Pada Rabu (6-4), Development Study Club menyelenggarakan diskusi berjudul “PKK dan Ibuisme Negara” dalam rangka bulan keperempuanan. Diskusi yang dilaksanakan secara daring ini menghadirkan dua narasumber, yakni Julia Suryakusuma, Direktur Pusat Gender dan Demokrasi LP3ES, serta Eva Kusuma Sundari, Direktur Eksekutif Institut Sarinah. Diskusi ini membahas ideologi ibuisme negara yang terjadi di Indonesia sejak Orde Baru hingga sekarang ini.
Diskusi dimulai dengan Julia yang menjelaskan latar belakang pembentukan ideologi ibuisme negara pada Orde Baru. Menurut Julia, hal tersebut berhubungan dengan tujuan pemerintah untuk menciptakan kesadaran tunggal dalam beberapa kelompok masyarakat. “Selaras dengan itu, organisasi Dharma Wanita menjadi wadah untuk mengaktualisasikan ideologi ibuisme negara,” jelas Julia.
Ibuisme negara dalam Dharma Wanita, menurut Julia, terwujud dalam visi organisasi tersebut, yang mengharuskan keterlibatan perempuan dalam rangka memenuhi agenda pembangunan. Dalam bentuk praktisnya, Julia menyebutkan bahwa jabatan perempuan yang tergabung dalam Dharma Wanita ditentukan berdasarkan kedudukan suaminya. “Perempuan wajib bekerja dalam jabatan yang sama dengan suaminya tanpa melihat kemampuan dan edukasi, sehingga mereka tidak memiliki kemandirian,” ungkap Julia
Selain Dharma Wanita, ideologi ibuisme negara juga tercermin pada Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Julia menjelaskan bahwa PKK pada awalnya dibuat untuk pengelolaan rumah tangga. Namun, pada era Orde Baru, negara menggunakan PKK sebagai alat kontrol atas masyarakat melalui keluarga.
Menyambung masalah tersebut, Julia juga menyebutkan fenomena reduksionisme biologis yang terjadi akibat PKK. “Peran sebagai ibu rumah tangga itu dianggap sebagai kodrat, dikembalikan kepada biologisnya,” jelas Julia. Ia melihat bahwa wanita hanya dipakai sebagai pendamping suami dan pencetak penerus bangsa demi memundurkan gerakan perempuan pada saat itu.
Melanjutkan Julia, Eva mengatakan bahwa ideologi ibuisme negara masih relevan sampai sekarang. “Sejak Reformasi, Indonesia lebih didominasi oleh kelompok Islam, tetapi perempuan dikendalikan dengan cara yang sama,” sambung Julia. Ia menyebutnya sebagai ibuisme Islamis.
Menurutnya, setelah era Reformasi, banyak partai-partai konservatif Islam; seperti Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera; yang muncul dan menghambat gerakan perempuan progresif. Eva berpendapat bahwa hal tersebut dapat terjadi saat ini karena kebebasan yang diperoleh masyarakat semenjak era Reformasi. “Dulu pada zaman Soeharto tidak ada, karena mereka semua ditindas, baik yang pro atau yang anti,” tuturnya.
Hal tersebut disetujui oleh Julia yang berpendapat bahwa hingga kini perempuan masih menjadi objek yang dikonstruksi secara sosial untuk mendukung tatanan hierarkis dan patriarkis. Selain perolehan atas kebebasan, Julia merasa bahwa fenomena ini juga terjadi sebagaimana akibat kesalahan interpretasi terhadap ajaran Islam. Adapun, untuk menyelesaikan problem ini, feminisme Islam merupakan kalangan yang paling maju dalam mengajukan proposal pemecah masalah. Julia mengatakan bahwa feminis muslim dapat melakukan interpretasi feminis terhadap Al-Qur’an dan hadits. “Kebanyakan orang-orang hanya mengikuti apa yang ada dan tidak meluangkan waktu untuk benar-benar mendalami atau melakukan interpretasi. Padahal dalam Islam itu ada ijtihad,” Julia menjelaskan.
Penulis: Catharina Maida
Penyunting: Albertus Arioseto