiksa. Hidung mereka harus berhadapan dengan gas-gas pipa yang membentang dengan gagahnya sepanjang Desa Karangtengah. Keganasan pipa-pipa tersebut dapat didengar dari cerita Suryanto, seorang petani Karangtengah. “Sampai-sampai satu orang ada yang meninggal beberapa bulan lalu, semua orang itu jadi ketakutan,” ujar Suryanto.
Peristiwa itu terjadi pada 12 bulan Maret lalu saat korban melakukan pengecekan pada pipa yang terbuka secara otomatis. Tiba-tiba, pipa tersebut bocor secara mendadak dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Melihat korban yang pingsan, pekerja lain pun tergerak untuk membantu. Namun, niat baik tersebut membuat mereka turut dilarikan ke rumah sakit. Satu korban meninggal dan delapan orang yang dirawat menjadi saksi keganasan pipa-pipa besi tersebut.
Dampak dari pengeboran tersebut, selain merusak pernapasan, juga mengusir sumber rezeki. Unin, seorang ibu rumah tangga yang juga petani di Karangtengah, merasakan hal itu. “Kenyamanan keluarga saya terganggu. Sebagai petani, tumbuhan-tumbuhan saya rusak,” ujarnya. Lahan Unin menjadi tidak subur, kualitas udara pun buruk. Perpaduan tersebut membuat tanaman Unin susah tumbuh bahkan terancam mati.
Sebagai pemilik lahan di dekat jalur pipa, Ardi akrab dengan masalah yang dialami Unin. Peristiwa kebocoran kemarin membuat ia gelisah sebagai petani. Bagaimana tidak, kebocoran itu mampu membuat tanaman mati. “Kalaupun tumbuh, sulit untuk subur,” keluh Ardi. Bahkan, ia pernah melihat para petani muda yang sudah memakai alat pertanian modern, tetapi hasilnya sama saja.
Tidak hanya berbahaya bagi tanaman, air di Karangtengah juga tidak enak untuk diminum. Dekatnya sumber air dengan lokasi Wellpad-28, menurut Ardi, menjadi andil dalam perubahan buruk kualitas air. “Bahkan, kemarin air yang keluar itu hangat dan berbau belerang,” ujar Ardi.
Tak jauh dari Karangtengah, tampak rumah-rumah berdempetan di atas jalan yang tidak rata. Mural dan poster penolakan geotermal menghiasi sudut-sudut jalan. Gang-gang kecil dihuni bapak paruh baya yang berbincang, ibu-ibu yang berbelanja, dan anak kecil dengan tas kebesaran yang baru pulang sekolah. Keluh-kesah dari Karangtengah rupanya telah sampai ke Desa Bakal.
Meskipun dampak di Bakal tak sebesar Karangtengah, keluh-kesah tersebut memunculkan keresahan. Salah satu yang merasakannya adalah Rizal, petani muda Bakal yang vokal menolak pengeboran. Ia adalah satu dari banyak orang yang telah memantau geotermal sejak lama.
Ia khawatir akan rencana pengeboran di atas Mata Air Sethulu. Mata air ini merupakan objek vital bagi warga Bakal. Ia adalah titik peradaban, peninggalan pendiri desa dan para ulama terdahulu. “Itu adalah salah satu aset yang tak ternilai yang kita punya, sedangkan di atas akan dilakukan pengeboran,” jelas Rizal.
Aset tersebut berkelindan dengan berbagai aspek hidup masyarakat Bakal. Dari hilir hingga hulu, ia dinikmati. “Mulai dari memasak, mencuci, mandi sampai aktivitas religi, semua disediakan Mata Air ini,” jelas Rizal.
Meski demikian, tidak ada yang tahu sampai kapan air tersebut bisa terus digunakan. Berita mengenai penurunan kualitas air di Karangtengah telah sampai di Bakal. Air yang dulunya segar perlahan-lahan menjadi asin dan sepat. Rizal khawatir kejadian serupa akan menimpa masyarakat Bakal. “Bayangkan, Mas, sebagai orang gunung, kita sudah diberkahi dengan banyak air, tapi kita masih harus membeli galon,” keluhnya.
Perlawanan yang Tak Mudah di Karangtengah
Sejak awal, kehadiran PLTP Geo Dipa tidak pernah mendapat restu dari masyarakat Karangtengah. “Kalau orang masuk itu harusnya kan permisi ya? Terus Kadesnya harusnya bilang ke masyarakat, ini ada tamu, mau gimana?” keluh Suryanto. Namun, berkebalikan dengan harapan Suryanto, pihak desa tidak pernah memberi tahu masalah perizinan ini kepada masyarakat setempat. Malahan, berbagai wacana pembangunan sumur pengeboran baru bermunculan.
Salah satunya adalah wacana pembangunan PLTP Geo Dipa Unit 2 yang jaraknya hanya kurang dari satu meter dari pemukiman Desa Karangtengah. “Yang satu ini sudah kelewatan, masak ada geotermal di depan rumahnya sendiri?” keluh Ardi. Wacana pembangunan tersebut, menurut Ardi, memekarkan kembali gaungan penolakan pada tahun ini.
Ardi heran. Keinginan berembug malah datang dari masyarakat sendiri. Wargalah yang berduyun-duyun mendatangi kepala desa. Bersama Kepala Desa, Geo Dipa beberapa kali melakukan sosialisasi kepada warga. Namun, untuk sekarang, Ardi mengungkapkan bahwa warga sudah tidak butuh sosialisasi. Mereka hanya butuh keputusan. “Karena kenyaman dan keamanan adalah harga mati, harus diputuskan bahwa pengeboran itu harus dipindah,” ujar Ardi.
Kiat-kiat perlawanan pun dilakukan, salah satunya inisiasi kegiatan mujahadah, sebuah acara doa bersama secara sungguh-sungguh. Lewat mujahadah, warga meminta bumi Dieng dijauhkan dari mara bencana.
Pembahasan perkembangan perihal dinamika penolakan diselipkan di acara Mujahadah. “Semua warga berkumpul atas inisiatif sendiri, tanpa perlu digerakkan,” ujar Ardi. Lembaga-lembaga swadaya, seperti Lembaga Bantuan Hukum dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, turut hadir membersamai warga.
Salah satu bentuk aksi penolakan warga adalah penyegelan sebuah pembangkit listrik unit 2 Dieng. Sebelumnya, ada persetujuan antara Pelaksana Harian Bupati Banjarnegara pada pertemuan warga dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah pada 12 Januari lalu. Menurut persetujuan tersebut, tidak boleh ada kegiatan maupun aktivitas di dalam lokasi tersebut. Namun, ujung-ujungnya persetujuan tersebut dilanggar. Masyarakat kecewa, penyegelan pun terjadi.
Oknum-oknum, yang mereka curigai polisi berjubah sipil, tetap memaksa membuka lokasi tersebut. Pemuda setempat pun menghalangi pembukaan paksa tersebut. Adu mulut sempat terjadi kala itu. Namun, upaya penyegelan warga tetap sia-sia. Penyegelan tetap dibuka paksa oleh pihak perusahaan dengan dalih mengambil pipa.
Selain upaya-upaya diplomasi, warga juga menyuarakan kemuakkan mereka lewat spanduk-spanduk agitatif. Pagar-pagar rumah mereka menjadi wadah bagi spanduk-spanduk itu. “Musibah dijauhkan, bukan didekatkan” salah satu isinya.
Spanduk saja tidak cukup, aksi protes pun beberapa kali dilakukan. Pada aksi protes 2019 lalu, Unin terjun menjadi salah satu massa aksi. Demo yang terjadi akhir-akhir ini juga ia ikuti. Dua-duanya hasilnya nihil. Ia geram sebab masyarakat seolah tidak diberikan hak untuk menolak. “Jangan karena ini Badan Usaha Milik Negara, kita jadi tidak punya hak untuk menolak, kita juga bagian dari negara!” ujar Unin.
“Melawan korporasi besar milik negara itu sulit,” ujar Ardi. Ia menyadari bahwa perlawanan ini tidaklah mudah. Namun, ia tidak mau anak cucunya nanti merasakan ketidaknyamanan yang ia alami sekarang. Keyakinan itulah yang selalu ia pegang untuk terus konsisten melakukan perlawanan.
Bakal Pasang Kuda-Kuda
Penderitaan yang menimpa desa tetangga menjadi bukti kuat bahwa Bakal harus melawan. Rizal tak mau hari-harinya akan diganggu oleh alat-alat pembangkit listrik itu. “Bayangkan, mereka di sana sudah dari tahun 80-an, tetapi kesejahteraan pun tidak ada, apa yang dijanjikan perusahaan?” ucap Rizal.
Masyarakat Bakal sudah menyiapkan ancang-ancang bila kejadian yang menimpa Karangtengah menghampiri mereka. Sampel air dari uji laboratorium sudah disiapkan bila nantinya terjadi perubahan kualitas air pascapengeboran. “Bila aktivitas geotermal harus dilakukan, kita bisa cek perubahan air yang terjadi di situ lewat sampel ini,” penjelasan Rizal.
Lebih penting lagi, Mata air Sethulu harus diselamatkan. “Air ini harus kita selamatkan, air ini sumber kehidupan,” ujar Rizal. Sebagai penerus desa, Rizal merasa sudah menjadi kewajibannya untuk menyambung umur Mata Air Setulu.
Dengan semangat tersebut, Sethulu Festival pun terbentuk. Acara ini diadakan satu tahun sekali. Agustus kemarin menjadi tahun ketiganya. Menurut Dafiqul Fariq, Ketua Panitia acara, festival ini merupakan langkah warga untuk tetap melestarikan sumber air Sethulu yang menjadi sumber kehidupan warga.
Sebelum penolakan dimulai, paling tidak semua warga harus melek bahaya dari pengeboran. Rara, pemudi Bakal yang aktif di perpustakaan rakyat Bakal, mengupayakan hal yang sama. Menurutnya, tidak semua warga Bakal menolak keberadaan PLTU meski ancaman di balik proyek tersebut sangat nyata. “Ini mengakibatkan perlawanan kita belum terlalu meluas, masih ada yang iya enggak iya enggak,” ujarnya.
Bersama teman-teman di perpustakaan rakyat, Rara mencoba mengajak masyarakat untuk menolak pengeboran lewat kegiatan nonton bareng. Film dokumenter yang mengangkat isu lingkungan, seperti film-film garapan Watchdog, diputar di sana. Harapan Rara, kesadaran warga bangkit setelah melihat sendiri proyek korporasi lebih dahulu menghancurkan alam di wilayah lain.
Sudah Diganggu, Lalu Diadu
Berbagai kerusakan alam dan gangguan telah dialami oleh masyarakat Dieng. Dengan susah payah mereka pun berjuang. Namun, meskipun perlawanan dilakukan, perusahaan tidak tinggal diam. Ada saja cara pihak perusahaan memecah gerakan yang telah dibangun warga.
Penawaran pekerjaan menjadi salah satu cara ampuh. Saat pembukaan proyek dahulu, PT Plumpang Raya Anugrah (PT PRA), kontraktor pelaksana proyek menggandeng RT 9 untuk pembangunan Wellpad-9. “Pihak PT PRA itu menawari 20 juta per bulan untuk menjaga keamanan,” tutur Ardi. Bahkan, warga RT 9 sampai ditawari genset.
Sebagian warga RT 9 menerima tawaran pekerjaan oleh pihak perusahaan, seperti mengisi pos satpam atau tenaga kerja lain. Warga dari RT lain yang menolak proyek tersebut pun mau tak mau harus berbenturan dengan warga RT 9. Keadaan-keadaan itu membuat perlawan warga menjadi setengah-setengah. “Mereka itu selalu menggunakan masyarakat kita sendiri, bagaimanapun, nantinya kita harus saling berbenturan,” ujar Ardi.
Strategi-strategi pihak Geodipa untuk menarik dukungan juga sampai di telinga Rizal. “Itu cuma duduk di posko, nanti dibayar banyak,” jelas Rizal meniru cara Geodipa saat membujuk warga. Ia menyadari tawaran-tawaran menggiurkan ini dapat membuat buyar bahaya-bahaya depan mata.
Oleh dasar kekhawatiran itu, Rizal selalu mewanti-wanti warga Bakal lain yang telah menerima tawaran pekerjaan dari Geodipa. “Silakan kalian bekerja, tapi ketika kalian pulang ke rumah, ketika seragam itu dicopot, kalian tetap warga Bakal,” ujarnya. Bagi Rizal, bekerja di Geo Dipa tidak membuat hak sebagai masyarakat tidak hilang. Lewat berdialog, kemungkinan-kemungkinan gesekan antarwarga berusaha ia redam seperti yang sudah terjadi di desa lain.
Perlawan tidak sia-sia. Kabar terbaru (28-10), kesepakatan warga Karangtengah dan Desa Bakal dengan pihak Geodipa tercapai. Pembangunan Wellpad 38 dibatalkan lewat penandatanganan Temporary Office Power Plant Dieng 2 PT Geo Dipa Energi. Wellpad tersebut merupakan bagian dari Powerplant 2 yang rencananya dibangun kurang lebih satu meter dari Karangtengah
Pagar-pagar pembangunan Wellpad 38 pun akan dibongkar. Bangunan-bangunan fondasi proyek harus diratakan. Material-materialnya harus dipindahkan. Demi ketuntasan proses pemindahan dan pembongkaran, warga Karangtengah dan Bakal akan langsung memantau dan mengawasi.
“Jagalah bumi Dieng. Saya ini bukan sarjana, tapi berapa sih jarak minimal sebuah pengeboran dengan pemukiman?” ujar Ardi.
Reporter: Albertus Arioseto, Bangkit Adhi Wiguna, Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati, Han Revanda Putra, M. Ihsan Nurhidayah, Maria Adelina Puspaningrum, Ryzal Catur Anandha Sandhy Surya, dan Venessa Theonia
Penulis: M. Fahrul Muharman, Maria Adelina Puspaningrum, dan Venessa Theonia
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati