
©Alika/Bal
Kamis (07-07) sore, ARTJOG MMXXII resmi dibuka di Jogja National Museum. Tema Expanding Awareness yang diusung tahun ini melengkapi triplet tematik Arts in Common sejak 2019 yang meliputi ruang, waktu, dan kesadaran. Pada siaran persnya, ARTJOG MMXXII berupaya mendorong perluasan kesadaran tentang inklusivitas, termasuk bagi kelompok difabel. Upaya ini nampak dalam acara pembukaannya, yakni pada penggunaan penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). “Angkat tangan dan goyangkan yang meriah,” seru pemandu acara Santi Zaidan sebagai padanan tepuk tangan dalam Bisindo.
Menurut Heri Pemad selaku Pendiri sekaligus Direktur Artistik ARTJOG MMXXII, tema inklusivitas menggambarkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap beberapa kelompok warga seperti anak-anak dan difabel. Menurutnya, pameran ini merupakan cara artistik untuk menyentuh setiap orang bahwa mereka setara dengan kita sebagai saudara. “Seni mampu memicu rasa empati dan kepedulian,“ ujar Heri.
Selain membangun kepedulian terhadap sesama, menurut Heri, tema ini merupakan desakan kepada pemerintah untuk membangun fasilitas yang layak kepada kawan difabel. “Kan lucu ya, ARTJOG bicara inklusivitas, tapi gedungnya tidak mengakomodasi kawan difabel untuk naik ke lantai atas,” sindirnya. Menurut Heri, jika dalam gedung publik ditunjang dengan fasilitas yang inklusif, tidak akan ada lagi kritik mengenai hal tersebut melalui kesenian.
Melanjutkan Heri, Agung Hujatnikajennong selaku kurator ARTJOG MMXXII menjelaskan upaya perbaikan layanan kepada kelompok yang selama ini sulit menikmati ARTJOG MMXXII, termasuk kawan difabel. Misalkan, pada gelaran kali ini, penjaga pameran dibekali dengan pelatihan pelayanan pengunjung berkebutuhan khusus, termasuk dilatih Bisindo. Pihaknya juga bermitra dengan berbagai komunitas seniman difabel seperti Jogja Disability Arts dan Sanggar Seni Komunitas Tuli Ba(WA)yang. “Komunitas-komunitas tersebut patut kita teladani karena mengupayakan kegiatan yang begitu inklusif,” ujar Agung.
Agung juga menceritakan inklusivitas dalam proses kreatif para seniman difabel. Para seniman difabel, tuturnya, saling berkolaborasi dalam proses kreatifnya. Heri mencontohkan dalam gambar wayang dalam karya “Babad Difabilitas” yang merupakan kolaborasi antara seniman difabel di Bali yaitu Winda Karunadhita dengan seniman difabel di Cirebon Kusdono Rastika. Keterbatasan mobilitas keduanya yang menggunakan kursi roda teratasi dengan melakukan komunikasi via daring melalui WhatsApp dan email dengan seniman asal Cirebon tersebut. “Kolaborasi itu terjadi dengan cara yang masuk akal dan menarik,” tambahnya.
Winda menjelaskan makna lukisan wayangnya, “Sukrasana”, yang bertengger di ARTJOG MMXXII. Lukisannya menceritakan tokoh wayang bernama Sukrasana yang cebol namun sakti dan baik hati. “Kita tidak boleh memandang sebelah mata orang-orang yang memiliki fisik tidak sempurna,” pesannya. Winda juga berharap semakin banyak kesempatan bagi kawan difabel untuk berkontribusi dalam pameran.
Selain itu, Winda juga berharap akan adanya pameran tahunan yang berfokus pada kegiatan amal. “Pameran amal tersebut bisa dari karya-karya seniman difabel yang sudah terkenal sehingga bisa dijual,” jelasnya. Sebagian besar hasil penjualannya nanti bisa digunakan untuk menunjang seniman disabilitas pemula atau yang ingin belajar berkarya.
Penulis: Ilham Maulana dan Tuffahati Athallah
Penyunting: Ardhias Nauvaly
Fotografer: Alika Bettyno