Senat akademik (SA) melantik Rektor UGM 2022-2027, Ova Emilia, pada Jumat (27-5) di Balai Senat UGM. Segudang pekerjaan rumah telah menanti Ova. Rentetan pekerjaan rumah tersebut terdiri dari masalah pembangunan infrastruktur, penanganan kekerasan seksual, hingga tingginya biaya pendidikan.
Jauh sebelum pelantikan, pada (12-05) di depan Gedung Grha Sabha Pramana, mahasiswa gagal bertemu tiga Calon Rektor UGM. Mereka pada awalnya berniat menggelar aksi untuk menyampaikan rentetan pekerjaan rumah di UGM bagi tiga Calon Rektor yang telah lolos seleksi SA. Namun, hingga proses seleksi berakhir, tiga Calon Rektor enggan menemui massa aksi.
Sulistiowati, Ketua SA; Paripurna Sugarda, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni; dan Panut Mulyono, Rektor UGM periode 2017-2022 datang menemui mahasiswa sebagai perwakilan sidang SA untuk seleksi Calon Rektor. Berkalung kertas aspirasi yang diberi massa aksi, mereka mencoba memberi tanggapan. “Wong anak sendiri ingin menyampaikan aspirasi, masak tidak kita serap,” ujar Paripurna.
Ungkapan Paripurna tersebut merupakan narasi “bapakisme” yang kerap digunakan untuk merepresi gerakan mahasiswa. Ia menyebutkan kata “anak” untuk menjelaskan hubungan antara mahasiswa dan universitas, yang dalam hal ini diposisikan sebagai “orang tua”. Logika berpikir “bapakisme” membuat mereka yang berposisi sebagai “anak” harus selalu patuh kepada “orang tua”. Relasi ini menyudutkan gerakan mahasiswa ke dalam narasi moral dan mengaburkan isu yang mereka suarakan.
Syahdan, bagaimana rektor baru memandang hubungan antara universitas dan mahasiswa? Tim Balairung berkesempatan bertatap muka secara langsung dengan rektor UGM ke-17 pada (15-07). Alumnus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM tahun 1987 ini memberikan pandangannya sebagai rektor dalam menanggapi perkara tersebut di Kantor Rektor Gedung Pusat UGM.
Sebagai Rektor, bagaimana Anda memandang UGM?
Saya melihat dari sejarahnya. Aset pertama institusi pendidikan yang dimiliki oleh Indonesia adalah UGM. Karena itu, UGM merupakan representasi Indonesia di dunia global. Misi UGM pun berbeda dengan universitas lain karena selain menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, UGM juga memberikan kajian yang menghasilkan inovasi dan kebermanfaatan bagi masyarakat.
Bagaimana Anda memandang relasi antara universitas dan mahasiswa?
Saya telah jelaskan dalam hearing terakhir, mahasiswa adalah mitra. Mitra untuk duduk bersama dalam sebuah misi. Dia bukan objek, melainkan bagian dari subjek untuk menyelesaikan masalah. Jadi, dalam membuat setiap kebijakan di UGM, mahasiswa harus dilibatkan. Sebab, bagaimanapun mahasiswa yang akan terdampak oleh kebijakan tersebut.
Pada saat seleksi Bakal Calon Rektor menjadi Calon Rektor, Paripurna Sugarda sempat mengungkapkan bahwa hubungan universitas dan mahasiswa itu ibarat orang tua dan anak. Bagaimana relasi orang tua-anak itu apabila dihubungkan dengan relasi kemitraan yang Anda jelaskan sebelumnya?
Hubungan kemitraan yang tadi jelaskan perlu dilihat dari sudut pandang budaya kita sendiri. Saya menganggap mahasiswa itu seperti anak saya sendiri, mitra di sini jika dilihat dari sisi hubungan anak dan orang tua bukan untuk saling menguasai. Orang tua dianggap berhasil jika terjalin kerja sama dengan anaknya. Orang tua harus memfasilitasi si anak ini agar berhasil sesuai cita-citanya. Artinya, anak itu berhasil juga berkat kontribusi dari orang tuanya. Jadi, yang tua harus menyayangi yang muda, yang muda juga harus menghormati yang tua.
Bagaimana Anda merespons kritik dari mahasiswa?
Saya terbiasa dengan kritik karena anak saya juga suka mengkritik. Namun, mengkritik itu jangan asal ngomong, tetapi harus konstruktif. Mahasiswa punya pemikiran yang mungkin tidak saya ketahui. Utarakan pemikiran itu dengan baik-baik, saya sebagai orang tua akan mendengar dan mengajak diskusi. Maka dari itu, kemarin dalam hearing, saya minta bahwa hearing diadakan setiap tiga bulan.
Kalau begitu, kenapa saat seleksi Calon Rektor kemarin tidak menemui mahasiswa?
Saya kira tidak perlu. Waktu itu, saya masih melalui proses pemilihan, belum tentu jadi rektor. Bagi saya, kritik itu boleh karena itu hak Anda. Namun, sampaikanlah kritik itu secara baik-baik, tidak perlu dengan cara seperti itu.
Tadi soal hubungan universitas dengan mahasiswa, sekarang bagaimana Anda memandang relasi antara universitas dan negara?
Sumber dana pembangunan UGM ini dari negara, maka UGM punya tanggung jawab untuk mendukung negara. Dalam hal ini, kita memiliki kewajiban dari konstitusi untuk mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai tugas dari universitas. Sebagai institusi pendidikan tinggi pertama, kita teguh menjadi institusi yang mendukung negara. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi masukan melalui kajian dan pengawalan yang tidak dilakukan universitas lain. Kita bertindak sebagai pengawal, pelopor, dan pionir untuk usulan-usulan yang memecahkan masalah bangsa. Jadi, universitas itu tidak hanya memberikan ide-ide, tetapi juga melakukan pengawalan kepentingan negara.
Anda bilang bahwa dana pembangunan UGM dari negara, lalu bagaimana dengan kebijakan Sumbangan Sukarela Pembangunan Institusi (SSPI) yang memungut uang dari mahasiswa?
Dalam peraturan legal, hal itu diperbolehkan khusus untuk mahasiswa yang masuk jalur mandiri. Banyak mahasiswa jalur mandiri yang berasal dari keluarga mampu dan mau memberikan sumbangan. Karena itu, untuk mewadahi pemasukan dana tersebut, kita masukkan sebagai sumbangan sukarela. Sebagai perbandingan, biaya masuk swasta saja mahal banget, bahkan masuk kedokteran universitas swasta bisa mencapai setengah miliar rupiah. Beberapa universitas negeri bahkan berani memasang tarif 600 juta rupiah dan hal seperti itu tidak pernah ada dalam catatan UGM. Artinya, jika kita tidak menerapkan hal yang sama, kita akan tertinggal karena tidak punya pendanaan.
Menjelang tahun Pemilu, banyak alumni UGM yang akan berlaga di situ. Bagaimana UGM memosisikan diri?
Kita bangga ada alumni yang berperan untuk bangsa. Sebagai lembaga independen, kita memegang nilai integritas dan menjaga objektivitas dari proses elektoral tersebut. Contohnya, dalam memberi masukan atau pandangan, kita harus bersikap akademis tanpa berkaitan dengan kubu politik tertentu.
Bagaimana dengan alumni UGM atau akademisi lain yang justru mendukung kebijakan tidak pro rakyat, seperti Panut Mulyono yang menjadi Satgas Omnibus Law 2020?
Bagus ada kajian-kajian seperti itu, sebab membuat kajian seperti itu bukan hal yang mudah, harus berpegang pada objek akademik dan bernilai konstruktif bagi negara. Misalkan, dalam kajian tentang kedokteran, ada pro-kontra dari akademisi. Saya kira itu tantangan untuk UGM dalam memberikan masukan yang terukur, terbukti, dan tidak berdasar asumsi. Saya memberi contoh kajian tentang rokok, akan terjadi perdebatan yang harus kita lihat secara komprehensif. Saat kita bicara tembakau, World Health Organization akan memotong seluruh bantuan atau pengakuan yang pernah diberikan kepada UGM. Di lain sisi, jika dilihat dari pajak dan pertanian, rokok merupakan pemasukan terbesar dan lahan mata pencaharian jutaan orang. Maka dari itu, perlu melihat dari semua sisi untuk melakukan pengkajian. Terkadang mahasiswa hanya melihat dari satu sisi karena keterbatasan cakrawala pengetahuan. Kajian seperti itu perlu diperbanyak agar mahasiswa dapat melihat dari semua sisi.
Penulis: Ilham Maulana
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Ilustrator: Rona Iffah