Nihilnya payung hukum membuat pegiat pers mahasiswa rentan mengalami represi. Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menyebut pers mahasiswa harus mendorong Dewan Pers untuk melahirkan mekanisme yang mampu menjamin perlindungan bagi mereka sendiri. Dewan Pers, sebagai organisasi independen yang bertugas mengembangkan kebebasan pers, dinilai proporsional untuk menjawab permasalahan tersebut.
Gayung bersambut, pada Rabu (06-07), BALAIRUNG berkesempatan berbincang dengan Azyumardi Azra, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Pers. Dalam kesempatan tersebut, Azyumardi Azra menyebut akan membuka kesempatan bagi pers mahasiswa untuk berafiliasi dengan Dewan Pers. Dengan demikian, Dewan Pers memiliki legitimasi untuk melindungi pers mahasiswa. Berikut wawancara selengkapnya.
Sebagai Ketua Dewan Pers, apa rencana Anda bagi pengembangan pers mahasiswa?
Kami menyadari bahwa pers mahasiswa berpotensi besar dalam memberikan kontribusi bukan hanya dalam pengembangan kapasitas mahasiswa, melainkan juga penguatan kebebasan berekspresi. Sebab, dalam hal fungsi dan perannya, pers mahasiswa boleh dibilang hampir sama dengan pers umum, yaitu menjadi kekuatan kritik baik di kampus maupun di lingkungan yang lebih luas. Oleh karena itu, saya menaruh harapan yang banyak kepada pers mahasiswa.
Pada periode ini, pengembangan pers mahasiswa merupakan salah satu prioritas Dewan Pers. Oleh karena itu, kami memiliki dua skenario dalam rangka mengembangkan pers mahasiswa. Skenario pertama dapat kami tempuh dengan cara mengadakan kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama. Kerja sama ini bertujuan untuk memberikan legalitas kepada Dewan Pers untuk mengembangkan pers mahasiswa. Sebab, kampus berada di bawah otoritas mereka. Namun, cara itu terlalu berbelit-belit.
Oleh karena itu, kami memiliki skenario kedua, yaitu membuka kesempatan bagi pers mahasiswa untuk mendaftarkan diri menjadi pihak yang berafiliasi dengan Dewan Pers. Afiliasi berbeda dengan konstituen yang selama ini dimiliki Dewan Pers. Konstituen bersifat formal, sementara pers mahasiswa bersifat temporer. Setelah lulus, pegiat pers mahasiswa mungkin tidak menjadi jurnalis lagi. Meskipun tidak dapat menjadi konstituen, sangat mungkin bagi pers mahasiswa untuk berafiliasi dengan Dewan Pers. Kami akan membuka peluang itu.
Anda menyebut berafiliasi dengan Dewan Pers sebagai jalan keluar bagi pers mahasiswa dalam mencari perlindungan hukum. Namun selama ini, bagaimana kedudukan pers mahasiswa di bawah di Dewan Pers?
Tidak jelas. Saya membaca dokumen-dokumen Dewan Pers sebelumnya, pers mahasiswa belum memiliki status yang pasti. Oleh karena itu, saya meminta anggota Dewan Pers yang lain untuk merangkul pers mahasiswa. Mereka setuju. Menurut saya, ini langkah yang seharusnya dilakukan oleh Dewan Pers. Jangan biarkan pers mahasiswa berjalan sendiri seolah tanpa perlindungan.
Saya ingin Dewan Pers menjadi pelindung bagi pers mahasiswa. Sebab, ancaman terhadap dunia pers termasuk yang dialami pers mahasiswa juga meningkat, mulai dari perundungan, peretasan, hingga doxing. Padahal, masyarakat memerlukan pers mahasiswa sebagai alat kontrol. Apalagi sekarang ini, ketika para pejabat kampus seolah enggan bersuara ketika terjadi kepincangan dalam proses demokrasi dan penegakan hukum. Kami berharap dari mahasiswa ini muncul intelektual-intelektual muda yang bisa berpikir kritis.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap wacana menyejajarkan pers mahasiswa dengan pers umum secara hukum?
Kalau itu belum bisa, karena status pers mahasiswa yang bersifat temporer. Sementara itu, perusahaan pers pada umumnya bersifat permanen. Pers mahasiswa tidak bersifat permanen. Lembaganya boleh permanen, tetapi pengurusnya berganti terus. Namun, saya kira dengan mengafiliasikan diri dengan Dewan Pers, pergantian kepengurusan tidak akan memengaruhi perlindungan yang didapatkan oleh pers mahasiswa Pers. Dewan Pers akan mencatat dan mendokumentasikan lembaga pers mahasiswa yang mengafilisiasikan diri dengan Dewan Pers. Kalau terjadi apa-apa, Dewan Pers dapat melindungi pers mahasiswa.
Kalau pers mahasiswa mengkritik pejabat di tingkat fakultas maupun universitas, itu memang sudah menjadi kewajiban moralnya. Kalau keberatan, para pejabat kampus bisa menempuh berbagai cara. Cara pertama ajak dulu dialog. Kalau tidak ketemu, gunakan hak jawab. Jangan sampai ada pemberedelan. Sebagai Ketua Dewan Pers, saya berharap banyak pada pers mahasiswa. Oleh karena itu, pers mahasiswa perlu kita konsolidasikan. Sebab, para pegiat pers mahasiswa akan menjadi pemimpin pembentuk pendapat publik. Kalau misalnya dia aktif di pers profesional, dia memiliki peran penting. Kalau misalnya dia nanti jadi aktivis lain di bidang sosial-politik, dia juga akan menjadi opinion maker.
Apabila pers mahasiswa sudah berafiliasi dengan Dewan Pers, sejauh mana Dewan Pers bisa melindungi pers mahasiswa dari laku represif?
Dewan Pers tidak akan campur tangan terhadap independensi pers mahasiswa. Kami berharap tugas yang pertama sebagai kekuatan kritik itu siap dimainkan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kami dukung itu. Kami tidak akan mendikte. Setidaknya ada dua hal yang ingin kami lakukan. Pertama, kami ingin membantu meningkatkan kualitas pers mahasiswa, baik secara teknis maupun dalam kode etik. Kedua, kami ingin memberikan perlindungan. Kalau pers mahasiswa diminta berhenti terbit oleh pejabat kampus, kami bisa berkomunikasi dengan pejabat kampus, entah rektor, dekan, atau siapa saja yang memberedel. Apalagi kalau dikriminalisasi, Dewan Pers harus membela.
Bagaimana prospek merealisasikan pers mahasiswa menjadi afiliasi dengan Dewan Pers?
Sesegera mungkin. Kami akan membuat panduannya. Sementara itu, masih banyak agenda yang harus kami lakukan. Saya pun belum lama menjabat. Belum lagi, kami masih harus menertibkan media abal-abal. Pers mahasiswa bukan media abal-abal, malah sangat potensial menjadi kredibel. Jelas orangnya, jelas mahasiswanya. Oleh karena itu, pers mahasiswa harus kita perkuat.
Penulis : Han Revanda Putra
Penyunting : Bangkit Adhi Wiguna
Ilustrator : Talitha Salsabila